Sudah lebih dari seminggu Nadine pindah di sekolah barunya. Dan ia merasa nyaman-nyaman saja di sini. Teman kelasnya tidak ada yang jahat ataupun membuatnya merasa tidak nyaman. Semuanya baik-baik, hal itu semakin membuat Nadine merasa betah. Nadine paling akrab dengan Sarka dan Edo. Nadine sering bergabung dengan mereka berdua ketika pergi ke kantin maupun ngobrol biasa. Dan mereka berdua tidak menolak kehadirannya.
Bel istirahat baru saja berdering, Sarka dengan sigap memasukkan buku-bukunya di kolong meja, setelah bangkunya sudah bersih, ia menoleh ke arah Edo.
Sarka mengusung senyuman. "Yuk cabut ke kantin," ujarnya.
"Bentar, gue beresin buku dulu," sahut Edo tanpa menoleh ke arah Sarka, ia sibuk menata buku pelajaran dan alat tulis yang lain.
Mengangguk singkat, Sarka kemudian membalikkan tubuhnya, ia menatap Nadine yang sedang bermain ponsel. "Nadine, mau ikut ke kantin nggak?" tawar Sarka kepada cewek itu.
Nadine mendongakkan wajahnya untuk menatap Sarka. Tanpa pikir panjang, Nadine pun menyetujuinya. Ia tersenyum, bersamaan dengan kepalanya yang mengangguk singkat. "boleh deh, mau kapan?"
"Sekarang aja," sahut Sarka, kemudian ia membelokkan pandangannya ke arah Edo. "Udah belum Do?"
"Udah kok, yuk berangkat." Edo menjawab semangat sambil berdiri dari duduknya. Diikuti oleh Sarka dan Nadine. Ketiganya pergi ke kantin dengan langkah sedikit terburu-buru. Nadine bahkan sedikit kewalahan mengimbangi langkah kaki Sarka dan Edo. Mereka seperti tidak pernah pergi ke kantin saja.
Nadine mendengkus pelan. "Kalian jalannya bisa pelan sedikit nggak? Gue susah nih ngikutinnya," ucapnya merasa keberatan.
Sarka menoleh ke belakang, kakinya masih terus berjalan. Kepala Sarka menggeleng pelan. "Entar terlambat, keburu meja penuh."
"Kan bisa makan di kelas!" sahut Nadine dari belakang, ia cukup tertinggal jauh. Nadine pun kini berlari karena jaraknya dengan Sarka dan Edo semakin membentang lebar.
"Nggak asik makan di kelas, nggak ada sensasinya. Tujuan istirahat kan biar nggak suntuk di kelas mulu," kata Edo yang dengan cepat disetujui oleh Sarka.
"Betul tuh!" sambung Sarka sangat mendukung ucapan Edo.
Nadine hanya memutar bola matanya, bibirnya mendecak pelan. Tapi Nadine tidak ada niatan untuk berkomentar lagi. Ia sibuk mensejajarkan langkah kakinya dengan Sarka dan Edo. Kedua cowok itu benar-benar membuatnya lelah. Sangat menyebalkan sekali.
"Lagian istirahat cuma lima belas menit. Belum lagi ngantri pesen makanan. Butuh waktu juga, kan? Belum juga makan, minum, ngobrol, dan balik lagi ke kelas. Makanya kita harus gerak cepat, lima belas menit tuh kurang banget!" ucap Edo lagi.
"Benar, harusnya kita dikasih jatah satu jam buat istirahat!" timpal Sarka.
"Nggak usah sekolah aja kalau gitu, istirahat di rumah aja. Bisa bebas ngelakuin apapun semau lo." Dengan napas yang sudah memburu kencang, Nadine masih sempat-sempatnya ikut nimbrung obrolan nggak penting itu.
"Ah tetap aja kita merasa dirugikan. Iya nggak Sar?" tanya Edo, meminta jawaban dan dukungan dari sohibnya.
Sarka tersenyum, ia merangkul Edo, lalu menjawabnya, "ucapan lo pasti didukung semua anak di sini."
Edo hanya nyengir lebar.
Ketiganya pun akhirnya sudah sampai di kantin, untung saja masih ada bangku yang tersisa. Nadine diberi tugas untuk menjaga tempat duduk, sementara Sarka mendapatkan jatah membeli batagor dan gorengan, sedangkan Edo membeli minuman untuk mereka. Cukup cepat sampai akhirnya Sarka dan Edo balik ke bangkunya.
"Nih, punya lo lemon, kan?" tanya Edo kepada Nadine seraya mendorong minuman kepada cewek itu.
Merasa memang benar, Nadine menganggukkan kepalanya. Ia tersenyum tipis sambil mengangguk. "Iya bener kok. Makasih karena lo berdua udah pesenin buat gue."
"Udah-udah, kan kita udah bagi tugas. Mending kita makan sekarang aja. Do, masih ada waktu berapa menit?"
Edo yang hendak memasukkan sendok ke dalam mulutnya lantas berhenti ketika mendapatkan pertanyaan dari Sarka. Edo berdecak pelan, tapi ia tetap membuka ponselnya untuk membuka jam. Ia menjawabnya setengah malas. "masih ada delapan menit. Cukup harusnya."
"Kalian bisa sedikit lebih santai nggak? Nggak usah setegang itu." Nadine menegur. Baginya, Sarka dan Edo sangat terpaku pada waktu istirahat.
"Nanti terlambat," sahut Edo dan Sarka secara bersamaan. Nadine memutar bola matanya malas, ia pun memutuskan tidak peduli lagi dan memilih untuk menikmati batagornya.
Sesaat setelah batagor mendarat dimulutnya, Nadine tidak sengaja melihat sesosok makhluk tak kasat mata beberapa meter di hadapannya. Nadine tersedak, ia terbatuk karena terkejut.
"Eh Nadine, kita emang lagi dikejar waktu, tapi nggak usah terlalu buru-buru juga sampai lo tersedak gitu. Ini ... Buruan lo minum." Edo mendorong minuman Nadine, yang langsung diangguki Nadine dengan singkat. Edo tidak tahu bahwa Nadine tersedak bukan karena ia merasa dikejar oleh waktu. Edo salah dan tidak tahu apa-apa. Nadine hanya terkejut saja melihat nenek-nenek dengan pakaian kebaya dengan rambutnya yang disanggul menyerupai bola di kepalanya. Nadine tahu kalau nenek itu adalah sosok makhluk tak kasat mata. Jika tidak, kenapa tidak ada yang bisa melihat dan memperhatikan nenek tersebut menari?
Di sana, nenek itu masih sibuk dengan tubuhnya yang menari, lenggak-lenggok ke sana kemari. Nadine sempat bergidik pelan, tapi ia buru-buru menggeleng dan mengalihkan pandangannya.
"Makasih Do," ujar Nadine sembari tersenyum tipis.
Nadine kembali melirik nenek tersebut, dan dia masih ada di sana! Untung saja sosok nenek itu sedang menari membelakangi Nadine. Sungguh, Nadine tidak mau bersitatap dengannya.
Sarka yang sedari tadi memperhatikan Nadine dan merasa bahwa gelagat cewek yang duduk dihadapannya ini terasa sangat aneh, dengan hati-hati ia memutar kepalanya ke belakang. Sama seperti Nadine, tentu saja, Sarka pun dapat melihat nenek tersebut. Sarka cukup terkejut juga, ia pun kembali menatap Nadine. Sekarang, Sarka semakin yakin apabila Nadine memang indigo, Nadine memiliki kemampuan bisa melihat mereka yang tak kasat mata, Nadine sama seperti Sarka. Tidak hanya kali ini saja, dua hari yang lalu Sarka juga melihat Nadine sedang berbincang dengan Rose, hantu toilet yang sangat tergila-gila dengan girlband asal Korea bernama BLACKPINK.
Sarka berdehem pelan, ia berusaha memancing Nadine. "Lo kok tadi kelihatan syok gitu kenapa Dine? Lo lihat apa?" selidik Sarka.
"Oh itu ..." Nadine menatap Sarka sambil tersenyum canggung. "Bukan apa-apa kok, lupain aja," bohongnya. Padahal saja Sarka sudah tahu sesuatu. Sarka pun mengangguk pelan sambil ber-oh ria.
Nadine belum mau jujur.
Dan Sarka tidak tahu alasannya. Sarka mempunyai niatan untuk menanyakannya kepada Nadine, tapi bukan sekarang karena ada Edo. Bukan berarti Sarka mau merahasiakannya dari sohibnya itu, tapi Sarka menunggu waktu yang tepat saja. Kelihatannya juga, jika Sarka tidak salah, Nadine tidak mau orang lain tahu bahwa dirinya bisa melihat hantu. Nadine merahasiakannya dari publik. Jika memang tebakan Sarka benar.
"Eh lo tahu nggak Sar kalau kasus Metta udah ditutup?" tanya Edo kepada Sarka.
Sarka menganggukkan kepalanya. "Udah, kan beberapa hari yang lalu udah diungkap dan diputuskan bahwa Metta memang bunuh diri. Gue lihat di televisi. Udah, jangan dibahas lagi masalah itu."
"Kan siapa tahu lo belum tahu." Edo mengendikkan bahunya.
"Apa yang kalian berdua omongin?" tanya Nadine, tidak paham dengan apa apa yang Sarka dan Edo obrolkan.
"Gimana Sar?" Edo memperhatikan wajah Sarka lagi, meminta pendapat.
Sarka tahu apa yang Edo maksud. Sahabatnya itu meminta pendapat apakah perlu menceritakannya kepada Nadine. Tentu saja Nadine tidak tahu masalah itu karena waktu itu Nadine belum bersekolah di sini. Merasa bukan masalah besar, Sarka pun akhirnya mengangguk juga. Ia setuju.
"Nggak pa-pa kalau Nadine mau tahu," sahut Sarka.
"Kemarin-kemarin sekolah ini heboh karena ada siswi yang bunuh diri di gudang. Gantung diri. Lo nggak tahu emangnya? Viral banget loh, sampai masuk tivi juga."
Nadine menggeleng. "Gue nggak tahu soal itu. Gue jarang nonton tivi di rumah. Tadi namanya siapa?"
"Metta."
"Kenapa dia sampai gantung diri kayak gitu?" tanya Nadine merasa penasaran.
"Depresi mungkin, terus dia nggak kuat nanggung beban sendirian. Dan akhirnya dia milih mengakhiri hidupnya sendiri." Sarka menjawabnya kurang yakin. Kedua bahunya terangkat ke atas. "Gue juga nggak tahu pasti sih. Entahlah ..."
Waktu istirahat telah usai, diharapkan semua siswa pergi ke kelas masing-masing. Jam ke empat akan segera dimulai.
Suara bel yang terdengar keras membuat semua siswa-siswi yang masih berada di kantin dengan cepat meninggalkan tempat itu. Waktu istirahat sudah habis. Untung saja mereka sudah habis melahap makanan yang dipesan.
"Udah bel, yuk ke kelas!" Nadine berdiri dari duduknya. Diikuti oleh Sarka dan Edo. Mereka bertiga berjalan menuju kelas kembali. Sedikit bergegas karena tidak mau terlambat.
Ketika hendak masuk ke dalam kelas, Sarka langsung menarik tangan Nadine, membuat Nadine terkejut. Ia menatap Sarka bingung.
"Kenapa Ka?" tanya Nadine, menatap Sarka yang sedang menatapnya dengan raut wajah datarnya.
"Ada yang mau gue tanyain sama lo."
"Harus banget sekarang?" tanya Nadine. Ia lalu menambahkan, "nggak bisa nanti? Ini udah masuk."
"Nggak bakal lama."
Nadine menghela napas panjang. "Oke, lo mau nanya apa?"
"Lo ... Bisa lihat mereka?" tanya Sarka, matanya memicing.
"Mereka?"
"Nggak usah pura-pura nggak tahu. Mereka yang gue maksud adalah mereka yang nggak bisa dilihat sama-sama orang biasa. Lo bisa lihat, lo indigo?"
"Gue ..." Nadine bergerak gelisah. Ia mengigit bibirnya, kedua tangannya mencengkeram roknya. Nadine bingung menjawabnya. Ia menatap Sarka lagi, cowok itu sedang menatapnya dalam-dalam, menunggu dirinya untuk menjawab dan mengakui semuanya.
Nadine memejamkan matanya seraya menarik napas dalam-dalam. "Oke, sebenarnya gue ..." Dan sesaat ketika ia hendak mengucapkan sesuatu, bola mata Nadine melihat guru yang sedang berjalan ke arah dirinya dan Sarka.
"Ada guru, sebaiknya kita masuk," ucap Nadine. Kemudian ia langsung berbalik badan tanpa menjawab pertanyaan dari Sarka. Nadine melangkah cepat masuk ke dalam kelas.
Sarka ingin mencegah Nadine, tapi ia terlambat. Mendesah panjang, Sarka pun menatap sekelilingnya. Benar apa kata Nadine, ada seorang guru yang datang ke arahnya. Sarka ingat wajah guru mudah nan cantik yang sedang berjalan itu.
Dia adalah bu Indah. Guru baru di sini yang terkenal karena wajahnya yang cantik. Sarka tahu dari Edo pada saat Sarka melihat bu Indah yang dibuntuti oleh tiga bocah kecil berkepala plontos dan berkulit pucat pada waktu itu.