"Gue nggak habis pikir kenapa lo bisa lupa kalau ada tugas yang harus dikumpulin lima belas menit lagi Do." Sarka menatap Edo sembari geleng-geleng kepala, ia benar-benar tidak habis pikir kenapa Edo bisa lupa. Padahal saja guru matematika yang mengajar di kelasnya terkenal guru killer. Dan satu lagi, guru tersebut tidak segan-segan akan menghukum siswa yang berani tidak membuat tugas atau PR. Tidak salah sebenarnya, itu kan sudah kewajiban siswa sekolah.
Sarka tentu saja akan ingat dengan tugas matematika tersebut. Sarka terus terbayang-bayang apabila ia tidak mengerjakan tugas, ia akan dihukum. Dan sungguh, Sarka tidak sudi menerima itu. Oleh karenanya, Sarka langsung mengerjakan tugas. Sedangkan Edo, dia bahkan lupa. Membuat Sarka mendesah panjang saja.
"Untung aja lo bilang gini Sar, coba kalau enggak? Duh ... Bisa mampus gue!" Edo berkata sambil sibuk menulis di buku tugasnya. "Ngomong-ngomong makasih ya lo udah baik sama gue."
"Iya sama-sama, lain kali nggak boleh lupa ngerjain tugas. Gue keluar deh kalau gitu, gue tinggal dulu, ya?"
Sekarang memang waktunya istirahat, dan semua siswa diberikan waktu lima belas menit sebelum pergantian pelajaran di mulai.
Edo mulai mendongakkan wajahnya, ia memperhatikan Sarka yang sudah berdiri dari duduknya. "Lo mau ke mana?"
"Keluar," tukas Sarka, pendek. "Kenapa emangnya?"
"Lah ... Kok malah nanya kenapa sih Sar? Ya gue nggak mau tinggal di kelas sendirian lah! Lihat, kelas sepi! Semua anak keluar istirahat." Edo mengomel panjang lebar. Tatapan sinisnya ia lempar kepada Sarka.
"Lah maka dari itu, gue pun mau istirahat. Gue pengin cari angin, gerah di sini. Udah Do, lo fokus aja tuh garap tugasnya."
"Ya masa lo tega ninggalin gue sendirian di sini Sar," ujar Edo sebal.
"Nggak sendirian, tuh di pojok belakang ada kok yang nemenin lo." Sarka tersenyum miring, membuat Edo yang memang takut sekali dengan yang namanya hantu dan segala jenisnya, langsung membelalakkan matanya.
"Sari! Ngomong apaan lo tadi, ha?!" Edo sudah setengah berdiri dari duduknya.
"Nggak Do, cuma becanda. Udah ah, lo di sini aja selesain tuh tugas lo, gue pergi dulu!" Sarka langsung cabut dari kelas tanpa memedulikan Edo lagi, ia tidak peduli bahwa Edo sudah berteriak memanggil-manggil namanya di belakang. Sarka hanya cuek saja, ia terus melangkah.
Sebenarnya, apa yang Sarka katakan kepada Edo barusan sama sekali tidak berbohong. Sarka berkata yang sejujurnya bahwa di pojok kelas memang ada sesosok makhluk tak kasat mata. Di sana ada anak kecil perempuan dengan rambut panjang, ditangannya terdapat sebuah boneka yang sudah lusuh, seperti pakaian yang dikenakan olehnya. Dia hanya diam di sana, sama sekali tidak bergerak. Sejak lama Sarka mengamatinya, bahkan pernah Sarka mencoba mengajak bocah tersebut untuk berbicara pada saat kelas kosong, tapi dia hanya diam saja, bibirnya yang pucat terkunci rapat. Asik sekali dengan dunianya sendiri tanpa peduli dengan keberadaan di sekitarnya.
Dan jika ada yang bertanya kenapa Sarka barusan tidak berkata yang sejujurnya kepada Edo, Sarka tentu saja akan menjawab bahwa ia tidak mau Edo parno dan ketakutan sendiri. Yang alhasil akan berdampak pada tugasnya yang belum selesai-selesai juga. Lagipula, Sarka juga belum siap menceritakan kepada siapapun bahwa dirinya bisa melihat mereka yang tak terlihat oleh mata manusia kebanyakan.
Ah, Sarka tidak mau memikirkan hal itu lagi. Ia terus berjalan maju, hingga langkah kakinya membawa Sarka menuju rooftop sekolah. Cuaca pada jam sepuluh pagi ini terlihat mendung. Sepertinya tidak lama lagi ibu kota akan diguyur oleh hujan deras.
Sarka ingin menikmati angin segar di sini. Kebetulan saja udara bertiup cukup kencang, menciptakan hawa dingin yang menusuk pori-pori kulit. Sarka merinding sesat, tidak menyangka bahwa udara akan sedingin saat ini.
Terdengar suara gemerisik dari pohon-pohon disekitarnya, Sarka kemudian naik ke atas pembatasan rooftop, ia duduk di sana. Ketika mendongakkan wajahnya ke atas, awan gelap nampak semakin menutupi langit.
Sarka menghela napas panjang, pikirannya tiba-tiba mengarah kepada mimpi aneh waktu itu, juga tentang buku catatan miliknya yang berubah menjadi misterius.
Sungguh, semakin dipikirkan dan mencoba untuk menemukan alasannya, Sarka justru diserang oleh perasaan pusing. Jawaban yang ia inginkan terasa kabur dan menjauh ketika Sarka mencoba untuk mencari tahu.
"Siapa yang menulis nama Metta menggunakan darah dibuku catatan gue?" Sarka bergumam pelan. Ia menggeleng, "ini aneh dan nggak masuk akal. Metta siapa yang dimaksud? Metta adik kelas gue yang beberapa hari yang lalu meninggal? Atau Metta yang lain? Gue juga yakin kalau tulisan itu dari darah! Baunya udah jelas banget." Sarka bergumam sendiri.
Sarka bergidik sendiri. Bukankah itu terasa sangat menyeramkan?
Sarka kemudian berdiri di atas pembatas, tangannya terentang lebar, matanya memejam rapat. Memikirkan hal aneh tentang membuat kepalanya terasa mau pecah saja, dan untuk sejenak, Sarka ingin melupakan masalah itu. Mungkin, dirinya hanya berasumsi terlalu berlebihan saja.
***
"Ah itu dia, ketemu juga akhirnya." Senyuman Nadine terbentuk lebar ketika menemukan tempat yang ia cari. Menaiki anak tangga beberapa saat, akhirnya Nadine berhasil sampai di rooftop sekolah, tujuannya memang ke tempat itu untuk mengindar dari keramaian.
Lagipula ia merasa bahwa belum saatnya pelajaran di mulai lagi. Barusan saja Nadine melihat siswa-siswi masih sibuk di luar kelas, itu artinya belum terdengar bel masuk. Kesempatan itu Nadine gunakan untuk pergi ke rooftop. Dan, lagian juga Nadine sudah tahu kelas barunya ada di sebelah mana. Jadi, ia tidak perlu repot-repot untuk mencarinya lagi.
Langkah Nadine langsung terhenti begitu ia melihat seorang cowok berdiri di pembatas rooftop dengan tangan terentang lebar. Melotot lebar sembari menahan napasnya, Nadine tiba-tiba diserang perasaan panik, jantungnya terasa terpompa cepat. Nadine mempunyai dorongan untuk mencegah seseorang yang hendak mencelakai dirinya tersebut. Langsung saja Nadine ambil langkah seribu, ia berlari. Dan ketika sudah sampai, Nadine segera menarik tangan cowok tersebut dengan sangat kuat.
Bruk!
Nadine berhasil menarik tangan cowok yang tidak ia kenal tersebut. Keduanya jatuh ke lantai secara bersamaan. Nadine meringis pelan ketika merasa bokoongnya terasa nyeri, juga sikunya yang sakit.
"Aduh ... sakit!" Nadine merintih lirih. Ia memeriksa sikunya yang sedikit mengeluarkan darah karena tergores. Ya, bagus sekali, ia berniat menolong orang lain, tapi malah dirinya yang celaka.
"Lo ngapain bikin gue kaget? Maksudnya apa narik-narik segala?"
Tiba-tiba cowok dihadapannya ini mengomel kepada Nadine, membuat cewek yang rambutnya dikepang tersebut mendesah panjang. Nadine menatap wajah cowok itu yang terlihat sangat kesal. Sejenak Nadine mengabaikan rasa perih disikunya, ia membalas tatapan marah cowok itu.
"Lo mau ngapain berdiri di sana? Kalau masalah lo banyak, cari jalan keluarnya, bukan malah mau mengakhiri hidup lo sendiri. Bunuh diri nggak akan menyelesaikan masalah lo itu."
"Ha? Maksudnya?"
"Gue tahu, lo tadi mau lompat, kan? Lo nggak mikir sama masa depan lo dan orang tua lo? Lo gilaa mau mengakhiri hidup lo sendiri. Lo nggak sendirian di sini, gue yakin masih banyak orang yang sayang sama lo. Dan gue tolong sama lo, pikirkan baik-baik ini semua. Lo bisa hadapi semua masalah lo itu." Nadine berkata panjang lebar dalam satu tarikan napas, setelah selesai, Nadine mengatur pernapasannya yang langsung berjalan tidak normal. Nadine ngos-ngosan. Ditatapnya wajah cowok dihadapannya ini. Dis terlihat mengerutkan keningnya, bingung sendiri.
"Apa yang lo omongin? Gue bunuh diri?" Cowok itu tertawa terbahak-bahak. Ia terus tertawa cukup lama, hingga perutnya terasa sangat sakit dan matanya berair. Ia menatap Nadine sambil menggelengkan kepalanya. Sambil mengusap sudut matanya, Sarka kembali berkata. "Hei, gue nggak sekonyol itu pengin matii sekarang! Lo salah, gue nggak mau bunuh diri. Gue masih punya masa depan yang harus gue gapai, dan gue nggak punya masalah seberat yang lo pikirin sampai-sampai gue berniat mengakhiri hidup gue sendiri. Ngerti sekarang?"
Nadine mengerjapkan matanya, pipinya terasa panas karena malu. Ia langsung memalingkan wajahnya ke samping. Berdehem sejenak, Nadine kemudian berkata lirih, "te-terus lo ngapain berdiri di sana, dan kenapa tangan lo terentang gitu! Bukan salah gue kalau gue salah paham. Lo kayak mau bunuh diri, siapapun yang lihat pasti berpikiran sama kayak gue."
Nadine tidak mau disalahkan dalam hal ini. Ia pun buru-buru melanjutkan ucapannya yang barusan belum selesai. "Dan andai saja tadi lo emang mau bunuh diri dan gue nggak bisa nyelamatin lo."
"Tapi gue nggak mau bunuh diri."
"Ah terserahlah ..." ucap Nadine sambil mengibaskan tangannya. "Kalo tadi lo jatuh gimana?"
"Kan gue emang jatuh pas tiba-tiba lo datang dan tahu-tahu narik tangan gue ke belakang."
"Bukan gitu!" Sangkal Nadine cepat, selanjutnya ia menghela napas panjang. "Maksud gue ya, gimana kalau tadi lo kepleset dan jatuh ke bawah. Lo sendiri yang bakal celaka."
"Tapi gue baik-baik saja kan sekarang nyatanya?" balas cowok itu sambil tersenyum, membuat Nadine menggeram pelan dan memutar bola matanya malas. Nadine berdiri dari duduknya dan membersihkan roknya yang sedikit kotor.
"Tau ah, gue mau ke kelas." Nadine melirik cowok tadi dengan sorot mata sinis, sebelum akhirnya ia berjalan menjauh darinya. Nadine memilih untuk pergi ke kelas baru yang akan menampung dirinya.
"Semoga aja gue betah sekolah di sini." Nadine bergumam pendek sambil terus melangkah maju.