Sarka ingat, dulu ia pernah mendengar cerita dari salah satu teman, sewaktu masih SMP kalau Sarka tidak salah ingat. Teman kelasnya itu, yang entah kenapa Sarka tidak ingat namanya, berkata bahwa neneknya bisa melihat makhluk tak kasat mata dan bisa berbicara dengan hantu. Sarka serta merta langsung tertawa terbahak mendengar ceritanya waktu itu. Ia memang percaya bahwa hantu itu ada, tapi ia menyangkal jika manusia bisa berinteraksi dengan orang yang sudah meninggal. Sarka rasa itu tidak logis dan aneh. Ia tidak percaya dengan hal itu. Bahkan, dengan gamblangnya Sarka berkata kepada temannya itu bahwa neneknya pasti mengada-ada dan berhalusinasi. Tentu saja ucapan Sarka itu membuat teman kelasnya marah dan tidak terima. Tapi Sarka tidak peduli waktu itu, ia memang tidak percaya.
Dan sekarang, Sarka merasa sangat bersalah sudah berkata demikian kepada temannya itu. Ia sudah percaya, karena Sarka mengalaminya sendiri. Ia tahu kalau hal itu masih belum bisa Sarka terima, ia tidak ingin merasakan hal itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Sarka tidak bisa berbuat apa-apa. Bukan keinginan Sarka sendiri untuk melihat mereka yang tak kasat mata oleh manusia normal. Ini diluar kendalinya.
Sarka sebenarnya sangat muak melihat mereka. Bagaimana tidak, mereka secara terang-terangan menunjukkan wajahnya yang sangat menyeramkan. Apalagi hantu perempuan di kamar Abangnya itu. Sarka bisa jadi menjadi gilaa jika tidak bisa tahan dengan semua kejadian ini. Untungnya saja, Sarka belum bertemu dengan makhluk jahat yang pasti membuatnya takut setengah mati.
Sarka ingin mengatakan jika dirinya cukup beruntung karena ia melihat makhluk yang tidak mengganggu dirinya. Atau mungkin itu belum terjadi. Tapi Sarka berharap hal itu tidak pernah terjadi, semoga saja.
Saat ini Sarka sangat percaya dan yakin bahwa mata yang sekarang ia pakai adalah milik seseorang yang mempunyai keahlian khusus melihat makhluk tak kasat mata. Apakah seharusnya Sarka berbangga diri karena sekarang dirinya bisa melihat mereka yang tak kasat mata? Atau seharusnya Sarka merasa bahwa ini adalah sesuatu yang akan membuat dirinya hidup tidak tenang?
Entahlah, Sarka tidak bisa menemukan jawabannya. Semakin ia memikirkan hal itu, semakin kabur pula jawaban itu.
Satu hal yang sudah pasti, penglihatan Sarka akan sekitarnya, sudah berubah sejak hari pertama ia bisa melihat lagi.
"Jangan ngelamun mulu." Bisikan beserta senggolan sikut dari Edo membuat Sarka tersentak pelan. Cowok itu mengerjapkan matanya dan menatap Edo sebentar, sebelum akhirnya memfokuskan tatapannya ke arah depan, menatap seorang guru yang sedang menjelaskan materi di papan tulis.
Sarka sendiri tidak sadar bahwa dirinya sedang melamun.
Edo kembali membisikkan sesuatu. "Entar lo bisa habis sama Bu Etty kalau ketahuan nggak merhatiin apa yang dia ngajar," ujarnya dengan suara lirih.
Sarka pun akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda ia paham. "Gue boleh ijin ke toilet kan Do?"
Edo menoleh, menatap Sarka cepat. "Mau ngapain?"
Mendengkus panjang, Sarka memutar bola matanya. Bagaimana ia tidak kesal, pertanyaan Edo benar-benar membuatnya ingin menelan sahabatnya itu hidup-hidup. Bisa-bisanya ia bertanya seperti itu. Pertanyaan yang tidak memerlukan sebuah jawaban.
"Gue mau jualan gorengan, ya mau buang air lah!" balas Sarka kesal dengan nada suara cukup kencang. Tapi, untungnya saja Bu Etty tidak mendengarnya.
"Jangan keras-keras ngomongnya!" tegur Edo lagi.
"Lagian pertanyaan lo itu bikin gue kesel. Udah ah, gue mau ijin dulu. Lo mau ikut nggak?" tawar Sarka, barangkali Edo ingin buang air juga.
"Ogah!"
Sarka mengendikkan bahunya. "Ya siapa tahu." Kemudian, ia pun berdiri dari duduknya, meminta ijin untuk pergi ke toilet, lalu ia pun keluar dari kelas setelah mendapatkan ijin dari Bu Etty. Sarka berjalan dengan langkah pelan.
Sebenarnya, Sarka tidak kebelet amat, ia hanya ingin sedikit mengindari pelajaran Bu Etty yang membosankan itu. Bu Etty terus menjelaskan tanpa memberikan jeda, itulah yang membuat Sarka tidak tahan. Dan Sarka yakin dan mau bertaruh bahwa teman-temannya juga merasakan hal serupa.
Sesampainya di kamar mandi, Sarka langsung buang air kecil. Setelahnya, ia tidak langsung pergi ke dalam kelasnya lagi. Terlalu cepat menurutnya. Sarka berdiri di depan cermin diatas wastafel. Sebelumnya, Sarka mencuci tangan dan mengelapnya dengan tisu yang sudah disediakan.
"Sebenarnya, siapa yang donorin mata buat gue?" Pertanyaan itu kembali berkecamuk didalam otaknya. Sarka bergumam lirih sambil menatap pantulan wajahnya. "Kenapa gue bisa lihat hantu?"
Sarka mendesah panjang, ia menggeleng pelan. Ia harus kembali ke kelasnya. Namun, sebelum ia bergerak menjauh, ia tidak sengaja melihat sesuatu di dalam cermin dihadapannya itu. Sarka mengerjapkan matanya.
Dari pantulan kaca dihadapan Sarka itu, ia melihat seorang perempuan yang sedang menyisir rambut panjangnya. Sarka membulatkan matanya lebar-lebar, seketika saja lututnya langsung lemas. Dengan jantung yang sudah berdebar-debar, Sarka pun akhirnya memberanikan diri menoleh ke belakang, namun perempuan itu tidak ada di sana!
Sarka tidak menyangka. Ia pun memutar kepalanya lagi untuk menatap cermin. Dan perempuan itu ada di cermin itu. Sungguh aneh dan sangat menyeramkan. Sarka ingin bergerak menjauh, tapi rasanya ia sangat sulit. Seolah kakinya sudah diberi lem perekat.
Menelan salivanya susah payah, Sarka pun memejamkan matanya, berusaha untuk tenang dan berpikir positif. Sarka tidak perlu takut, ia tidak akan membuat kesalahan. Setelah menenangkan dirinya, Sarka pun perlahan-lahan membuka matanya kembali. Dan, sedetik setelah itu hantu perempuan yang sedang menyisir rambut super panjangnya tadi muncul secara tiba-tiba dari dalam cermin di hadapan Sarka, kepalanya menyembul terlebih dahulu dari sana.
Sarka refleks berteriak dan bergerak mundur, ia bahkan menabrak dinding di belakangnya. Jantung Sarka semakin berdentum keras-keras. Dadaanya terlihat naik turun.
Dikuasi oleh perasaan takut yang besar, Sarka memejamkan matanya lebih rapat lagi. Keringat sudah muncul membasahi leher dan keningnya. Sarka tidak berani membuka matanya. Ia benar-benar sangat ketakutan. Ia ingat, wajah wanita tadi begitu menyeramkan.
Matanya hanya tersisa satu, itupun nyaris keluar dari tempatnya. Kepalanya retak dengan darah yang mengalir deras lewat wajahnya. Bibirnya berwarna hitam. Ketika menyeringai seperti tadi, giginya terlihat begitu menjijikan, berwarna kuning.
Dan satu hal lagi yang membuat perut Sarka rasanya sangat mual, bau busuk dari hantu perempuan itu menguar begitu hebatnya. Sarka ketakutan setengah mati. Setelah itu, Sarka merinding, bulu kuduknya berdiri semua ketika tawa cekikikan yang sangat melengking terdengar.
"Hei bocah ingusan, buka matamu itu!" Suara perempuan dengan wajah super menyeramkan itu membuat Sarka bergidik ngeri. Berulang kali Sarka berusaha mengatur napasnya yang tidak terkontrol. Seluruh tubuhnya bergetar.
Sarka masih diam dengan mata menutup, ia terlalu takut untuk membuka matanya. Sarka tidak mau menuruti perkataan hantu itu. Apalagi harus bertatapan dengannya lagi. Sarka tidak ingin mengeluarkannya isi perutnya.
"Baiklah, sepertinya ada yang takut dengan wajah saya ini." Secepat kilat perempuan itu mengubah bentuk wajahnya. Sekarang wajahnya terlihat normal seperti manusia, yang membedakannya hanyalah warna kulitnya yang terlampau pucat.
"Nggak usah takut sekarang, buka matamu!" ucapnya tegas kepada Sarka.
Sarka pun perlahan menurut, ia membuka matanya. Dan benar saja, meskipun masih saja menyeramkan karena perempuan itu bukan manusia, tapi ini lebih baik. Sarka tidak lagi merasa terguncang sepeti sebelumnya.
"Maaf maaf, saya tidak bermaksud mengganggumu barusan. Saya hanya iseng saja." Perempuan itu tertawa lebar sambil menyisir rambut panjangnya. Meskipun begitu, tawanya masih saja membuat buku kuduk merinding.
Sarka mendesah panjang, ia sudah mulai tenang sekarang. Sarka menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kenapa makhluk seperti kalian ini mudah sekali mengubah wajah? Semudah itukah?" tanya Sarka, sebenarnya lebih kepada dirinya sendiri, lagipula ia mengatakannya dengan suara minim. Tapi sepertinya hantu perempuan bersurai panjang itu mendengar perkataan Sarka.
"Mudah dong!" balasnya mantap.
"Kamu siapa sebenarnya?" tanya Sarka. "Kamu tau? Wajahmu barusan sungguh sangat menyeramkan. Aku bahwa ketakutan sendiri."
"Ya saya kan sudah minta maaf barusan. Saya cuma iseng saja, saya tidak bakal begitu kalau kamu nggak bisa lihat saya. Kamu spesial, bisa melihat makhluk kayak saya ini. Suatu kelebihan yang nggak semua orang punya."
"Sebelumnya aku nggak bisa makhluk tak kasat mata seperti kamu itu!" balas Sarka secara cepat.
"Kenapa?"
Sarka menggeleng pelan. "Nggak, bukan urusanmu untuk tahu."
"Tenang saja, kamu tidak perlu takut dengan saya. Saya nggak akan membuatmu takut lagi, saya baik kok. Bisa dijamin. Hanya saja saya memang suka berbuat usil." Perempuan itu duduk mengambang di depan wastafel, bagian bawah pakaian yang ia kenakan sedikit transparan, tidak ada pula kaki yang terlihat. Tapi itu bukan hal yang asing, hantu perempuan di kamar Alan juga sama.
"Tapi ingat, nggak semua makhluk tak kasat mata seperti saya ini baik. Banyak yang jahat. Beruntung kalau kamu belum melihat dan bertemu dengan jenis makhluk itu," ucap perempuan itu lagi.
"Aku memang belum bertemu dengan hantu jahat," aku Sarka. Memang ia belum bertemu, mungkin satu kali pas ia dan mamanya mengunjungi restoran rumah sakit. Dan Sarka melihat pocong. Meskipun dia diam saja, tapi hawa yang ditunjukkan begitu negatif.
"Bagus kalau gitu."
"Udahlah, aku mau balik ke kelas, nanti kena marah malah dihukum."
"Eh tunggu dulu sebentar, saya mau ngomong sama kamu."
"Ngomong apa?"
"Boleh kenalan? Saya nggak punya teman di sini. Saya kesepian. Kamu mau jadi teman saya, kan?"
Sarka tidak langsung menjawab atau menanggapi ucapan hantu dihadapannya ini. Tapi akhirnya, ia mengangguk juga. Sepertinya dia tidak jahat. Hantu itu tersenyum sangat lebar.
"Baiklah, namaku Sarka."
"Nama saya Rose. Senang berkenalan denganmu Sarka."
"Rose?"
"Kenapa? Kedengaran aneh?"
"Ya enggak, tapi ..."
"Iya iya iya saya tahu kalau nama saya nggak cocok sama muka saya ini," potong hantu perempuan itu. "Saya sebenarnya sudah lupa nama saya siapa. Saya sudah lama meninggal, kira-kira lima belas tahun yang lalu."
Sarka menahan napasnya mendengar kalimat itu. Ia ingin bertanya, tapi ia mengurungkan niatnya. Sarka harus cepat-cepat balik ke dalam kelasnya. Ia bisa bertemu dengan Rose lain kali.
"Saya sengaja milih nama Rose, karena saya penggemar berat Blackpink. Saya suka dengerin lagu-lagunya. Saya sering lihat anak-anak sini pada mutar lagunya, jadi saya juga tahu dan jadi ikutan suka hehehe ..."
Sarka mencibir pelan. "Nah sekarang, coba kasih tahu kenapa kamu ada di toilet laki-laki?!"
"Sepertinya kamu tahu jawabannya."
Sarka memutar bola matanya. Menyebalkan sekali rasanya. Kenapa hantu-hantu perempuan suka berdiam diri di tempat laki-laki? Sarka pun tidak menggubris Rose lagi, ia langsung keluar dari dalam toilet dan menuju kelasnya.