Episode 6 : Hambar

1373 Words
Plak. Satu tamparan melayang di wajah Jade. Laki-laki itu tersenyum kecil seraya mengangkat tubuh Ara hingga Ara nyaris berteriak. Jade mendudukkan Ara di atas meja dengan kedua tangan menghalangi pergerakan wanita itu. Seketika Ara menangis. "Pak Jade ini sudah keterlaluan!" isak Ara. Jade memperhatikan wajah Ara yang tertunduk. Tangan Ara gemetar menahan tubuh Jade agar tidak semakin dekat. "Aku kehilangan kata-kata. Ini pertama kalinya seorang wanita melayangkan pukulan padaku hanya karena sebuah ciuman." ujar Jade. "Maaf, sa-saya tidak sengaja. Tolong jangan bersikap seperti ini, Pak." mohon Ara. "Aku penasaran. Sejak awal kau terus mengalihkan pandangan. Kau sengaja menghindari tatapan mata. Apa aku terlihat menyeramkan?" tanya Jade sembari menyentuh dagu Ara. Ara menepis tangan Jade meskipun pada akhirnya Jade justru menggenggam tangan wanita itu. Tangan Ara yang gemetar, membuat Jade jadi tidak sabar. "Tatap aku!" perintah Jade. Ara menggeleng. Jade menghela napas kasar. "Tatap aku Adaline! Kalau kau terus bersikap seperti ini, aku tidak akan melepaskanmu." ancam Jade. "Pak Jade saya salah apa? Tolong jangan bersikap seperti ini." balas Ara sambil menangis. "Kau yang membuatku bersikap seperti ini. Jika sejak awal kau menjawab jujur, aku tidak mungkin masih menyimpan rasa penasaran." jawab Jade. "Ta-tapi saya sudah menjawabnya. Kita tidak pernah bertemu sebelum ini." ujar Ara berbohong. "Tatap aku Adaline! Jawab dengan menatap mataku." tegas Jade. Bukannya menurut, Ara justru semakin menundukkan wajah hingga keningnya menyentuh d**a Jade. "Tolong lepaskan saya." lirih Ara gemetar. Jade terdiam. Ingin terus mencari tau, tapi juga kasihan. Kasihan melihat tubuh Ara yang gemetar ketakutan. "Sepertinya Samuel tidak berbohong tentang trauma yang kau alami. Kau tidak perlu takut, Adaline. Aku tidak akan menyakitimu." Tangan Jade terulur memeluk tubuh Ara. Ara menangis tertahan. Pelukan Jade yang lembut, tidak mampu menenangkan hatinya. Dalam pelukan Jade tangis Ara semakin menjadi. Jade adalah sumber segala luka yang terjadi dalam hidupnya. Walaupun mulutnya ingin mengatakan kebenaran, tapi hati kecil Ara menolak melakukan itu. Tidak ada yang akan berubah meskipun Jade tau tentang dirinya dan Kayli. Justru Ara merasa terancam jika Jade tau kebenaran itu. "Kalau kau sudah cukup tenang, mari sudahi apa yang sedang kau kerjakan. Aku tidak akan mengganggu pekerjaanmu." ujar Jade. Ara mengangguk singkat. Walaupun masih gemetar, Ara kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Diam-diam Jade menikmati saat tangan Ara tidak sengaja menyentuh tubuhnya. Jade terus memperhatikan pergerakan Ara. Bibir tipis yang tidak pernah tersenyum, wajah membengkak karena habis menangis, justru membuat Jade punya keinginan untuk menyentuh Ara. "Kau membuatku kehilangan akal sehat. Selesaikan dengan cepat atau..." "Saya sudah selesai, pak." potong Ara. Tanpa menunggu lebih lama, Ara langsung meninggalkan Jade. Jade tersenyum kecut. Wajahnya menunjukkan rasa tidak puas. "Karena dia kesayangan Samuel, aku bersedia melepaskannya. Konyol sekali. Pukulannya tidak menyakiti wajahku tapi pukulan itu mampu memporak-porandakan harga diriku." ujar Jade pada dirinya sendiri. *** Keesokan harinya, Ara mulai mencari hunian untuk dirinya dan Kayli. Wanita itu sudah mengitari beberapa tempat tapi belum menemukan hunian yang cocok dan menarik perhatiannya. Saat Ara tengah kebingungan, seseorang menghampirinya. "Apa yang kau lakukan disini?" tanya Jade. Ara menoleh sekilas dan bergegas hendak pergi begitu tau siapa yang mengajaknya bicara. Apartemen mewah yang berdiri kokoh di hadapan Ara, justru mempertemukan Ara dan Jade. Jade mencekal tangan Ara demi menahan pergerakan wanita itu. "Kau menemui klien? Ah sepertinya bukan. Apa kau sedang mencari tempat tinggal?" tanya Jade. "Tolong lepas, pak." pinta Ara. "Tidak sebelum kau menjawab." tegas Jade. Ara menghembuskan napas kasar. "Tolong lepaskan atau saya akan berteriak!" Jade tertawa lebar mendengar ancaman Ara. Bukannya takut, Jade malah menarik Ara secara paksa. Dengan lantang Jade mengatakan kalau dirinya sedang bertengkar dengan sang istri untuk membungkam mulut orang-orang yang tengah menatap ke arah mereka. Sadar akan posisi Jade sebagai pengusaha terkenal, Ara terpaksa menurut tanpa perlawanan. "Melihatmu yang sejak tadi menatap ke arah gedung apartemen, aku yakin kau sedang mencari tempat tinggal. Kau juga tidak membawa peralatan sebagai seorang desainer jika memang hendak menemui klien. Aku tidak salah tebak kan?" tanya Jade setelah di dalam lift. Ara tidak menjawab. Wanita itu sibuk menjauhkan diri dari jangkauan Jade. "Aku tidak bermaksud kasar. Tapi jika tidak memaksa, kau pasti menolak ikut. Kebetulan aku punya satu unit apartemen di gedung ini. Kau bisa melihat-lihat jika tertarik membeli. Memang sedikit mahal. Tapi sebanding dengan apa yang kau dapatkan." jelas Jade. Ara masih memilih bungkam. Saat lift berhenti di lantai yang Jade tuju, Jade kembali menarik tangan Ara. Ara takut tapi tidak berani melawan. Wanita itu mengikuti langkah Jade dengan perasaan tertekan. "Saat itu pak Jade melakukannya karena sedang mabuk. Berbeda dengan saat ini, pak Jade tidak mungkin berbuat macam-macam pada wanita yang tidak punya hubungan apa-apa dengannya. Aku hanya harus tenang." batin Ara menyemangati dirinya sendiri. "Silahkan masuk." ujar Jade pada Ara. Walaupun ragu, akhirnya Ara mendahului langkah Jade ke unit apartemen laki-laki itu. Ara mematung sejenak memperhatikan kemewahan yang ditawarkan unit apartemen yang memang sejak tadi dipandanginya. "Apartemen ini punya dua kamar yang luas dengan interior klasik tapi terkesan mewah dan berkelas. Kalau tertarik, kau bisa mencoba tinggal disini untuk menjajal kenyamanan." tawar Jade. "Tidak perlu. Apartemen ini memang bagus tapi saya tidak yakin uang saya cukup." jujur Ara. "Tidak cukup? Kau punya lebih dari itu, aku yakin. Jika kau meminta pada Samuel, apartemen seperti ini bukan apa-apa." ujar Jade sembari duduk. Ara tetap awas meskipun kakinya melangkah menyusuri setiap sudut apartemen. Jade memperhatikan pergerakan wanita itu tanpa berkedip. Otaknya kembali mencari tau kapan dan dimana mereka pernah bertemu. Saat Ara membuka pintu kamar utama, Jade dengan cepat mendorong Ara. Dalam satu gerakan, Jade berhasil menggulingkan tubuh Ara di atas kasur. Seketika Ara menjadi panik. "Kau terlihat takut tapi kau juga berani. Kau seolah tidak tau bahaya jika berdua saja bersama laki-laki di dalam kamar seperti ini." bisik Jade. Jade yang berada di atas tubuhnya, membuat Ara nyaris menangis. Ara mencengkram bahu Jade yang justru menimbulkan gairah laki-laki itu. "Pak Jade ini namanya pelecehan seksual. Saya bisa melaporkan bapak untuk tindakan seperti ini." ancam Ara dengan suara bergetar. Jade tertawa pelan, tawa yang renyah dan enak di dengar. Sayangnya Ara tidak tertarik pada laki-laki yang sudah menghancurkan hidupnya itu. "Kau lucu sekali, Adaline. Bagaimana mungkin pelecehan seksual terjadi di kamar milik sang laki-laki. Kau akan di tuduh sengaja menggoda atau sengaja ikut ke apartemen untuk melancarkan aksi. Orang-orang tidak peduli pada kebenaran. Orang-orang hanya mempercayai apa yang mereka pikirkan." ujar Jade. "Bapak benar. Hal itu pernah terjadi dalam hidup saya. Yang lebih menyakitkan, laki-laki yang sudah menghancurkan hidup saya, hidup dengan baik tanpa tau apapun. Haruskah bapak menghancurkan hidup saya lagi seperti laki-laki b******n itu?" tanya Ara seolah-olah tengah membicarakan orang lain. "Aku penasaran. Kau gemetar, kau ketakutan, kau memiliki trauma terhadap laki-laki. Tapi aku justru ingin menyentuhmu. Aku yakin aku pernah menyentuhmu. Aku harus menyentuhmu untuk mengingat sesuatu. Kali ini aku akan bersikap sopan. Apa kau mengizinkan?" tanya Jade penuh harap. Ara langsung menggeleng. "Kita tidak pernah bertemu dan kita tidak pernah tidur bersama. Meskipun bapak menyentuh saya berulang kali, bapak tidak akan mengingat apapun." "Entahlah, aku tidak percaya apa yang kau katakan. Ekspresimu yang ketakutan saat pertama kita bertemu, menjelaskan dengan pasti bahwa itu bukan kali pertama pertemuan kita. Aku justru yakin kita pernah lebih intim dari ini." ujar Jade. Tak hanya bicara, Jade menyesap leher Ara dengan kecupan pelan. Laki-laki itu mengendus aroma tubuh Ara sambil memejamkan mata. Ara mencoba mendorong tubuh Jade. Hanya saja posisi Ara yang sudah Jade kunci menggunakan tubuhnya, membuat Ara tidak bisa melakukan apa-apa selain memohon untuk dilepaskan. "Pak Jade tolong lepaskan saya." isak Ara. Tangisan Ara menghancurkan harga diri Jade. Tak seorangpun pernah menolaknya. Jade berhenti sejenak, memperhatikan wajah Ara yang kini penuh air mata. Bukannya kasihan, Jade justru menyentuh bibir wanita itu. "Sekali saja, kumohon. Aku tidak pernah memohon seperti ini untuk menyentuh wanita. Aku melakukannya karena aku menghormati keputusanmu." pinta Jade. "Sejak awal saya tidak pernah mengizinkan, tapi pak Jade sudah memutuskan tanpa menghiraukan jawaban! Tolong jangan seperti ini pak." pekik Ara. Jade mengecup bibir Ara. Kali ini Ara membiarkan sembari berharap Jade akan berhenti setelah mendapatkan apa yang dia mau. Bibir Jade bergerak perlahan, ke kiri dan ke kanan dengan hembusan nafas pelan. Tapi tak lama kemudian, Jade tidak bisa menahan diri. Laki-laki itu melumat bibir Ara atas bawah bergantian. Kasar, menuntut, dan penuh gairah. Ara menangis tanpa suara. Kenangan saat Jade menyentuhnya, seolah kembali terulang hanya karena sebuah ciuman. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD