Sarka sedang melangkah santai untuk pulang ke rumah setelah membeli sapu dan kemoceng ketika tiba-tiba saja ia melijat sesuatu, langkahnya dengan cepat langsung terhenti. Bola mata Sarka melotot lebar lantaran ia melihat sesuatu yang akan terjadi. Jantung Sarka berdetak kencang, Sarka melihat dari arah berlawanan sebuah mobil yang melaju cukup kencang, sedangkan ia melihat anak kecil yang sedang berlari ke arah tengah jalan untuk mengambil bola. Melepaskan barang belanjaannya, Sarka langsung berlari kencang.
"AWAS!" ujarnya kencang sambil terus melangkah. Begitu sampai, Sarka langsung menyeret anak kecil yang hampir saja tertabrak mobil. Sarka terjatuh dengan tubuh bocah itu yang berada di atasnya.
Mobil itu masih tetap melaju. Sarka menghela napas panjang. Untung saja bocah kecil tersebuh selamat. Sarka merintih pelan karena punggungnya terasa sakit.
Buru-buru Sarka berdiri. "Kamu nggak pa ... Arial? Kamu nggak pa-pa Arial? Ada yang sakit nggak?" Sarka tidak sadar bahwa anak kecil yang ia tolong adalah Arial, bocah berusia kira-kira tiga empat tahunan yang tinggal tepat disamping rumahnya. Sarka pikir siapa tadi.
Bocah dengan pipi gembul tersebut mengangguk pelan, membuat Sarka menghela napas panjang. Untung saja Arial baik-baik saja. Sarka tidak bisa membayangkan jika ia tidak melihat Arial, pasti bocah tersebut .... Ah, Sarka bahkan malas menyebutnya. Sarka tersenyum tipis dan mengacak puncak kepala Arial.
Sarka memandangi berlalunya mobil tadi seraya merutuk pelan. "Udah tahu ini jalanan kompleks, main kebut-kebutan aja," ucapnya kesal sembari menggelengkan kepalanya. Sarka menoleh ke arah Arial lagi, bocah itu sudah tidak ada disampingnya.
Terlihat Arial yang sedang berlari menuju rumahnya. Awalnya Sarka akan memanggil namanya, tapi ia memutuskan untuk membiarkan saja. Toh Arial pergi ke rumah orang tuanya, bukan ke tempat lain, Sarka sedikit lebih tenang.
Kembali mengambil kemoceng dan sepatu yang tergeletak di jalanan, Sarka pun lantas berjalan menuju rumah dan kembali menemui ibunya di gudang.
"Ini bu kemoceng dan sapunya," ujar Sarka sembari menyerahkan barang-barang pembeliannya barusan.
Maria menerimanya dengan senang hati, lengkap dengan senyuman lebarnya. "Makasih, ada kembaliannya?"
"Eh iya ibu, ada nih." Sarka mengangguk, kemudian ia merogoh saku celananya hendak mengeluarkan uang dari sana, tapi ucapan Maria selanjutnya sukses membuat Sarka menghentikan aktivitas mengambil uang tersebut.
"Nggak usah, buat Sarka aja kembaliannya," kata Maria, membuat Sarka mengerjapkankan matanya.
"Buat Sarka?"
"Iya, buat jajan kamu," tambah ibunya. Sedangkan Sarka mendesah pelan dan kembali berkata.
"Tapi ini sisanya masih banyak loh bu, beneran buat Sarka nih?" tanya Sarka, hanya untuk memastikan saja. Barangkali Maria kelupaan sesuatu, bisa jadi bukan?
Maria kembali mengangguk, lebih mantap lagi, seolah menegaskan bahwa ucapannya tidak main-main. "Ibu beneran, itu buat Sarka."
"Ya udah, kalau gitu makasih bu hehehe ..." Sarka menyengir lebar, menunjukkan sederet giginya yang putih dan tersusun rapi. Sarka kemudian menatap sekelilingnya, gudang di rumahnya ini tidak luas, tapi barang-barang lama menumpuk di sana, membuat ruangan itu terlihat semakin sempit saya. "Sarka mau bantuin ibu bersih-bersih boleh?" tanyanya, menawarkan diri.
"Boleh, kenapa enggak? Ayo, ibu malah seneng kalau ada temannya. Kamu ambil sapu aja tuh."
"Oke bu," ucap Sarka, ia pun segera mengambil sapu yang baru saja ia beli tersebut. "Sarka sapu bagian sana dulu ya bu?" Jari telunjuk Sarka menunjuk ke arah sudut ruangan.
"Iya."
Sarka mengangguk, setelah itu ia segera berjalan memasuki gudang yang pengap. Gudang ini terasa panas dan penuh dengan debu. Sebelum menyapu lantai yang kotor karena jarang sekali disentuh oleh alat bersih-bersih, Sarka menatap ibunya lagi.
"Bu, barang yang ibu cari di sini udah ketemu?"
"Oh udah ketemu kok, pas kamu pergi beli sapu dan kemoceng."
"Memangnya apaan sih bu?" tanya Sarka penasaran sambil memulai menyapu lantai.
"Kain ibu, udah kamu fokus nyapu aja," jawab Maria sembari sibuk membersihkan debu dan sarang laba-laba.
"Oh cuma kain." Sarka manggut-manggut pelan, kemudian ia teringat Arial yang nyaris tertabrak mobil. Sarka berniat memberitahu ibunya. Sembari bekerja, Sarka berkata lagi. "Ibu tahu nggak bu?"
"Tahu apa?"
"Tadi Arial hampir aja tertabrak mobil di depan."
Maria menghentikan pergerakan tangannya, kemudian wanita yang memakai daster berwarna kuning tersebut memperhatikan Sarka sambil memicingkan satu alisnya. "Tertabrak mobil?"
"Nyaris aja bu, untung saja Sarka langsung tarik dia ke pinggir jalan. Nekat bu yang bawa mobil, ngebut banget! Padahal ini jalanan kompleks, hampir aja Arial celaka. Coba tadi nggak ada Sarka di sana."
"Tapi Arial nggak apa-apa, kan?"
"Aman kok bu, dia langsung lari ke rumahnya."
"Siapa tuh yang bawa mobil, nggak tau diri banget. Nanti ibu omongin sama ibunya Arial biar lebih lebih hati-hati menjaga Arial. Tante Kiki belum tahu, kan?"
Sarka menggelengkan kepalanya. "Belum tahu sih bu, tadi tante Kiki nggak lihat sih kalau anaknya hampir tertabrak mobil."
"Oh ya udah, syukurlah yang penting Arial nggak pa-pa."
"Iya bu, untung saja." Sarka kembali berkutat pada sapunya. Ia terus menyapu, membersihkan lantai dari kotoran. Hingga tidak sengaja Sarka melihat buku. Buku yang tidak asing baginya.
Sarka berjongkok, lalu tangannya terulur dan mengambil buku yang ia lihat tadi. Buku tua bersampul cokelat. "Buku apaan nih, kayak pernah lihat," gumamnya pelan. Kemudian, Sarka membuka buku tersebut. Dan ia terkejut dan membelalakkan matanya.
"Ini kan buku catatan pribadi punya gue, pantas aja nggak asing." Sarka terkekeh pelan, ia pun mengambil buku tersebut dan meletakkan di atas tumpukan kardus.
Buku itu punya Sarka waktu ia masih duduk di bangku SMP. Sarka dulu memang hobi sekali menulis sebuah catatan luapan perasaan hatinya. Semuanya Sarka curahkan ke buku tersebut. Sarka menulis di sana, sesuai dengan apa yang ia alami. Soal itu, Edo juga tahu bahwa Sarka hobi menulis buku diary. Edo bahkan mengejek Sarka karena Sarka seperti perempuan. Tapi, Sarka tidak peduli, itu hobinya dan ia senang melakukannya. Jika hal itu membuat kita nyaman, kenapa tidak?
Sarka tidak peduli akan ejekan Edo tersebut, ia terus menulis di sana. Satu hal lagi, Sarka tidak suka menyebut kegiatannya itu adalah menulis diary. Tidak, baginya kata itu khusus ditujukan untuk kaum perempuan. Sarka lebih suka menyebutnya catatan pribadi miliknya.
Entah kenapa seiring berjalannya waktu, Sarka sudah malas melakukan kegiatan itu lagi. Ia tidak lagi merasa tertarik, tapi sekarang Sarka sangat ingin tahu apa yang ia tulis dulu di buku itu. Sarka ingin membacanya sehabis bersih-bersih. Mengenang apa yang ia rasakan pada waktu SMP dulu.
Akhirnya, setelah memakan waktu cukup lama, Sarka sudah selesai mengerjakan tugasnya. Gudang sudah agak mendingan, tidak terlalu kotor seperti sebelumnya. Sarka mendekat ke arah ibunya.
"Udah selesai kan, bu?" tanya Sarka. "Apa ada yang perlu Sarka kerjain lagi?"
"Iya, udah mendingan. Udahan aja, ya? Ibu juga mau istirahat sebentar, terus lanjut ngerjain cucian tetangga," ujar Maria.
Ibunya Sarka memang membuka jasa laundry pakaian. Dan itu berlangsung sudah sejak lama, untung saja usaha dan bisnis ibunya cukup lancar. Selalu ada yang minta bantuan setiap harinya. Mau bagaimana lagi, ayah Sarka sudah meninggal waktu Sarka masih berusia lima tahun, kata ibunya kecelakaan waktu pulang ke rumah dari tempat kerjanya. Sarka bahkan terlalu sedikit mengenang memori dengan ayahnya.
Tapi untungnya saja perekonomian ibunya lancar-lancar saja saat ini, belum juga ada bang Alan yang sudah bekerja dan bisa membantu kebutuhan rumah.
"Kalau gitu Sarka masuk ke kamar dulu ya bu? Mau istirahat."
"Iya, makasih ya udah bantuin ibu."
"Sama-sama bu, itu kan udah tugas Sarka juga," ucap Sarka sambil terkekeh pelan, ia pun mulai berjalan menuju kamarnya dan duduk di meja belajarnya. Langsung saja Sarka membuka buku yang halamannya sudah menguning tersebut.
Sarka membaca catatan yang ia tulis beberapa waktu, ia kadang tertawa dan geli sendiri. Tentu saja pada masa itu adalah masa paling alay menurut Sarka. Bahkan saking alay-nya, Sarka kadang men-skip membaca bagian yang membuatnya malu sendiri.
Sampai akhirnya, Sarka membuka tengah halaman. Ia terkejut bukan main. Sarka mengerjapkan matanya, memastikan apa yang ia lihat tidak benar. Tapi, bagaimana bisa?
Sarka menelan ludahnya. Tidak, apa yang ia lihat sekarang memang benar. Dibuku catatan miliknya tersebut, tertulis nama Metta dengan huruf kapital. Huruf-huruf itu terlukis sangat besar, memenuhi kertas dibuku tersebut.
"Metta? Kenapa ada tulisan ini di sini?" ujar Sarka, ia pun menyentuh tulisan tersebut. Benaknya masih bertanya-tanya, keningnya berkerut samar. Sarka merasa bahwa tulisan nama Metta tersebut bukan terbuat dari pulpen, spidol, ataupun tinta. Bukan, bukan itu. Teksturnya begitu beda.
Sarka lantas mengendus kertas tersebut untuk mendapatkan baunya. Buru-buru Sarka langsung melempar buku catatan pribadi miliknya tersebut. Jantungnya langsung terpompa begitu cepat.
Tidak salah lagi, tulisan tersebut dibuat menggunakan sesuatu yang tidak pernah Sarka pikirkan.
Darah.
Dah Sarka tidak tahu kenapa bisa begitu.
Dan satu lagi, kenapa ada nama Metta di sana?