Sudah satu bulan lebih Sarka bisa melihat lagi. Dan rasanya benar-benar seperti mendapatkan sebuah keajaiban. Ya meskipun sekarang Sarka bisa melihat sosok tak kasat mata, lagi-lagi ia hanya bisa bersyukur dan menanggapinya dengan lapang dadaa. Lagipula, sekarang Sarka sudah agak mendingan dan tidak terlalu kaget ketika tiba-tiba ada sosok yang muncul secara mendadak. Sarka tidak merasa takut sepeti dulu. Sekarang ia hanya sedikit kaget saja apabila bertemu salah satu diantara mereka yang tak lagi hidup di dunia ini. Selebihnya, Sarka bisa mengontrol dirinya.
Sampai detik ini pun, Sarka belum menemukan sosok yang memiliki aura negatif. Kebanyakan hantu yang ia temui masih bisa diajak mengobrol. Meskipun wajah mereka hancur dan menyeramkan. Tapi tak apa, Sarka bisa meminta mereka mengubah wajah mereka agar lebih baik dan enak dipandang.
Soal bahwa dirinya sekarang memiliki satu kelebihan ini, Sarka tidak memberitahunya kepada siapapun. Biarlah ini menjadi rahasia dirinya, setidaknya untuk waktu sekarang. Tidak tahu nanti. Sarka sendiri juga belum bercerita kepada Edo. Sahabatnya itu hanya tahu bahwa Sarka sering bertingkah aneh belakangan ini. Itu yang dikatakan Edo.
Edo sering mendapati Sarka yang berbicara sendiri. Padahal saja tidak, Edo tidak tahu akan hal itu. Edo juga sempat menegur Sarka, bahkan sering, ketika Sarka sedang melamun. Intinya, Edo merasa bahwa Sarka sedikit berbeda daripada dulu. Ya, memang benar! Edo tidak salah.
Karena sekarang, Sarka bisa melihat mereka yang tak kasat mata.
"Sar, kantin yuk? Laper banget perut gue." Edo mengajak Sarka sembari menepuk-nepuk perutnya. "Lo tau, tadi pagi gue belum sarapan. Nyokap gue bangun terlat, nggak tau deh tumben banget. Kayaknya sih gara-gara bokap gue yang baru pulang semalem. Lo tau sendiri lah kalau bokap gue pulangnya nggak tiap hari. Ayo buruan bangun!"
Edo menarik-narik tangan Sarka untuk segara berdiri dari duduknya. Sarka meringis pelan, ia melepaskan tangan Edo seraya menggeleng pelan. "Kayaknya gue nggak dulu Do, gue males ke kantin. Gue nggak mau berdesakan sama orang lain. Lo sendiri aja deh."
"Gitu ya sekarang lo sama gue Sar. Oke!" Edo menatap tajam kepada Sarka, sebelum akhirnya ia berjalan menjauh dari Sarka.
Sarka terkekeh pelan, ia tahu bahwa Edo hanya becanda. Tidak mungkin sahabatnya itu marah kepadanya. "Nggak usah sok-sokan marah sama gue, awas aja entar mohon-mohon minta nyalin PR gue."
Edo langsung membalikkan badannya, menatap Sarka dengan bibirnya yang monyong ke depan. "Ayolah buruan anterin gue Sar, keburu mati kelaparan gue entar."
"Gue nggak mau, lo sendirian aja deh."
"Gue traktir deh!" seru Edo, mengiming-imingi Sarka. "Gimana-gimana? Mau, kan?" Bola mata Edo sudah berbinar-binar cerah.
Tapi Sarka masih pada pendiriannya. Cowok itu menggeleng tegas. "Jawaban gue masih sama dan nggak berubah. Enggak mau! Lo sendiri aja sana, gue di sini aja."
"Memangnya lo nggak lapar?"
"Nggak tuh," jawab Sarka disertai gelengan kepalanya. Kemudian, Sarka terpikir akan sesuatu. "Kalau enggak gini aja deh, gue ada bekal nih dari ibu. Lo makan dulu aja."
Edo kembali duduk di bangkunya, disamping Sarka tentunya. Edo mengerjapkan matanya. "Yang bener nih? Boleh emangnya Sar? Entar lo makan apa?"
"Gampang deh, kan masih ada istirahat kedua. Entar lo traktir gue di kantin."
"Tadi katanya nggak mau ke kantin!" sambar Edo sembari menatap Sarka sinis.
Sarka buru-buru membela dirinya. "Kan sekarang, kalau nanti mah udah berubah pikiran."
"Sialaan emang lo ya!" Edo menggeplak kepala Sarka cukup kuat, membuat Sarka langsung melotot tidak terima.
"Sakit begoo!" Tidak mau kalah, Sarka pun membalas perlakuan Edo sebelumnya. Sarka mendesis pelan. "Udah, ini mau nggak bekal gue?"
"Ya udah sini biar gue makan," ucap Edo.
Sarka pun mengangguk, lantas ia segera mengambil tapperwaer dari dalam tasnya. "Nih buruan makan. Tapi jangan lupa istirahat kedua!"
"Iya-iya, gue nggak bakalan lupa dah. Nggak usah takut," sahut Edo sembari membuka tutup kotak makan dengan tidak sabar.
"Sepertinya lo emang sedang sangat-sangat kelaparan."
"Banget anjir!"
"Gue tinggal ke toilet dulu ya Do."
"Hmm." Edo menjawab dengan gumaman pelan karena ia sibuk menyuapi mulutnya dengan bekal makanan milik Sarka. Setelah itu, Sarka langsung cabut menuju toilet.
Sarka hampir lupa, kemarin Rose—hantu perempuan penunggu kamar mandi laki-laki—sudah berjanji bahwa ia akan menceritakan tentang kematian dirinya. Sarka benar-benar ingin tahu. Jadilah sekarang Sarka sedang berjalan ke sana. Rasa-rasanya, kisah Rose sangat menarik untuk dibahas. Bukan Sarka yang meminta, tapi Rose sendirilah yang menawarkan sendiri.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai di sana. Entah kenapa toilet laki-laki ini jarang digunakan, itulah dari yang Sarka lihat. Ia jarang sekali, bahkan nyaris tidak pernah melihat ada seorang siswa yang masuk ke dalam toilet ini. Padahal toilet tersebut tidak rusak sama sekali.
"Rose, aku di sini," ujar Sarka setelah berada di toilet. Cowok itu menyenderkan tubuhnya ke dinding sembari melipat kedua tangannya didepan dadaa bidangnya. Belum ada tanda-tanda kemunculan Rose, Sarka masih setia menunggu. Biasanya, akan muncul hawa dingin dan perasaan yang sulit untuk dijelaskan apabila sosok perempuan penunggu toilet laki-laki itu datang.
Lima menit kemudian, belum ada tanda-tanda kemunculan sosok Rose yang selalu memakai pakaian putih dengan rambut panjangnya yang selalu ia sisir.
"Kalau kamu nggak keluar juga, aku bakal balik ke kelas ya Rose, waktuku nggak banyak soalnya." Mungkin saja sosok hantu perempuan itu sedang pergi, entah ke mana itu. Sarka mendesah pelan, sebelum akhirnya ia menjeda langkahnya ketika ia merasakan embusan angin yang menerpa wajahnya.
"Saya di sini." Tiba-tiba muncul sebuah suara dari belakang Sarka, yang membuat cowok itu segera menolehkan wajahnya ke belakang.
Dapat Sarka lihat dengan sangat jelas bahwa Rose sedang berdiri di pojok toilet. Dia nyengir kepada Sarka, menunjukkan sederet giginya yang berwarna kuning. Ada yang berbeda sedikit, rambut Rose sekarang di kepang panjang.
"Wow, penampilan baru," gumam Sarka setelah melihat Rose dengan kepangan barunya.
Rose nampak tersenyum malu-malu, ia menyentuh rambutnya. "Gimana rambut saya ini? Cantik?"
Sarka menggangguk pelan. "Siapa yang buat?"
"Ya saya sendirilah, siapa lagi memangnya?"
Sarka sebenarnya tidak terlalu minat dengan topik yang sedang dibahas ini. Ia menatap Rose seraya mengendikkan bahunya. "Aku udah nungguin kamu dari tadi, ke mana saja?"
"Saya keluar sebentar, pergi ke ruang kelas sebelah. Tadi ada yang muter lagu Blackpink. Ya otomatis saya sebagai penggemar berat nomor satu, harus ikut nonton dong! Saya juga udah bisa dance. Kamu mau lihat Sarka?" tawar Rose dengan semangat menggebu-gebu.
Sarka meringis pelan sembari menolehkan wajahnya ke samping. Ia tidak bisa membayangkannya jika ada hantu yang akan menari dihadapannya. Itu terdengar konyol dan nggak pernah terpikirkan diotak Sarka. Cowok itu menggeleng secara perlahan, menolaknya secara halus.
"Kayaknya lain kali aja ya Rose, bentar lagi aku masuk. Oh ya, katanya kamu mau cerita."
"Yah sayang sekali, padahal saja saya mau nunjukin bakat terpendam saya," ujar Rose, tampak kecewa. Bibirnya yang pucat itu terlihat cemberut. Sarka sudah berjaga-jaga apabila Rose akan marah, tapi hantu itu tersenyum setelahnya. Membuat Sarka diserang oleh perasaan lega.
"Tapi nggak pa-pa deh, saya juga belum hapal betul gerakannya. Oh ya, saya sudah janji ya. Oke, saya bakal cerita sekarang."
"Kamu nggak pa-pa, kan Rose?"
"Maksud kamu?" Hantu perempuan itu malah balik bertanya. Dia menatap Sarka dengan wajahnya yang putih pucat.
Sarka mengendikkan bahunya. "Ya siapa tahu kamu merasa sangat keberatan dan belum siap buat cerita. Aku nggak maksa kok."
"Tenang aja, saya nggak keberatan kok. Lagipula kejadian itu sudah lima belas tahun yang lalu, dan kita udah berteman kan Sarka? Saya nggak masalah kok."
"Ya udah kalau gitu, aku pengin tahu juga sih sebenarnya." Sarka menyengir lebar, memperlihatkan sederet giginya yang tersusun rapi. Cowok itu msngubah posisinya agar lebih nyaman.
"Wah ... Ingat-ingat dulu, sekolah ini masih baru banget. Saya guru di sini Sarka, saya ngajar matematika. Waktu itu, sekolah ini masih berumur dua tahun. Muridnya pun nggak sebanyak sekarang. Gurunya juga sama. Dulu juga sekolah ini nggak seluas sekarang."
Sarka menyimak dengan sangat serius apa yang Rose ceritakan. Ia tidak menyangka bahwa sosok hantu dihadapannya ini adalah mantan guru, matematika pula. Bibir Sarka merapat, ia memperhatikan Rose lebih tajam lagi, mendengar apa yang dia katakan.
"Usia saya waktu itu dua puluh empat tahun."
"Masih muda udah jadi guru, hebat banget kamu Rose," celetuk Sarka tiba-tiba, membuat Rose tersenyum lembut. Sarka kemudian mengerjapkan matanya. "Seharusnya saya manggil kamu kak? Atau Bu guru gitu?"
Rose menggeleng, menolaknya. "Jangan panggil saya seperti itu, cukup Rose aja. Enakan gitu."
"Oke Rose, selajutnya gimana?"
"Berarti semisal saya masih hidup, usia saya sekarang sudah tiga puluh sembilan tahun ya? Wah ... Udah cukup tua." Rose menatap ke langit-langit toilet. "Kejadian saya meninggal tepat di toilet ini."
"Di sini?" tanya Sarka.
Rose mengangguk cepat. "Tepatnya di samping kanan kamu itu." Begitu Rose berkata demikian, Sarka menolehkan wajahnya ke samping kanan. Ia membayangkan di sana ada mayat Rose yang tergeletak mengenaskan di lantai dengan darah yang berceceran dimana-mana. Mendadak saja perut Sarka terasa mual.
"Ya, itu di sana. Tepat sekali!" ujar Rose. "Saya di bunuh di sana Sarka. Kejadiannya begitu cepat sekali."
"Kalau aku boleh tahu, siapa yang tega melakukan itu Rose?"
"Guru di sini juga," jawab Rose. "Dia awalnya baik dan dekat dengan saya Sarka. Sampai akhirnya dia meminta saya untuk jadi pacarnya. Saya tidak menyangka waktu itu. Saya benar-benar nggak percaya, saya cuma nganggep dia sebagai teman saja, tidak lebih. Dan kamu tahu, saya menolaknya. Saya tidak mau menjadi orang ketiga."
"Orang ketiga?"
"Dia sudah berkeluarga. Saya nggak mau dijadikan selingkuhannya. Selain itu karena saya murni tidak suka kepada dia. Entahlah, namanya saya lupa siapa. Gimana mau mengingat nama orang, nama saya sendiri pun saya nggak ingat." Rose terkekeh pelan. "Tapi Sarka, saya masih ingat wajah dia betul-betul sampai detik ini. Nah, selanjutnya, saya nggak tahu bahwa dia dendam sama saya. Suatu ketika dia ngajak saya, waktu itu sebenarnya saya nolak karena saya pengin buru-buru pulang ke rumah. Ya, kejadiannya waktu sore hari sepulang sekolah. Tapi, dia mohon-mohon, membuat saya tidak tega. Padahal, langit sudah mendung, hujan bentar lagi turun. Saya pengin cepat-cepat sampai di rumah karena tidak mau terjebak hujan."
Rose berhenti sejenak, kepalanya menunduk. Kemudian isakan lirihnya keluar dari bibirnya. Terdengar begitu memilukan. Sarka terkejut ketika tiba-tiba saja Rose menangis. Suara tangis penuh kepedihan itu membuat Sarka sempat merinding. Tapi buru-buru Sarka mengenyahkan pikiran buruk itu. Ini Rose, dia tidak jahat. Sarka bahkan berteman dengannya. Hingga akhirnya, Sarka memberanikan diri mendekat ke arah Rose, berdiri di sampingnya, lalu berusaha menggapai puncak Rose, tapi yang berhasil Sarka tangkap adalah udara. Tubuh Rose tidak bisa Sarka sentuh.
"Rose, kamu nggak usah dilanjutin ceritanya ya. Aku nggak pa-pa kok. Aku nggak mau lihat kamu nangis, apalagi kamu harus ingat-ingat kejadian waktu itu. Aku minta maaf sama kamu."
"Nggak usah minta maaf Sarka," ujar Rose tiba-tiba. Tangisnya sudah berhenti. "Saya cuma sedih saja barusan. Kalau saya nggak ikut dia, mungkin saja saya tidak meninggal saat itu."
"Rose ..."
"Udah, saya baik-baik saja. Mau dengar lanjutannya?"
"Kalau kamu nggak keberatan, aku bisa mendengarnya."
"Setelah itu, saya dipaksa masuk ke sini Sarka. Saya awalnya sudah merasakan tanda-tanda bahwa ada yang tidak beres. Lalu semuanya terjadi begitu saja. Dia memperkosa saya, kemudian saya dibunuh di sini. Perut saya ditusuk-tusuk pakai pisau tajam."
Sarka membelalakkan matanya ketika melihat tubuh Rose tiba-tiba mengeluarkan banyak darah berwarna merah. Bau tak sedap langsung menusuk indera penciuman Sarka.
"Begitulah kisah saya Sarka." Rose menyunggingkan senyuman lebarnya, lalu dia perlahan-lahan menghilang. Tubuhnya mulai tak terlihat. Sampai akhirnya, Rose menghilang sepenuhnya. Sarka menghela napas panjang, ia tidak menyangka bahwa kisah yang Rose ceritakan barusan sangat tragis. Sarka merasa sangat kasihan.
Menundukkan wajahnya sebentar, Sarka lantas terlonjak kaget ketika mendengar pintu digedor dari arah luar. Sarka lantas melangkah cepat dan membuka pintu toilet. Dihadapannya, Edo berdiri dan langsung menyeretnya keluar dari sana.
"Lo ngapain aja di toilet selama itu? Buruan masuk ke kelas, jam pelajaran sudah di mulai!" Edo menarik tangan Sarka dengan cepat.
"Jangan narik-narik tangan gue ah, gue bisa jalan sendiri!" Sarka berseru protes, ia menatap Edo dengan sorot mata tajam.
"Lagian kenapa lo pergi ke toilet itu sih? Nggak ada yang berani ke sana, itu toilet angker. Ada hantunya di situ. Padahal masih banyak toilet lain."
Dan Sarka tidak mau menggubris perkataan Edo. Ia menoleh ke belakang, menatap pintu toilet tempat di mana Rose tinggal di sana. Sarka tersenyum tipis. Rose sudah menjadi sahabatnya, dan Sarka tidak perlu takut lagi.