5. Viona Ketemu Cibil

1897 Words
Rayn mundur selangkah saat ada kayu bangunan dari atas ruangan yang terjatuh ke depannya. Api pun mengelilingi Viona dan ibunya, tapi gadis itu malah diam saja di sana. "Apa kau mau mati di sana?!" teriak Rayn dari ambang pintu dapur, dia tidak bisa mendekat. Viona diam saja. Rayn kesal karena diabaikan. Sebenarnya tidak masalah jika Viona mati atau hidup, ayahnya juga tidak akan menuntutnya kalau ada satu pelayan yang mati akibat kebakaran ini, tapi entah kenapa Rayn tidak ingin Viona mati di sana. Otaknya bekerja cepat mencari cara untuk membujuk Viona. Menurutnya, percuma masuk ke lingkaran api jika gadis itu tidak mau pergi dari sisi ibunya. Dia pun bertanya-tanya, apa yang bisa memicu Viona untuk bergerak. Saat itulah Rayn melihat mayat Dani. Dia bisa memanfaatkan wanita itu. "Apa kau mau ibumu mati sia-sia?" Viona mendongak, akhirnya menatap Rayn. "Apa...?" "Kalau kau mati bersamanya, sia-sia saja usahanya melindungimu di dalam lemari!" Viona menatap ibunya, kembali meneteskan air mata. "Tapi aku harus apa tanpa ibu?" "Kau bisa balas dendam kepadaku!" teriak Rayn, lalu mengulurkan tangan, meski panas api menjilat tangan dan wajahnya. "Balaskan kematian ibumu!" Viona tergerak, dia menatap Dani dan Rayn bergantian. Meski menangis, dia melepaskan mayat ibunya. Api semakin menyebar, sebagian tiang sudah hampir roboh karena api itu. Viona mencoba bergerak, tapi kakinya malah tertimpa kayu yang baru saja roboh. Rayn yang melihat itu jadi kesal sendiri. Dia membuka bajunya dan melindungi kepala untuk menerobos api dan mendatangi Viona di sana. Dia mengangkat balok kayu yang terbakar, lalu tanpa banyak kata, Rayn langsung mengangkat Viona. Viona terkejut dengan aksi tiba-tiba Rayn, tapi tidak bisa berbuat banyak karena tak mampu lagi berjalan. Dia lantas menekan bahu Rayn agar tidak terjatuh. Keduanya menerobos lorong-lorong yang mulai terbakar untuk mencapai jalan keluar. Baru saja Rayn akan berbelok ke bagian lain sisi istana, pilar di sana malah roboh dan menutupi jalan yang akan mereka lalui. Rayn tidak punya pilihan selain berbelok ke ruangan lain yang belum terbakar, dan mencari jendela untuk ke halaman belakang. Sayangnya, satu-satunya jendela adalah yang dalam ruangan terbakar. Rayn mendudukkan Viona di ruangan yang tidak terbakar, lalu menutupi kepala gadis itu dengan bajunya. Dari saku bajunya, Rayn mengeluarkan pisau dengan inisial R pada gagangnya. Rayn menyerahkan pisau itu kepada Viona, berkata, "Jika ada yang datang untuk membunuhmu, kau tikam dia dengan pisau ini. Ingat, kau harus hidup untuk membunuhku. Tunggu aku di sini, aku akan memecahkan kaca di ruangan sebelah agar kita bisa bebas." Viona menatap bingung Rayn yang berlari ke ruangan sebelah. Sebelum Rayn kembali, Ghasan muncul di sana dengan kondisi tubuhnya penuh luka sayatan pedang.    ◊ ◊ ◊ [Hutan]   "Rayn." Dieter berhenti melangkah ketika mendengar suara Viona untuk pertama kali setelah kejadian malam itu. "Kau bilang apa?" Viona mendongak, mengeluarkan pisau dari balik bajunya. "Dia Rayn, Dieter. Rayn yang membunuh ibuku, tapi ... tapi dia juga menolongku..." Viona menjatuhkan pisau, dia terduduk menutup wajah, mulai terisak dengan tubuh gemetar. "Aku harus bagaimana, Dieter?" Dieter mengembuskan napas lega. Dia pikir Viona akan selamanya seperti mayat hidup, tapi akhirnya gadis kecil itu kembali menjadi hidup. Tanpa kata, Dieter memeluk erat Viona. Setelah beberapa menit menangis histeris di hutan, Viona mulai sedikit tenang. "Apa yang kita lakukan di sini, Dieter? Bukankah ini Hutan Kabut? Oh, ya ampun, di mana Hans? Apakah dia selamat dari p*********n itu?" Dieter mengasah pisau dengan batu landai yang dia dapat dalam perjalanan. "Pangeran Hans masih hidup, dan dibawa pergi oleh orang-orang Alhanan itu." "Setidaknya Hans masih hidup." "Hutan Kabut ini tidak berpengaruh kepadaku, jadi kau aman selama bersamaku. Mengenai keberadaan kita di sini, aku mau menemui gadis peramal yang bisa menyelamatkan pangeran Hans. Hanya dia harapan kita, karena semua kenalanku sudah tewas." Viona tertegun sejenak. Dia juga tidak mengenal siapa pun di luar kerajaan. "Kenapa kita tidak mencari ke rumah gadis itu?" "Dia tinggal di hutan ini. Jadi, inilah rumahnya." "Bagaimana cara kita menemuinya?" "Aku tidak tahu. Dia itu makhluk aneh yang melakukan semua semaunya saja, tapi kalau ada orang luar yang memasuki Hutan Kabut, dia akan pasti akan muncul di hadapan orang itu." Dieter menghala napas kala mengingat dirinya melukai wajah Cibil. Dia melukai gadis itu dia hari lalu, tapi hari ini malah datang untuk meminta pertolongannya. Tidak tahu diri sekali! "Dieter?" Benar saja, Cibil muncul tiba-tiba, dengan tangannya memegang beberapa ikan yang sudah mati. Yang mengejutkan adalah jubahnya malah dijadikan alat untuk menampung ikan-ikan itu. Viona terkejut melihat Cibil tanpa jubah. Seluruh tubuh gadis itubersinar seolah dia terlahir dari cahaya, dan gaun putih yang Viona yakin terbuat dari sutera itu benar-benar cocok di tubuh mungil Cibil. Belum lagi rambut keemasannya yang membuat takjub sekaligus takut. Dia seperti iblis cantik dari neraka. "Kau pamer lagi." Dieter mendekati Cibil yang setinggi dadanya, kemudian menyingkirkan dedaunan dari kepala gadis itu. "Di mana jubahmu?" Dia melepas jaket hitamnya dan memakaikan ke tubuh Cibil. Cibil mengangkat tangannya, memamerkan jubah hitam yang menampung ikan. "Aku tidak tahu mau menampungnya menggunakan apa, jadi kupakai saja jubah ini," jawabnya dengan wajah datar. "Terima kasih karena memberikannya kepadaku, Dieter. Jubah ini sangat membantu." Cibil yang sebagian gaunnya basah akibat berburu ikan itu lantas duduk di akar pohon, meletakkan ikan-ikan mati di depannya. Dia mendongak. "Kau bisa membakar ikan ini untukku, Dieter?" "Tidak bisa. Aku terburu-buru ingin mencari pangeran Hansel. Aku datang ke sini untuk meminta bantuanmu, Cibil. Bisakah kau ramal─" Perut Cibil berbunyi nyaring, membuat Dieter berhenti bicara. "Aku tidak bisa meramal kalau lapar." Cibil mengambil satu ikan besar. "Aku makan dulu." Cibil baru merasakan satu gigitan daging ikan mentah, ketika Dieter mengambil alih ikan itu dari tangannya. "Jangan makan yang mentah." Dieter mengelap pipi Cibil yang belepotan darah ikan. Viona mendekat karena penasaran. "Kau tidak merasa terbakar, Dieter? Saat Hans memegang tangan anak ini, kulitnya seperti melepuh." Viona mencoba berbisik, tapi volume suaranya terdengar jelas oleh Cibil. "Apa kau tidak bisa mengubah cara berbisikmu?" sindir Dieter dengan mata menyipit menghadap Viona. "Tubuhku bereaksi panas jika merasa terancam," ujar Cibil. Viona mengernyit. "Berarti kau tidak merasa terancam di dekat Dieter?" Cibil mengangguk. "Karena Dieter temanku." Dieter termangu, terbayang caranya menyayat pipi Cibil, bahkan berniat menyerahkannya kepada Aidan sebagai alat untuk kemajuan kerajaan. Tapi lihat sekarang. Gadis itu masih menganggapnya teman. "Eh? Luka sayatannya menghilang tanpa jejak?" Cibil mengangguk. "Pemulihan lukaku cepat." "Apakah artinya, kau tidak bisa mati?" tanya Viona antusias. "Kenapa aku harus menjawabmu?" Viona tertohok dengan pernyataan Cibil, sedikit mengingatkannya dengan Hansel yang juga sarkas. Dieter menarik tangannya yang membersihkan bibir tipis Cibil, kemudian bangkit. "Aku akan mencari kayu untuk membakar ikan. Jangan menyentuhnya sebelum aku kembali." Cibil mengangguk patuh. Viona menatap lama Cibil, sebelum berkata, "Kata Ibu, temannya temanku adalah temanku juga. Aku temannya Dieter. Kau juga teman Dieter. Jadi, kau adalah temanku." Cibil berkedip-kedip, lalu matanya seolah berbinar. "Teman." Viona mengangguk. "Kata Ibu, kalau teman bertanya, kau harus menjawab. Setuju?" Cibil mengangguk patuh, dia suka mendengar kata 'teman' artinya akan ada yang membakar ikan untuknya lagi. Tapi dia harus memastikannya dulu. "Apa kau juga bisa membakar ikan?" "Eh?" Vio menggaruk tengkuknya, mengalihkan pandangan beberapa detik sebelum menatap Cibil lagi. Dia mengangguk. "Hum. Aku bisa." Cibil tersenyum kecil, bibirnya nyaris tak melengkung. "Baiklah, kita teman." "Oke, temanku Cibil, sekarang jawab aku, sejak kapan kau mengenal Dieter?" "Dua tahun lalu." Cibil menelan ludah menatap daging ikan yang menggiurkan, tapi berusaha menahan diri untuk tidak menyentuhnya. "Kau bisa meramal semua orang?" Cibil mengangguk, masih fokus dengan ikan di depannya, lalu dia memegang perutnya. Viona mengangguk-angguk. "Seberapa jauh penglihatanmu?" "Dua minggu. Lebih dari itu, aku akan melemah." "Melemah?" gumam Viona. "Berarti bukan tidak bisa melihat sampai sepuluh tahun ke depan?" Cibil mengangguk. Viona lebih mendekat lagi ke Cibil. "Ceritakan tentang keluargamu. Bagaimana ayahmu? Ibumu? Apa kau punya saudara?" Cibil menatap Viona sekilas, masih berwajah datar. "Ibu mati ketika melahirkanku. Ayah adalah iblis yang dikeluarkan ibu dari kitab terlarang. Ayah membantai seluruh keluarga ibu dan kabur. Setahun setelah aku lahir, nenek mengejar ayah dan menyegelnya lagi ke dalam kitab." "Sekarang, di mana nenekmu?" "Aku memakannya." Viona tertawa. "Hahaha... Ayolah, jangan bercanda begitu." Mata Cibil berkedip lambat. "Apa itu bercanda? Dieter juga mengatakan itu beberapa waktu lalu." Mata Viona terbelalak. "Baiklah, baiklah, lupakan pertanyaan itu. Apakah ayahmu sangat berbahaya sampai harus disegel? Kalau berbahaya, kenapa dia bisa menghamili ibumu? Kata Ibu, aku terlahir karena ayah dan ibu saling menyayangi. Begitu juga dengan ibu dan ayahmu. Kata Ibu, hanya orang baik yang bisa menyayangi. Artinya, ayahmu bukan orang jahat." Cibil seketika menatap Viona. Tanda di dahinya bersinar, begitupun warna matanya yang semakin pekat. "Ayahku iblis." Viona meneguk ludah. "Oke, oke, anggaplah begitu. Apakah mungkin selama setahun sebelum disegel itu ayahmu punya anak lain? Makanya dia meninggalkanmu? Seperti ayahku yang meninggalkanku dan ibu karena dia menyayangi anaknya yang lain. Tapi kata Ibu, itu bukan berarti ayah jahat. Ibu saja yang tidak bisa menyaingi rasa sayang ayah pada perempuan yang dipilih ayah. Jadi, mungkin saja ayahmu juga begitu. Harusnya nenekmu tidak menyegel ayahmu. Dia setidaknya harus mempertemukanmu dengan ayahmu dulu. Karena mungkin saja, ayahmu memiliki anak lain dan anak itu bisa menjadi saudaramu. Sepertiku, aku belum sempat diajak Ibu ke Danau Pelangi untuk menemui ayah dan saudaraku, makanya sekarang aku sendirian tanpa tahu saudaraku." "Aku tidak mau tahu." Viona menghela napas. "Baiklah, di mana kitab itu? Ayo kita bebaskan ayahmu. Kau tidak ingin melihat ayahmu?" "Tidak." "Kau tidak takut aku menyebarkan cerita ini? Aku bisa saja mencari kitab itu tanpa kau tahu." Cibil menatap Viona, ada lengkungan di bibirnya. "Kau akan menanggung akibatnya jika menceritakan tentangku kepada orang lain." Viona berkedip-kedip. "Harusnya aku tidak bertanya." Dia lebih mendekat lagi ke Cibil. "Coba ramal aku." Cibil membuka tangan, di tengah telapaknya ada lingkaran dengan satu titik merah cukup besar. Viona menatap tangan pucat yang seolah bersinar di depannya, enggan menjabat. "Tidak akan panas?" "Coba saja." Viona menelan ludah, perlahan menjabat tangan Cibil. "Dingin," lirihnya. Cibil fokus menatap iris hijau Viona, lubang bentuk lupis di keningnya bersinar. "Kau tidak akan melihat orang yang kau cintai lagi." Air mata Viona membasahi pipi, dia melepas jabat tangannya dengan Cibil. "Kau benar. Ibuku meninggal dua hari yang lalu." "Aku melihat masa depanmu, bukan masa lalu." "Jadi?" "Lelaki yang kau suka." Viona terkejut. "Hansel?" Dia mendekat, memegang kedua bahu Cibil. Secepat dia memegang, secepat itu pula dia melepaskan karena merasakan panas seperti terbakar. "Apa maksudmu? Apakah Hansel mati?" "Kau tidak akan bisa melihatnya lagi."   ◊ ◊ ◊   Dieter baru saja usai membakar ikan, dilihatnya Cibil makan dengan lahap. "Apa saja yang kau bicarakan dengan Viona? Kenapa dia terlihat murung di sana?" tunjuknya ke gadis yang duduk di bawah pohon sambil memainkan pisau inisial R itu. Cibil menelan cepat daging ikan. "Aku bilang, dia tidak akan melihat pangerannya lagi." "Maksudmu pangeran Hansel sudah mati?" Cibil menggeleng. "Tidak." Dieter mendecih. "Lalu apa?" "Aku tidak tahu. Semua gelap." Dieter menghela napas. "Kau tidak menjelaskan itu kepada Viona?" "Dia tidak bertanya." "Argh, susah bicara denganmu. Kau itu... Kau... Kau..." Cibil menunggu jawaban Dieter, bahkan dia tidak berkedip karena terlalu penasaran. "Ah, sudahlah. Cepat makan dan katakan di mana pangeran. Aku harus menolongnya." Cibil mengulurkan tangan yang belepotan bekas daging ikan. "Aku sudah selesai." Dieter mengelap telapak tangan Cibil, lalu menggenggamnya. Dia terpukau saat kening gadis itu bersinar dan si iris merah menatapnya langsung. Jantung Dieter berdebar karena anak perempuan usia tujuh tahun itu. Untuk pertama kalinya dalam dua tahun ini, dia merasakan sesuatu yang berbeda di hatinya. Dia sendiri bingung mengartikan itu. Hanya saja, dia merasa sangat senang dan lega, ketika tidak ada tempat yang bisa dituju, Cibil ada di sini sebagai orang yang bisa dia andalkan. "Kenapa detak jantungmu berbeda dari biasanya, Dieter?" Dieter segera melepas genggamannya. "Pendengaranmu pasti salah karena kau kekenyangan." "Tidak, Dieter. Ini berbeda─" Dieter segera membungkam mulut Cibil dengan tangannya. "Kau sudah menyentuh tanganku, katakan saja apa yang kau lihat." "Aku tidak bisa melihat apa pun karena detak jantungmu menggema di kepalaku." "Kalau begitu lihat Viona saja! Kau tadi sudah menyentuh tangannya, kan? Apa yang kau lihat selain kegelapan?" Cibil mengernyit. "Kenapa suaramu jadi meninggi, Dieter?" "Bukan begitu." Viona hanya tersenyum kecil melihat keakraban dua makhluk berbeda ras itu. Dia jadi mengingat pertengkarannya dengan Hansel. Apa yang sedang dilakukan anak itu saat ini? ◊ ◊ ◊
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD