05. MEREKA ADA

1146 Words
"Alhamdulillah, akhirnya lo bisa lihat lagi Sar, gue turut bahagia." Sarka tersenyum tipis kepada Edo, sahabat karibnya dari kecil. Sarka menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Makasih Do, gue juga seneng bisa melihat lagi." Edo menepuk-nepuk pelan pundak Sarka. "Maafin gue ya karena gue kemarin nggak bisa ke sini nemuin lo, gue sama nyokap lagi di rumah nenek. Dan baru balik tadi malem," ucapnya menyesal. Sarka tidak masalah dengan itu. Ia biasa saja, tidak merasa keberatan jika kemarin Edo tidak menyambut kepulangan dirinya. Lagipula Edo juga pasti punya kesibukan sendiri, Sarka tidak bisa memaksa kehendak sahabatnya itu. Dan Sarka juga tidak bisa menyuruh Edo untuk setia berada di sampingnya terus. Itu nggak akan terjadi, Sarka juga punya urusan sendiri tentunya. "Lo ngapain minta maaf deh, lo nggak salah Do. Jangan dipikirin lagi, gue nggak masalah," ucap Sarka, menenangkan Edo. Untung saja Edo langsung mengangguk. Selama enam bulan terakhir ini, sewaktu Sarka ditemani oleh kegelapan, Edo juga sering menemani dan memberikan semangat untuknya. Edo adalah sahabat setia, ia tidak akan pergi meninggalkan Sarka dalam keadaan susah. "Malahan, seharusnya gue yang harus minta maaf sama lo. Gue terlalu ngrepotin lo." "Halah, elo mah ngomong gitu mulu dari kapan tahu. Emangnya sama siapa aja sih? Gue sahabat lo dari kecil, kita bakal sama-sama terus Sar." "Dan sejak kecil gue minta lo ngubah panggilan gue. Stop manggil gue dengan sebutan itu lagi! Gue nggak suka. Gue cowok!" Edo terkekeh pelan, "lah ... Kenapa emangnya? Nama lo kan emang Sarka, salah kalo gue manggil dengan sebutan Sar?" Edo menatap Sarka geli, sahabatnya itu mendengkus panjang sekaligus menatap Edo tidak suka. "Masalahnya, orang-orang ngiranya nama gue Sarah, Sari atau Sarwendah! Gue muak tau nggak? Gue bukan cewek anjir! Udah berapa kali gue bilang kalau lo ubah panggilan buat gue." Sarka berbicara cepat dengan nada suaranya yang keras. Edo selalu suka jika Sarka sudah marah-marah kepadanya soal panggilan nama itu. Cowok berbadan gempal dengan rambut ikal itu menatap Sarka seraya menggeleng kuat. "Nggak mau, itu panggilan gue khusus buat lo. Lagian dari dulu gue manggilnya udah gitu, lidah gue sudah paten. Bakal keseleo lidah gue kalau manggil lo dengan sebutan lain." Lelah berdebat karena tidak mungkin menang, Sarka akhirnya menyerah juga. Cowok itu menatap Edo sambil geleng-geleng kepala. "Serah Do, serah lo deh, gue nyerah!" "Nah gitu dong dari tadi, buruan deh pakai sepatu lo. Kita harus berangkat sekolah, udah terlat nih. Gue nggak mau datang terlambat dan dihukum sama lo lagi kayak dulu." Edo menyerocos panjang lebar. Sarka langsung membalasnya sembari mulai memakai sepatu miliknya. "Sengaja berangkat terlambat aja gimana Do?" tanya Sarka, menggoda Edo. Ia sedikit terkekeh. Mendengar respons Cakra seperti itu, Edo membelalakkan matanya. Dengan cepat ia menggeplak belakang kepala Cakra. "Kalau ngomong suka nggak difilter dulu nih bocah. Nggak lucu, gue nggak mau dihukum lagi!" "Emangnya kenapa? Biar ala-ala deja vu gitu. Dihukum cuma ngepel lantai doang kok ngeluh. Aman-aman aja tuh harusnya." "Itu kan dulu!" Edo mengajukan protes lagi. "Beda lagi hukuman sekarang. Nyapu, ngepel, bersihin toilet, bersih-bersih perpustakaan, sampai disuruh hormat ditengah lapangan. Bisa semua itu sekaligus. Emangnya lo mau, ha?!" Sarka meringis pelan mendengar ucapan Edo, ia menggeleng. "Ya enggak mau juga sih." "Nah makanya buruan pakai sepatu lo!" "Iya-iya, ini lagi makai. Lo nggak lihat?" Sarka mendengkus kasar. Dan kemudian setelah Sarka selesai memakai sepatunya, mereka berdua pun langsung berangkat sekolah menaiki motor Edo untuk Minggu ini. Sedangkan buat Minggu depan, gantian motor Sarka. Kebijakan itu diterapkan sejak mereka baru pertama kali masuk SMA. Alasannya cukup gampang, biar hemat ongkos. Lagipula rumah keduanya tidak jauh, hanya terpaut tiga rumah. Hanya membutuhkan waktu kurang dari dua puluh menit motor Edo kini sudah sampai di parkiran sekolah. Sarka turun dari boncengan motor Edo dan melepaskan helmnya. "Sini helm lo." Sarka menoleh ke arah Edo, kemudian ia mengangguk dan menyerahkan helmnya. Sarka menatap sekelilingnya. Masih nampak sama seperti yang terakhir kali ia melihatnya. Tidak jauh berbeda, hanya saja sedikit ada perluasan buat parkiran motor. Selebihnya masih tidak berbeda. "Kenapa diem aja? Kesambet apaan lo?" Edo yang melihat Sarka hanya bergeming, lantas menyikut lengan sahabatnya itu. Sarka tergelak pelan, ia menghela napas pendek. "Nggak pa-pa, yuk ke kelas." Sarka berjalan terlebih dahulu, disusul oleh Edo yang berusaha mengimbangi langkah kaki Sarka. Ditengah perjalanan menuju kelasnya, Sarka tiba-tiba saja menghentikan langkahnya ketika sorot matanya menemukan sebuah kejanggalan. Tatapan Sarka lurus menatap seorang guru perempuan yang sedang berjalan. Tapi ada satu hal yang membuat bulu kuduk Sarka seketika saja meremang, cowok itu lantas menelan ludah. Napasnya berhenti sampai ditenggorakan, sampai akhirnya Sarka tersadar ketika Edo kembali menyenggol lengannya. Edo mendecakkan lidahnya, menatap Sarka dengan pandangan kesal. "Lo kenapa malah berhenti? Kelas kita masih di sana!" ucapnya garang seraya menunjuk ke arah depan menggunakan dagunya. "Ada apaan sih? Lo kok aneh banget dari tadi." Sarka menggelengkan kepalanya pelan. Ia ingin menyangkal bahwa dirinya baru saja salah melihat. Tapi apa yang dirinya lihat itu terasa sangat nyata. Sarka tidak berbohong. Ia kemudian menatap Edo. "Sepertinya gue lihat sesuatu Do," ungkapnya. "Lihat apaan?" sahut Edo cepat, kemudian sebelum Sarka berkata lagi, Edo sudah mengikuti apa yang Sarka lihat. Edo menganggukkan kepalanya setelah melihat apa yang Sarka maksud. "Oh gue juga tahu." Pengakuan Edo barusan membuat Sarka langsung tergelak. Benarkah? Sarka mengerjapkan matanya, ia menatap Edo dalam-dalam. Apa sebenarnya Edo bisa melihatnya juga? Tapi Sarka merasa ragu. "Memangnya apa yang gue lihat Do?" tanya Sarka, memancing. Ia ingin tahu jawabannya. Apakah benar Edo bisa melihat apa yang Sarka lihat sekarang? Atau Edo hanya salah paham semata? "Lah apa lagi kalau bukan Bu Indah? Tatapan lo nggak beralih dari sana sejak tadi. Gue sekarang udah tahu kenapa lo berhenti, Bu Indah cantik banget, kan?" Sarka sudah membuka mulutnya hendak menjawab, tapi buru-buru Edo sudah berkata terlebih dahulu. Edo terkekeh pelan seraya menepuk pundak Sarka. "Ya iyalah mesti, lo kan baru lihat Bu indah, kan? Oh ya sedikit informasi, Bu indah adalah guru baru di sekolah kita. Dia dipindahtugaskan di sini sejak dua bulan yang lalu. Dan asyiknya, dia ngajar di kelas kita!" Bukan, bukan hal itu. Sarka sama sekali tidak ingin tahu tentang guru baru bernama Bu indah tersebut. Memang wajahnya terlihat sangat cantik jelita, menandakan bahwa beliau masih muda. Tapi, bukan itu yang Sarka maksud sedari tadi. Benar rupanya, Edo salah tanggap. Bukan Bu Indah yang Sarka lihat. Namun, tiga bocah kecil dengan kepala plontos dan tubuh sepenuhnya pucat, sedang tertawa cekikikan di sekitar kaki Bu Indah. Dan Edo tidak melihatnya, hanya Sarka seorang. Sarka juga sudah menduga bahwa bocah itu bukan manusia, ia tahu sosok apa itu. Dan Sarka tidak ingin menyebutkannya. Meskipun pagi belum kunjung beranjak ke siang, tapi tidak menutup kemungkinan jika bulu kuduk Sarka sudah meremang. Sekarang ada satu hal yang bisa Sarka simpulkan, yaitu ada yang tidak beres dengan mata barunya ini. Apa yang sebelumnya tidak Sarka lihat, sekarang bisa ia jumpai dengan sangat mudah. Mereka ada di mana-mana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD