"Nah Nadine, sekarang kamu boleh duduk di bangku belakang yang kosong itu. Nggak pa-pa kan sendiri?"
Nadine menoleh menatap wali kelasnya, kemudian ia tersenyum seraya mengangguk kecil. "Nggak masalah kok bu, makasih," ucapnya pelan. Nadine kemudian mengangguk sopan dan mulai berjalan menuju bangku paling pojok yang memang kosong.
Ketika ia sudah hampir sampai, Nadine kaget ketika tatapannya bersirebok dengan cowok yang ada di rooftop saat istirahat tadi. Mereka saling pandang sejenak, sebelum akhirnya Nadine memilih untuk melanjutkan langkahnya. Jujur saja, Nadine merasa malu karena sudah salah mengira bahwa cowok yang duduk tepat dihadapannya ini tidak berniat mengakhiri hidupnya. Tapi, syukurlah kalau seperti itu.
Dilihat dari raut wajahnya, cowok tadi terlihat sangat masih kesal dengan ulah Nadine. Biarlah, Nadine juga berniat untuk meminta maaf nanti.
"Baik anak-anak, ibu keluar dulu kalau begitu. Dan Nadine ..."
Nadine, yang namanya disebut lantas menoleh ke depan, menjeda sejenak aktivitas mengeluarkan alat tulis dari dalam tasnya. "iya bu?"
Wali kelasnya tersenyum hangat. "Semoga kamu betah di sini, ya?"
"Iya bu, semoga."
"Kalo begitu ibu keluar. Ibu harap kalian semua bisa berteman dengan Nadine ya? Dan ingat, kalian jangan ribut. Tunggu aja Bu Lily datang, pasti nggak lama lagi."
"Baik bu, siap!" Semua anak menjawab kompak, tak terkecuali dengan Nadine. Jawaban itu menuai respon senyuman lagi dari wali kelas mereka.
"Dan Ilham, kamu selaku ketua kelas jangan lupa tugas kamu, ya! Kasih tahu teman-teman kamu, terutama yang bandel-bandel supaya bisa tenang. Nanti ibu sekalian panggilin Bu Lily untuk segara datang ke sini."
Ilham langsung mengangguk semangat ketika diberi amanah. "Baik bu, saya akan pastikan kelas ini nggak ribut dan nggak ganggu kelas lain."
Setelah itu, bu Dede, selaku wali kelas yang menampung kelas XI IPA 1 keluar dari dalam kelasnya.
Nadine menatap sekelilingnya, kemudian ia tersenyum tipis. Semoga saja ia memang betah di sini. Ia hendak mengeluarkan buku dari dalam tas ketika seorang cowok yang duduk tepat di depan bangkunya menoleh ke arahnya, tersenyum lebar sembari melambaikan tangannya.
"Hai!"
Nadine membalasnya dengan senyuman, ia pun kemudian berkata. "Halo, kenalin nama gue Nadine," ujarnya seraya menjulurkan tangannya ke depan.
Cowok berambut ikal dan bertubuh gemuk dihadapannya itu menjabat tangan Nadine. "Nama gue Edo, salam kenal juga. Semoga lo betah ya di kelas ini."
"Iya, makasih."
Edo menyenggol lengan Sarka, disusul mendekatkan kepalanya ke arah sahabatnya itu. Edo berbisik pelan, namun Nadine masih bisa mendengarnya. "Sar, kenalan buruan," bujuk Edo seraya memberikan instruksi agar Sarka menoleh ke belakang untuk menatap Nadine.
Mendengkus pelan, Sarka pun menurut. Ia tersenyum tipis, "gue Sarka," ucapnya, ia meminta Nadine menjabat tangannya. Yang langsung ditanggapi cewek berambut kepang tersebut dengan cepat.
"Gue Nadine, senang kenalan sama lo." Entah kenapa Nadine sedikit canggung dengan Sarka, berbeda ketika ia berkenalan dengan Edo. Apa ini efek dari kejadian salah paham di rooftop setengah jam yang lalu? Ya, mungkin saja!
Nadine berdehem singkat, kemudian ia meringis pelan, sorot matanya terus menatap wajah Sarka. "Gue minta maaf soal kejadian yang tadi, gue nggak tau ..."
"Udah, lupain aja. Lagian lo juga nggak tahu kan? Mending nggak usah dibahas lagi. Ngomong-ngomong, senang juga kenalan sama lo." Diakhir kalimatnya, Sarka tersenyum tipis. Membuat Nadine merasa lega bukan main. Akhirnya, Sarka tidak mau mempermasalahkan masalah itu lagi.
"Makasih, gue benar-benar nggak tahu."
"Nggak pa-pa, santai aja."
Nadine pun mengangguk.
Percakapan Sarka dan Nadine membuat Edo mengerjap berulang kali sambil menatap keduanya dengan air muka bingung. Edo menggaruk belakang kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
"Tunggu dulu, ini maksudnya bahas apaan? Kalian berdua pernah ketemu sebelumnya?" tanya Edo tidak mengerti. "Benar begitu?"
"Iya, Nadine ngira gue mau bunuh diri di rooftop. Dia salah paham," sahut Sarka menjelaskan.
Nadine menambahkan. "Habisnya dia berdiri di sana, tangannya juga terentang lebar-lebar. Gimana gue nggak salah paham coba? Menurut pendapat lo gimana?"
"Lo emang kayak orang mau bunuh diri Sar!" timpal Edo, sependapat dengan Nadine. Mendengar respons dari bibir Edo membuat Nadine mengangguk mantap sembari menjentikkan jarinya.
"Nah kan, Edo aja ngomong gitu."
"Gue kan niatnya cuma pengin nenangin diri dan cari angin," tukas Sarka, membela diri.
Edo menghela napas pendek. "Ya tapi nggak gitu juga dong Sar, kalo lo terpeleset terus jatuh gimana entar? Lo sendiri kan yang kena? Jangan ambil resiko gede deh! Lagian lo aneh banget. Cari angin mah nggak usah berdiri kayak gitu juga. Cari mati baru iya!"
"Iya iya, gue salah deh." Sarka akhirnya mengalah juga. Ia tidak mau masalah sepele seperti ini harus dibesar-besarkan. Terlalu berlebihan menurut Sarka.
Setelah itu, percakapan mereka terhenti ketika guru paling killer datang ke kelas, bu Lily, guru matematika yang nggak tanggung-tanggung akan ngasih tugas seabrek. Dan, siapapun yang tidak tenang dan bikin ulah pada jamnya, siap-siap aja langsung menanggung resikonya.
"Tugas lo udah selesai kan Do?" tanya Sarka, memastikan apabila Edo sudah menyalin semua tugas Sarka.
"Udah selesai semua Sar, sekali lagi makasih. Ini berkat lo. Coba aja lo nggak ngomong. Siap-siap aja gue dijemur ditengah lapangan."
Sarka terkekeh pelan mendengar ucapan Edo. "Iya, sama-sama."
"Menangnya ada tugas apa?"
"Tugas matematika minggu lalu," jawab Sarka atas pertanyaan yang Nadine lontarkan. Nadine terdiam setelah itu, hanya kepalanya saja yang mengangguk-angguk. Sarka pun berucap lagi, "Lo tenang aja, bu Lily pasti nggak marah sama lo. Dia pasti ngerti kalau lo siswa pindahan dan tentu saja nggak tau kalau ada tugas. Santai aja."
"Iya, makasih ya!"
Selanjutnya pelajaran pun di mulai dengan sangat tenang. Semua tugas sudah dikumpulkan. Hingga setelah dua jam, akhirnya semua siswa-siswi kelas XI IPA 1 tersebut dapat menghela napas panjang. Lega akhirnya masa-masa tersiksanya sudah habis. Ketegangan yang mereka rasakan juga sudah surut dan mulai digantikan oleh perasaan senang bukan main.
Edo mengelus dadaanya. "Akhirnya selesai juga, berasa dicekik gue kalau jamnya bu Lily, selalu merinding sendiri gue."
"Sama Do, gue juga takut kalau tiba-tiba disuruh maju dan ngerjain contoh soal. Mau napas pun kayak bersalah aja gitu."
Edo menimpali lagi, "kayaknya semua anak juga ngerasain hal yang sama Sar. Nggak cuma kita aja."
"Ya iyalah, kecuali Dini dan Hilda tentunya. Mereka kan anak emasnya bu Lily," tambah Sarka.
Edo menatap kedua cewek yang tadi disebut oleh Sarka. Ia mengangguk setuju. "Maklum lah ya, otak mereka encer semua. Beda dengan kita yang otaknya kecampur sama adukan semen."
"Kita?" Sarka mengerjapkan matanya, ia menatap Edo dengan bibir mencibir. "Gue nggak salah denger kan Do? Kita? Ha ... Lo aja kali. Otak lo yang isinya cuma adukan semen, gue mah enggak."
"Yeee dasar koala!" Refleks, Edo menjitak kepala Sarka.
"Auw! Jangan narik-narik, sakit nih rambutku! Kamu bisa diem nggak?"
Celetukan dari Nadine yang tiba-tiba saja membuat Sarka dan Edo saling berpandangan. Mereka berdua kemudian menoleh ke belakang, menatap Nadine secara bersamaan.
"Nadine? Lo ngomong sama siapa?" tanya Edo merasa bingung sendiri.
Nadine terkejut, ia tidak sadar bahwa tadi sudah kelepasan berbicara sangat keras hingga membuat Edo dan Sarka langsung menoleh ke arahnya. Nadine merutuk dalam hati karena sudah berbuat bodooh dan memancing pertanyaan dari mereka berdua.
Meringis pelan, Nadine mencoba mencari alasan. Untung saja otaknya mau bekerja sama. Cewek berwajah cantik tersebut langsung menjawab. "Oh ini, duh rambut gue terlilit kursi barusan. Sakit banget hehe ...."
"Oh ... Kirain apaan." Edo tertawa pelan, disusul oleh Nadine yang ikut tertawa dengan hambar.
Sarka tahu jika Nadine sedang berbohong. Sarka tersenyum miring, ia tahu bahwa barusan rambut Nadine sedang dimainkan oleh penunggu kelas, hantu bocah perempuan yang selalu membawa boneka, Sarka tahu itu.
Dan artinya, Nadine bisa melihat mereka yang tak kasat mata, sama seperti Sarka. Sarka menatap Nadine, cewek itu sedang melirik ke sampingnya, di mana sosok bocah kecil itu ada di sana.
"Nadine, gue tahu kalau lo lagi nutupi sesuatu dari gue dan Edo." Sarka tersenyum, ia kemudian membalikkan badan. Sedangkan Nadine, langsung syok di tempat. Tubuh Nadine menegang, wajahnya tiba-tiba saja memucat.
Sarka tahu kalau gue bisa lihat hantu? Kok bisa? Bagaimana caranya? Jawabannya cuma ada satu, dia pasti indigo juga kayak gue!
Nadine berbicara dalam hati, setelah itu bola matanya melotot. Tatapan Nadine mengarah ke punggung Sarka. Jika memang benar begitu, Nadine merasa memiliki seorang teman yang sama. Sarka sama seperti dirinya.
Beberapa detik setelahnya, Nadine menggeleng pelan. Ia belum bisa membuktikan apa yang dirinya sangka. Bisa jadi jika barusan Sarka hanya asal bicara saja. Ya, Nadine tidak punya bukti jika Sarka memang bisa lihat hantu.
Perlahan, kepala Nadine menoleh ke belakang. Sosok hantu kecil yang sedari tadi menganggunya dengan cara menarik-narik kepang rambutnya ke belakang, kini sudah tidak ada di tempatnya.
Entahlah dia pergi ke mana. Nadine tidak peduli. Cewek itu mengendikkan bahunya. Kalau seperti ini, malah bagus. Nadine bisa tenang sekarang.