Begitu sepenuhnya sudah berada di kamarnya yang luas, lelaki muda berusia dua puluh lima tahun yang menenteng tas kerja itu menatap Sarka dengan mata yang mengerjap. Alan bergerak mendekati Sarka, sementara Sarka sendiri sudah berdiri dari duduknya. Sarka menatap abangnya dengan air muka terkejut sekaligus takut. Tapi, sebisa mungkin ia mengendalikan ekspresi wajahnya agar tidak terlalu curiga.
Alan meletakkan tas kerja di meja dekat rak buku, lalu ia kembali menyorot penuh ke arah adiknya itu. "Lo tadi kenapa teriak-teriak? Nyebut kuntilanak segala lagi," tanyanya.
Sarka tidak bisa langsung menjawab, ia menatap abangnya sembari menyengir kecil. Menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, Sarka pun akhirnya berkata, pelan. "Itu bang, tadi gue ..." Siaal sekali, Sarka tidak bisa berbicara lancar, ia tergagap, sementara itu ia berusaha berpikir keras untuk menemukan alasan yang tepat.
Dan ketika sebuah ide tiba-tiba tercetus diotaknya, tanpa pikir panjang Sarka langsung menyuarakannya. "Itu bang, tadi gue lagi baca komik horor punya lo bang," ujar Sarka berbohong. Untuk memperkuat alasannya, cowok yang memakai kaos santai itu bergerak menuju rak buku dan menarik satu komik horor milik abangnya itu, yang pernah Sarka baca. "Yang ini bang, kan ada kuntilanaknya."
"Oh itu, kirain apaan." Alan mengibaskan tangannya di depan wajahnya. Kemudian ia mendekat ke arah adiknya dan membisikan sesuatu didepan daun telinga Sarka. "Gue pikir, barusan lo lagi ngomong sama kuntilanak beneran." Setelah selesai berucap, Alan kembali memundurkan kepalanya.
Sarka menatap wajah abangnya sembari menyengir kecil. Diam-diam ia melirik ke arah atas rak buku di belakang Alan. Kuntilanak berbaju putih agak lusuh itu menyeringai dengan gigi putihnya ke arah Sarka. Melihat hal itu, Sarka dibuat bergidik ngeri. Buru-buru ia memalingkan pandangannya.
"Apaan sih bang, nggak mungkin gue ngomong sama kuntilanak," ujar Sarka membela diri sembari menyengir lebar.
"Kamu berbohong sama pacar saya Sarka, kenapa nggak jujur saja?" Bisikan itu tiba-tiba menyapa telinganya, suara khas yang sudah Sarka tahu. Suara bernada melengking disertai tawa cekikikan yang membuat bulu kuduknya meremang.
Seketika saja Sarka menegang ditempat. Ia melirik ke sampingnya dan menemukan perempuan bersurai panjang tadi mengambang disampingnya. Sarka melotot, kesal dengan ucapan makhluk tak kasat mata itu. "Bang Alan bukan pacarmu!" ujarnya keras-keras.
Dan seketika saja, Sarka sadar apa yang barusan ia katakan. Kembali ia menatap abangnya dengan napas tertahan ditenggorokan. Sarka terkejut, jantungnya berdetak dua kali lipat lebih cepat. Alan menatap Sarka dengan sorot mata penuh tanda tanya.
"Sarka, lo kenapa?" tanya Alan bingung sekaligus ingin tahu. "Lo lagi sakit?"
"Enggak bang," jawab Sarka kemudian, diiringi dengan gelengan kepala pelan. Sarka menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya dengan pelan. "Maaf bang, gue ngomong ngelantur." Sarka memaksakan senyumannya.
"Iya nggak pa-pa, gue kaget barusan waktu lo teriak. Nyebut nama gue segala lagi." Alan menggelengkan kepalanya. "Ayo duduk di sini bentar." Abangnya itu menunjuk Sarka untuk duduk di bibir kasurnya, tanpa banyak mengajukan sebuah protes, Sarka menganggukkan kepalanya. Ia mengikuti instruksi Alan.
Sarka merasa beruntung karena abangnya sama sekali tidak curiga. Setelah mengambil duduk, Sarka mendesis pelan sembari menatap perempuan yang masih setia duduk di atas lemari buku itu. Tatapan tajam berhasil Sarka hunuskan untuknya, namun perempuan itu malah tertawa cekikikan. Sangat menyebalkan menurut Sarka. Sekarang, tidak ada lagi perasaan takut terhadap perempuan yang mengaku penunggu kamar abangnya ini. Yang ada, perasaan yang awalnya takut itu kini sudah berubah menjadi rasa kesal tak terkira. Perempuan itu benar-benar sangat menyebalkan.
Sebelum abangnya sempat berkata, terlebih dahulu Sarka memulai pembicaraan. Cowok itu menatap Alan yang duduk disampingnya. "Bang, lo kok udah pulang jam segini? Tumben, nggak kayak biasanya."
"Emangnya gue harus pulang magrib terus? Enggak juga, kan?" Alan terkekeh pelan.
"Ya iya sih bang, ah lupain aja deh." Sarka mengibaskan tangannya. "Gue minta maaf karena udah lancang masuk kamar lo bang, gue tadi niatnya cuma mau minjam komik."
"Nggak usah minta maaf segala, gitu doang mah nggak masalah. Santai aja sama gue." Alan tersenyum seraya merangkul adiknya. "Lo sekarang beneran udah bisa lihat, kan?"
"Iya bang," sahut Sarka, mengangguk. "Semuanya udah jelas. Gue seneng banget akhirnya bisa melihat lagi. Gue pikir gue bakal nggak bisa melihat untuk selamanya."
"Alhamdulillah, gue ikut seneng dengernya. Lo tau nggak, tadi gue buru-buru pulang waktu ibu nelpon kalau lo udah ada di rumah."
"Gue sseneng bisa lihat muka lo lagi bang."
Alan mengacak rambut adiknya itu. "Mulai sekarang lo harus lebih hati-hati, ya? Asal Lo tau, gue sedih banget selama enam bulan terakhir ini. Tapi akhirnya, lo bisa lihat dunia lagi."
"Gue juga merasa sangat beruntung bang bisa melihat lagi." Sarka menunduk, menghela napas panjang. "Siapa ya orang baik yang rela donorin matanya buat gue bang?" Setelahnya, Sarka menatap wajah abangnya. "Kira-kira bang Alan tau nggak?"
Alan langsung menggelengkan kepalanya, tanda ia juga tidak tahu. "Kalau gitu gue juga juga nggak ngerti, coba lo tanya sama ibu aja. Ibu pasti tahu, yang ngurusin semuanya kan ibu."
"Nah itu bang masalahnya, ibu nggak mau ngasih tahu. Kata ibu gue nggak usah mikirin itu lagi."
"Nah berarti lo ikutin aja kata-kata ibu. Udah, yang pasti orang itu sangat baik."
"Tapi gue pengin banget bang ngucapin terima kasih sama orang baik ini."
Alan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mungkin nanti ibu bakal ngasih tahu, tapi nggak sekarang. Udah udah, jangan dipikirin lagi."
Karena tidak mau bertanya-tanya lebih lanjut tentang masalah itu lagi. Sarka akhirnya memilih mengubah topik pembicaraan. "Udah setengah tahun gue nggak bisa lihat, kayaknya komik lo tambah banyak ya bang?"
"Iya dong, pasti itu. Gue biasanya kan nyempetin buat datang ke toko buku setelah pulang dari kantor, nyari komik terbaru."
"Nanti gue boleh minjam kan bang?" tanya Sarka antusias. Ia menyengir, menunjukkan sederet giginya yang berderet rapi.
"Ya boleh, masa gue nggak ijinin? Ambil aja, baca yang menurut lo menarik. Tapi ada satu yang wajib lo baca, gue belinya dua bulan yang lalu. Tunggu bentar ..." Alan lantas berdiri dari duduknya dan berjalan menuju rak bukunya, mengambil salah satu komik dari sana. Sarka sempat melotot dan menahan napas ketika perempuan berwajah pucat itu mulai terbang mendekati Alan. Dia sempat menatap Sarka, dan detik itu juga Sarka langsung menunjukkan kepalan tangannya.
Lewat sorot matanya, Sarka berkata bahwa perempuan dari dunia lain itu tidak boleh dekat-dekat dengan abangnya. Tapi, dia malah melototkan matanya dengan nyalang, membuat raut wajahnya berubah menjadi sangat menyeramkan. Sarka pun akhirnya mengalah, ia memalingkan wajahnya karena ketakutan sendiri.
"Nah ini komiknya," ujar Alan ketika kembali duduk di samping adiknya. "Ini sudah menjadi salah satu komik favorit gue. Lo harus baca deh! Wajib hukumnya. Dijamin pasti suka."
Sarka mengambil komik itu dari tangan Alan, merabanya, melihat-lihat sampulnya yang sangat menarik, hingga sampai membuka-buka halamannya. "Kayaknya bagus sih bang. Covernya aja udah cakep gini."
"Lebih-lebih dari bagus, jangan lupa baca ya! Gue mau mandi dulu kalau gitu, badan gue lengket banget," ijin Alan kepada Sarka. Setelah mendapatkan jawaban anggukan kepala dari adiknya, buru-buru Alan bergerak mengambil handuk dan berjalan menuju kamar mandi.
"Jangan bilang kalau kamu mau lihat bang Alan mandi!" Sarka langsung berseru dengan nada suara yang dipelankan ketika melihat perempuan itu mulai melayang dibelakang Alan.
"Kenapa tidak? Melihat abangmu mandi sudah menjadi kebiasaan saya dari dulu. Kamu nggak akan bisa mencegah saya indigo amatir!"
"Hei, apa kamu bilang tadi?!" seru Sarka kemudian dengan suara keras.
Dari dalam kamar mandi, Alan berseru protes. "Sarka, jangan mulai lagi."
Sarka meringis menyadari kesalahannya lagi. "Nggak bang, ini lagi baca komik. Terbawa suasana," alibinya.