Violence - Eleven

1223 Words
Setelah menghabiskan waktu lebih dari sembilan jam di dalam pesawat, Ansell pun sampai di Italy dengan selamat. Dirinya berdiri di depan bandara, berniat ingin menghentikan sebuah taksi. Namun dirinya kalah cepat dengan lambaian wanita yang berdiri di sampingnya. “Ayo,” ajaknya saat berhasil menghentikan taksi. Ansell hanya mendesah pelan melihat tingkah wanita itu. Dia langsung masuk ke dalam mobil tanpa mempedulikan sang wanita yang menata kopernya di bagasi. Ansell menoleh sekilas padanya saat masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingnya. “Ingat perjanjian kita,” ucap Ansell mengingatkan. “Iya,” jawabnya acuh seolah tidak mempedulikan peringatan Ansell. Sesaat kemudian Gwen tertegun ketika menyalakan ponselnya, langsung terdengar bunyi panggilan. Dia pun mengangkat telepon tanpa membuat sang penelepon menunggunya lebih lama. Sedangkan Ansell mencondongkan badannya ke depan untuk mengatakan tempat tujuannya. “Halo?” “Gwen? Kau di mana sekarang?! Kenapa semalam kau tidak pulang?” Gwen menjauhkan teleponnya untuk menghindari suara Ben yang sangat keras hingga mampu di dengar oleh Ansell. “Aku... emm, aku ada di Italy.” “Apa?!” “Ssst, pelankan suaramu,” ucap Gwen memperingati seraya melirik ke arah Ansell yang nampak memperhatikan jalanan kota. “Kenapa kau tidak mengatakan di Italy sebelumnya padaku? Apa kau tidak tahu sepanjang malam aku menunggumu—“ “Sudah dulu, nanti kutelepon,” Gwen mematikan sambungan teleponnya sepihak dan kembali menonaktifkan ponselnya. “Kita akan menginap di mana?” tanya Gwen pada Ansell. “Nanti kau juga akan tahu,” jawab Ansell. Tak lama kemudian taksi itu berhenti di VIU Hotel Milan. Ansell pun membayar biaya taksi sebelum keluar dari mobil diikuti Gwen. Keduanya masuk ke dalam lobi hotel dengan Gwen yang menarik dua koper, satu milik Ansell dan satu lagi adalah miliknya. “Kau masuk dulu ke kamar, aku akan mengurus sesuatu,” ucap Ansell seraya memberi key card yang dia dapatkan dari resepsionis. “Memangnya kau akan pergi ke mana?” tanya Gwen merasa penasaran. Ansell tidak menjawab pertanyaan Gwen. Dirinya langsung pergi setelah memberikan key card pada wanita itu. Gwen terdiam sejenak menatap punggung Ansell yang semakin jauh. Pria itu nampak sibuk, terlihat jelas dari langkahnya yang terburu-buru. Gwen menarik napasnya dalam-dalam lalu mengeluarkan ya perlahan. Dia tahu bahwa dirinya sedang mengganggu Ansell bekerja. Namun ini adalah kesempatannya untuk melihat langsung bagaimana seorang pembunuh serta penculik bayaran melakukan pekerjaan mereka. Rasa lelah membuat Gwen tidak bertahan lama di tempatnya. Dia segera masuk ke dalam lift untuk mengantarnya menuju lantai tempat kamarnya berada. *** Ansell berdiri di depan pintu, menunggu seseorang menerima panggilan telepon darinya. Satu kali. Dua kali. Hingga ketiga kalinya belum ada jawaban. Apa dia sudah tidur? batinnya mengingat Gwen tidak juga membuka pintu meskipun sudah diketuknya berulang kali. Ansell mendesah pelan. Dia pun segera pergi ke lobi hotel untuk meminta duplicat key card kamarnya. Tak lama kemudian Ansell kembali bersama dengan salah seorang pegawai hotel itu untuk membukakan pintu kamarnya. “Terima kasih,” ucap Ansell pada pegawai hotel itu dan segera masuk ke dalam kamar. Baru tiga langkah memasuki kamar, Ansell menghentikan langkahnya. Kamar itu kosong tak berpenghuni. Ansell tidak menemukan Gwen di dalam kamar. Langkah Ansell menuju pintu kamar mandi, dia membukanya perlahan. Tidak ada orang di sana. Ansell tidak melihat siapa pun di kamar itu. “Di mana wanita bodoh itu?” desahnya kesal saat menemukan ponsel Gwen tergeletak di atas ranjang. Ansell duduk di sofa sembari memikirkan Gwen. Meskipun sedikit merasa khawatir terhadap wanita itu, dia tidak bisa meninggalkan kamar karena Gwen yang membawa kunci kamar itu. Ansell pun memutuskan untuk menunggu wanita itu pulang. *** Nampak seorang wanita keluar dari lift. Langkahnya tertuntun menuju salah satu kamar di hotel tersebut. Sampainya di depan pintu kamarnya, dia mengeluarkan key card dari dalam saku mantel lalu mencocokannya untuk bisa membuka pintu. Terdengar bunyi “klik” tanpa pintu sudah terbuka. Dia pun masuk ke dalam kamar dengan satu tangan membawa bungkusan plastik. Langkah Gwen mendadak terhenti melihat seorang pria tertidur nyenyak di sofa. Gwen tersenyum tipis, ada rasa lega melihat pria itu di sana. Dia pun meletakkan bungkusan plastik di atas meja yang menempel pada dinding dan menghampiri pria itu. Gwen berhenti tepat di depannya. Dia membungkukkan badannya untuk memperhatikan wajah pria itu lebih jelas. “Lebih nyaman saat melihatnya tertidur pulas seperti ini,” gumam Gwen dengan tatapan tak berpaling dari Ansell. “Masa bodoh dengan perjanjian konyolmu, asal kau tidak merasakannya, bukan masalah kan?” sambung Gwen bergumam pelan. Dia mendekatkan wajahnya lalu mengecup pipi Ansell sekilas. Gwen kembali tersenyum membayangkan ekspresi pria itu jika memgetahui dirinya telah mencium pipi pria itu. Gwen mendekati ranjang dan duduk di sana. Dengan posisi kedua tangan di luruskan untuk menyanggah tubuhnya, Gwen masih dapat melihat Ansell dari tempatnya. Bayangan akan perjanjiannya dengan Ansell membuatnya kembali tertawa. Bagaimana tidak, pria itu melarangnya untuk melalukan kontak fisik. Bahkan menyentuhnya saja tidak boleh. Dan hal itu membuat Gwen merasa pria itu lucu. Lamunan Gwen buyar saat melihat ponsel Ansell yang berada di sampingnya duduk menyala. Gwen pun bangkit berdiri dan menghampiri Ansell untuk mengambil ponselnya. Gwen mengernyitkan kening melihat sebuah pesan masuk di top up layar ponsel. Nama pengirim pesan itu “Sarah”, sebuah nama yang menyebutkan bahwa pengirim pesan adalah seorang wanita. ‘Apa kau sudah di Italy? Jika belum, jangan lupa datang dan makam malam bersama.’ “Sarah? Siapa dia? Apa dia kekasihnya?” gumam Gwen tanpa sadar hingga membuat Ansell terbangun. Ansell mendongak seketika saat terbangun dari tidurnya. Dia langsung merepot ponselnya dari genggaman Gwen dengan kasar hingga membuat wanita itu terlonjak kaget. “Apa yang kau lakukan dengan ponselku?” tanya Ansell dengan nada tidak suka. Dia bangkit berdiri membuat Gwen memundurkan langkahnya. “Tidak ada,” jawab Gwen sembari memalingkan wajahnya. Ada rasa kesal yang menggerogoti hatinya melihat sikap Ansell yang tidak suka jika dirinya memegang barang pribadi miliknya. “Si-siapa Sarah? Apa dia kekasihmu?” Gwen kesulitan bertanya hal itu hingga akhirnya dia berhasil mengucapkannya dengan cepat. “Bukan urusanmu,” jawab Ansell. Jawaban Ansell membuat Gwen tertegun. Pria itu benar, semua yang ada dalam dirinya bukanlah urusan Gwen. Lagipula hubungan di antara keduanya hanya perjanjian kerjasama, tidak lebih. “Kau semakin menyebalkan,” ucap Gwen. “Kalau begitu pergi saja,” balas Ansell dengan senyum. Langkahnya melewati Gwen lalu berbaring di atas ranjang. “Kau mengusirku?” “Jika menurutmu iya, itu jawabannya.” Gwen menggigit bibirnya merasa kesal dengan ucapan Ansell. Sebelah tangannya merogoh kantong mantel lalu melemparkan key card ke arah Ansell hingga pria itu menatapnya. Tidak menunggu lama, Gwen segera melangkah pergi dari kamar itu. *** “Kenapa kau memberinya gaun kuning itu? Kita tahu jika dia tidak menyukai warna kuning.” Pria itu tidak menggubris ucapan istrinya. Dia masih sibuk dengan dokumen-dokumen yang sejak tadi di bolak-balik. “Ray,” panggil Luisa hingga membuat pria itu tertegun dan menatapnya. “Kenapa kau tidak pernah mendengarkanku?” “Jangan panggil namaku,” ucapnya memperingati, tatapannya menajam pada sosok wanita yang sejak tadi berdiri di depannya. Luisa menundukkan kepalanya, rasa takut perlahan muncul mendapat tatapan tajam dari suaminya. “Sekali lagi aku mendengarmu memanggil namaku, aku akan membunuhnya.” “Ray...” “Diam!” gebrakan meja terdengar nyaring memenuhi ruangan sepi itu. Ray bangkit berdiri dan menghampiri Luisa dengan tatapan tajam tak luput dari bola matanya. “Berhenti memanggil namaku. Panggil aku Roy, Roy Thompson,” bisiknya tepat di depan wajah Luisa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD