Episode 7 : Berbohong

1448 Words
"Kau membuatku gila, Adaline. Semakin mencoba mencari tau, aku justru tidak bisa mengingat apapun. Siapa kau?" bisik Jade parau. "Pak Jade kita tidak saling mengenal. Tolong jangan bersikap seperti ini. Saya takut." balas Ara gemetar. Jade menatap bibir Ara yang membengkak karena ulahnya. Jade menyentuh bibir itu meskipun Ara segera memalingkan muka. Jade tersenyum samar sebelum menjatuhkan diri di sebelah Ara. Dengan cepat Ara berdiri. Wanita itu berlari ke kamar mandi dan langsung menguncinya. Ara menangis dalam diam. Sisi kecil hatinya sedikit menyesal sudah mengikuti Jade masuk ke apartemen laki-laki itu. "Adaline apa kau baik-baik saja?" tanya Jade di luar pintu. "Tolong pergilah, tolong biarkan saya sendiri." pinta Ara. "Ponselmu sejak tadi terus berbunyi, Samuel menelpon. Apa aku harus menjawabnya?" tanya Jade pura-pura bodoh. Dengan cepat Ara membuka pintu, melewati Jade, dan langsung menyambar ponsel. Wanita itu menghapus air mata sebelum menerima telepon. Jika tidak cepat keluar, Ara khawatir Jade benar-benar menerima panggilan telepon Samuel. "Kau dimana Adaline? Aku khawatir. Sejak tadi kau tidak menjawab pesan atau menerima telepon." tanya Samuel begitu panggilannya terhubung. "Maaf sudah membuat pak Sam khawatir. Aku sedang mencari hunian baru untuk kami. Maaf juga karena tidak memberi kabar terlebih dulu." jawab Ara. Jade mendengarkan percakapan Ara dan Samuel sembari terus memperhatikan Ara yang sengaja menjauh ke arah Jendela. "Kau tidak perlu pindah, aku saja yang pindah. Kayli pasti tidak mudah bersosialisasi dengan lingkungan baru." ujar Samuel. "Rumah itu sangat bersejarah untuk pak Sam, kenapa pak Sam yang harus keluar? Nyonya pasti tidak akan menyukai itu." tolak Ara. "Aku tidak peduli pokoknya..." "Agh!" pekik Ara. "Adaline ada apa?" tanya Sam khawatir. Ara memekik karena terkejut saat berbalik dan menyadari Jade berdiri tepat di belakangnya. Secara spontan satu tangan Ara mendorong Jade menjauh. "Adaline?" tanya Samuel karena tak kunjung mendapat jawaban. "Aku, aku baik-baik saja. Tadi ada kucing yang tiba-tiba melompat." jawab Ara berbohong. Tanpa suara Jade mendorong Ara hingga Ara terpojok di sudut jendela. Ara bersikap awas saat Jade mendekat sambil berbisik. "Apa kucing ini harus bersuara agar Samuel tau kalau kau tidak sendiri?" tanya Jade. Ara langsung menggeleng. Gelengan kepala Ara membuat senyum Jade makin merekah. Dengan berani, Jade membawa Ara ke dalam pelukannya. "Kau bersama siapa? Sepertinya aku mendengar suara laki-laki?" tanya Samuel penasaran. "I-itu, itu suara pemilik rumah." jawab Ara gugup. "Pulanglah Adaline. Kau tidak perlu mencari hunian baru. Tidak baik juga pergi sendirian dan bertemu orang asing yang tidak di kenal." perintah Samuel. "Aku akan segera pulang, kalau begitu aku tutup telponnya pak Sam." ujar Ara. "Aku merindukanmu." ujar Samuel tiba-tiba. "Aku..." Ucapan Ara terhenti saat Jade dengan cepat membungkam bibir Ara menggunakan bibirnya. Tanpa pikir panjang Ara langsung memutus sambungan telepon. Cengkraman tangan Jade pada belakang kepala Ara, membuat Ara tidak bisa berkutik. Wanita itu terpaksa diam dan menunggu Jade menyelesaikan ciumannya. Ciuman yang ganas dan menuntut, berubah menjadi lembut dan berirama begitu Ara tidak menunjukkan perlawanan. Jade menikmati bibir Ara meskipun Ara tidak membalasnya. Setelah cukup lama, Jade berhenti sambil menatap wajah Ara. "Sepertinya aku tidak boleh bertindak lebih dari ini." ujar Jade parau. "Pak Jade sudah bertindak sangat berlebihan dan tidak masuk akal. Tolong ingat bahwa sebentar lagi pak Jade akan menikah. Tolong ingat juga bahwa saya ini wanita yang dekat dengan sahabat bapak." tegas Ara. Jade tertawa pelan. "Kau marah?" "Iya! Saya sangat marah. Saya marah karena sudah percaya pada pak Jade!" ujar Ara sebelum berlalu. Jade tidak mengejar Ara. Laki-laki itu menatap keluar jendela dengan pikiran kalut. Saat mencium Ara untuk kedua kali, Jade seperti mengingat sebuah kejadian. Ara yang tidak melakukan perlawanan, membuat Jade mengingat wajah Ara yang tak berdaya berada tepat dibawah tubuhnya. "Ternyata aku benar-benar pernah tidur dengannya. Ingatan itu tidak mungkin salah. Tapi kenapa Adaline begitu pasrah? Apa Adaline hadiah dari seseorang? Atau dia sengaja menjual diri demi uang?" gumam Jade penasaran. Karena terus dihantui rasa penasaran, Jade bergegas mengikuti Ara pulang. Sementara itu, Ara langsung kembali ke rumah Samuel setelah meninggalkan Jade pergi. Begitu sampai di rumah, Ara terkejut mendapati Rita tengah berbincang bersama Hana. Ara ingin segera menuju kamarnya, tapi panggilan Hana membuat Ara mengurungkan niat. "Adaline, kau baru pulang?" tanya Hana. "Iya." jawab Ara singkat. "Kau sudah menemukan rumah baru?" tanya Rita sinis. "Saya sedang mencarinya Nyonya." jawab Ara sopan. "Kau akan pindah?" tanya Hana. "Dia tidak berniat pindah kalau tante tidak mengusirnya. Dia seperti parasit yang selalu menggerogoti Samuel. Padahal hubungan kalian sangat baik, tapi gara-gara seseorang hubungan kalian jadi merenggang." ujar Rita pada Hana. "Kami tetap berteman baik, Tan. Tolong jangan salahkan Adaline untuk itu. Adaline adalah orang yang sangat penting bagi Samuel." bela Hana. "Penting apanya? Hanya karena dia bisa menggambar dan menghasilkan sedikit uang, dia jadi besar kepala dan tidak mau meninggalkan Samuel. Dia bersikap seperti nyonya padahal dia hanya menumpang hidup." hina Rita. Adaline mendengarkan ucapan Rita dan Hana dengan kepala tertunduk. Bulir bening nyaris mengalir di wajahnya. Adaline berusaha keras menahan tangis. "Saya punya pekerjaan yang harus diselesaikan bersama Adaline, Tan. Apa boleh kami berbicara secara pribadi?" tanya Hana. "Silahkan saja. Tante juga muak melihat wajahnya." ujar Rita sebelum berlalu. Sesaat suasana menjadi hening. Rita beristirahat di kamar tamu sembari memberi ruang pada Hana dan Ara untuk berbicara. Ara menghela napas panjang sebelum memulai percakapan. "Apa buk Hana mau minum?" tanya Ara basa-basi. "Sebenarnya aku menyukai Samuel." ujar Hana tiba-tiba. "Aku menyukainya sampai hatiku sakit melihat Samuel begitu perhatian padamu. Apa aku boleh meminta sesuatu yang egois? Aku tidak bisa menahannya lagi, Adaline. Aku ingin kau juga pergi dari sisi Samuel. Hanya dengan cara itu aku punya kesempatan untuk meraih hati Samuel sebelum tanggal pernikahan antara aku dan Jade ditentukan. Jika kau terus berada disisinya, Samuel tidak akan pernah melihat ke arahku." sambung Hana. Ara terdiam. Hal seperti ini tidak pernah Ara perhitungkan sebelumnya. Sejak awal Ara tau Hana menyukai Samuel. Hanya saja Ara tidak percaya Hana akan mengatakannya secara langsung. "Bu Hana, Saya..." "Aku tau permintaan ini sangat egois mengingat betapa kau begitu berjasa untuk Samuel. Tapi sebagai perempuan, aku yakin kau tau betul seperti apa rasanya menyaksikan orang yang kita sukai dekat dengan wanita lain. Aku tidak pernah menunjukkan sisi seperti ini terhadap siapapun. Ku harap kau bisa mempertimbangkannya." potong Hana. "Saya dan pak Sam tidak punya hubungan khusus. Bu Hana tidak perlu khawatir. Ah maaf tapi saya harus pergi lagi. Sepertinya saya meninggalkan ponsel di rumah yang tadi rencananya akan saya beli." bohong Ara. Hana menyadari ucapannya sudah membuat Ara tidak nyaman. Untuk itu Hana tidak menahan kepergian Ara. Dengan cepat Ara keluar dari pekarangan rumah Samuel. Wanita itu nyaris menangis di hadapan Hana. Meskipun Ara dan Samuel tidak punya hubungan khusus, tapi kedekatan mereka sudah menimbulkan benih-benih cinta di hati Ara. Saat Ara keluar pagar, saat itu juga mobil Jade sampai. Jade yang ingin masuk, mengurungkan niat dan malah mengikuti Ara yang berjalan sambil menangis. Jade membunyikan klakson mobilnya untuk menarik perhatian Ara. Ara tidak menoleh meskipun Jade dengan sengaja berhenti di pinggir jalan. Karena Ara mengabaikannya, Jade keluar dari mobil dan menyeret Ara. "Ikut aku." perintah Jade. Ara tidak melawan. Kali ini Ara dengan sukarela mengikuti Jade. Sepanjang perjalanan Ara terus menangis. Jade tidak bertanya pun tidak mengeluarkan suara. Hanya terus mengemudi tanpa tujuan. Karena lelah mengemudi dan Ara tak kunjung buka suara, akhirnya Jade membawa Ara kembali ke apartemen miliknya. "Aku tidak tau harus membawamu kemana. Rumahku mungkin bisa jadi tempat melarikan diri yang paling nyaman. Kau bisa menumpahkan semua keluh kesahmu disana." ujar Jade. "Saya tidak bisa seperti ini. Kayli masih di rumah itu." ujar Ara nyaris tidak terdengar. "Apa aku harus menjemput Kayli? Ah sepertinya aku harus memberi tau Samuel." ujar Jade sembari meraih ponsel. Dengan cepat Ara menahan tangan Jade. "Jangan lakukan itu. Saya tidak ingin menyulitkan pak Sam." cegah Ara. "Kau tidak ingin menyulitkan Samuel tapi kau tidak memikirkan seperti apa sibuknya aku. Sebagai ganti waktuku yang sudah terbuang, kau harus mengatakan apa yang terjadi." perintah Jade. "Kita tidak sedekat itu untuk menceritakan masalah masing-masing." tolak Ara. "Kita juga tidak sedekat itu untuk berduaan di dalam mobil. Sepertinya kau lebih suka jika aku menghubungi Samuel daripada mengatakannya langsung. Baiklah kalau itu yang kau mau." ujar Jade setengah mengancam. Dengan cepat Ara meraih ponsel Jade dan menyembunyikannya. "Katakan, kau ingin aku merebut ponsel secara paksa lalu menghubungi Samuel atau mulai ceritakan apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Jade membuat pilihan. "Saya akan mengatakan apa yang terjadi, tapi tolong, tolong jangan berpikir buruk terhadap apa yang akan saya ceritakan. Juga, tolong jangan katakan apapun pada pak Sam." ujar Ara mengalah. "Kau sangat manis saat menjadi wanita penurut Adaline." balas Jade senang seraya mengelus kepala Ara. Dengan suara bergetar Ara mulai bercerita. Jade mendengarkan tanpa memotong ucapan Ara. Meskipun tidak semua hal Ara katakan, Ara menjadi lebih lega karena sudah mengeluarkan beban yang menghimpit hatinya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD