Apa yang sedang dilakukan anak itu saat ini?
◊ ◊ ◊
Hansel terjaga keesokan harinya. Ketika membuka mata, tempat dia terbaring adalah sebuah ranjang cukup besar. Menatap ke sekitar, tampak olehnya nuansa biru tua pada dinding bata, dengan banyak tempelan potongan kertas yang sepetinya dikoyak dari buku. Hansel kemudian menoleh ke kanan, pada meja rendah dengan sebuah lentera kaca bentuk hati. Menatap lagi dinding-dinding kamar yang terpasangi lilin-lilin.
"Huwaa... akhirnya kau sadar." Seorang anak perempuan berpita merah di rambut kucir duanya tiba-tiba memeluk Hansel. "Syukurlah."
Hansel mendorong anak perempuan itu sampai terjatuh dari kasur. "Menjauh dariku!"
Anak perempuan itu tidak marah sama sekali meski jidatnya terluka karena tergores lantai, bahkan sikunya sedikit berdarah. "Haha... maaf, maaf, aku pasti membuatmu terkejut, ya," ujarnya saat merapikan gaun selutut itu. "Aku Diandra Langford." Dia sedikit membungkuk dan memegang ujung bawah gaun birunya. Anak itu kemudian duduk di tepi ranjang, agak jauh dari Hansel. Mata hitam bulatnya berbinar ketika menatap sang pangeran Alderich.
"Ini di mana?" tanya Hansel.
"Kau berada di benteng Timur Kerajaan Alhanan, tepatnya di kediaman ketua pasukan utama kerajaan, yakni ayahku, Lincoln Langford." Anak itu bebicara dengan penuh kebanggaan. Dia berdiri, kemudian berjalan pelan-pelan dengan kedua tangan di belakang punggung, dan senyuman lebar di wajah putih bersihnya.
"Kediaman ini berada jauh dari tembok istana kerajaan Alhanan. Apa kau tahu, benteng Timur adalah benteng terkuat kerajaan Alhanan. Biar aku jelaskan, ya, kerajaan Alhanan memiliki tiga tembok besar. Tembok pertama dihuni oleh para prajurit perang dan keluarganya, luas daerah di dalam tembok pertama adalah yang paling kecil dibanding tembok lainnya. Lalu, daerah di dalam tembok kedua dihuni oleh rakyat kerajaan Alhanan dan para bangsawan, wilayah ini yang paaaling luas ada pegunungan, sawah, sungai bahkan danau-danau. Tembok terakhir adalah milik keluarga kerajaan. Kalau tidak bisa melewati semua tembok itu, kau tidak akan bisa memasuki istana Alhanan, tapi sebelum jauh berpikir memasuki istana, kau harus melewati benteng Timur dulu untuk bisa melihat tembok pertama kerajaan Alhanan. Kau tahu, impianku adalah melihat Danau Pelangi dalam kediaman tembok ketiga, dekat istana. Katanya, tempat itu sangat indah, tempat para bidadari pernah singgah dan mandi."
Hansel yang semula bingung dan ketakutan di tempat asing, perlahan mulai tenang karena cerita Diandra. Gadis kecil cantik di depannya ini mengingatkan Hansel akan Viona yang cerewet.
"Kenapa aku di sini?" tanya Hansel.
Diandra menoleh, niatnya ingin menceritakan tentang istana Alhanan lebih jauh jadi tertunda. "Ayah membawamu sebagai hadiah untukku. Dua minggu lalu, Ayah pergi ke kerajaan Alderich untuk berperang, padahal aku sedang sakit. Makanya Ayah berjanji akan membawakanku hadiah perang." Gadis itu tersenyum. "Aku suka hadiahku."
Hansel mendengkus. "Menyebalkan," gumamnya.
"Aku selalu sakit-sakitan sejak kecil, jadi tidak ada yang mau bermain denganku. Karena itu aku senang ada kau di sini sekarang. Oh, ya, siapa namamu?"
Hansel inginnya mengakhiri pembicaraan itu, tapi dia harus memikirkan cara untuk kabur dari sana. Satu-satunya hal yang terpikirkan Hansel saat ini hanyalah memanfaatkan Diandra. Jika Benteng Timur sekuat yang dikatakan gadis itu, mustahil dia bisa keluar hidup-hidup dari sini sebagai seorang pangeran dari kerajaan Alderich.
"Aku Dieter."
◊ ◊ ◊
[Hutan Kabut]
Viona mengulurkan tangan. "Lihat sampai kau menemukan Hansel."
Cibil membuka mata, lantas menggenggam tangan Viona. Tanda di keningnya bersinar. "Aku melihat jalan yang terjal dan lebih sempit dari jalan umum, namun masih bisa dilalui beberapa kereta kuda dalam sekali jalan. Itu ada di daerah pegunungan. Perjalanan ke sana memakan waktu satu pekan. Kemudian ada sebuah dinding besar dan tinggi. Kau berdiri di depannya, lalu masuk ke sana bersama rombongan pemain sirkus. Kau melihat ribuan prajurit Alhanan. Ada Pangeran Hansel di rumah paling besar di dalam benteng itu. Saat kau pikir semua berjalan lancar, kau bertemu dengan orang yang memberimu pisau."
Viona segera menarik tangannya, padahal Cibil belum selesai meramal. "Rayn?"
"Viona, jangan menarik tanganmu saat Cibil sedang meramal. Ketika kau mencoba diramal untuk yang berikutnya, dia akan melihat masa depanmu secara acak," tegur Dieter.
"Tidak masalah, Dieter, dia tidak akan aku ramal lagi."
"Kenapa begitu?" tanya Dieter.
"Setelah bertemu anak lelaki yang membawa pisau, Viona akan bertemu Pangeran Hansel, tapi itu adalah hari terakhirnya. Setelah itu, dunianya menjadi gelap dan tidak ada lagi yang bisa kulihat."
Tatapan lembut Viona berubah takut. "Kapan?"
"Dua belas hari lagi."
Dieter menendang kayu di dekat kakinya. "Kau tidak perlu melakukan apa pun, Vio. Biar aku yang menyelesaikan semuanya."
Saat Dieter melangkah, Cibil melihat sekelebat suatu kejadian di masa depan. Dia terbelalak karena pertama kali mengalami hal ini.
Bruk
Dieter sigap menangkap sang peramal yang tumbang. "Cibil? Kau kenapa? Apa masih lapar?"
Cibil menarik-buang napas, jantungnya berdebar cepat, peluh membasahi kening. Sang peramal tidak mengerti alasan dia bisa melihat masa depan Dieter tanpa menyentuh telapak tangannya.
"Apa dia bisa sakit juga, Dieter?" Viona mendekat, ketakutannya tadi telah berganti khawatir.
"Entahlah. Selama dua tahun mengenalnya, belum pernah kulihat dia seperti ini." Dieter cemas, terlihat jelas di wajahnya. "Cibil, kenapa kau hanya diam saja melihatku? Katakan sesuatu!"
Cibil menyentuh wajah Dieter, memastikan sekali lagi kalau wajah ini yang dia lihat barusan. Mereka terlihat mirip, tapi sepertinya juga tidak mirip. Masa depan yang dilihatnya berwarna abu-abu, jadi dia tidak tahu apa warna mata pria dalam penglihatannya.
"Dieter, aku bisa melihat masa depanmu tanpa menyentuhmu." Air mata Cibil keluar, iris merahnya semakin pekat, bahkan di sekitar maniknya yang biasa putih kini berubah menghitam. "Kenapa aku bisa melihat dirimu yang dewasa, Dieter?"
Dieter memeluk Cibil untuk pertama kali sejak mengenalnya. Dia juga tidak mengerti kenapa peramal itu menangis. Lebih tidak paham lagi tentang perasaan sesak di hatinya ketika air mata Cibil menetes. "Apa yang dilihat Cibil sampai dia menangis?"
Cibil menikmati hangat pelukan dan aroma tubuh Dieter. Dia melingkarkan tangan di leher lelaki itu, lalu berbisik, "Dieter, aku melihatmu terluka parah. Kau berjalan mendekatiku dengan tertatih. Aku melihat perutmu mengeluarkan banyak darah. Aku sangat takut, Dieter, tapi kemudian kau memelukku dan berkata, 'Cibil, aku mencintaimu' dengan sangat pelan di telingaku. Aku malah merasa semakin sesak ketika kau mengatakan itu. Apa arti kalimat itu, Dieter? Kenapa aku merasa sangat sakit setelah mendengar kalimat itu?"
Ada dua hal yang Dieter tahu tentang cara meramal Cibil. Pertama, ketika Cibil meramal seseorang, dia seolah menjadi orang yang diramalnya itu. Dia bisa melihat, merasakan, atau mendengar sesuatu di masa depan yang dilihatnya, terbatas pada sudut pandang orang yang diramalnya. Kedua, Cibil tidak bisa meramal dirinya sendiri, setidaknya itu yang dikatakan neneknya. Tapi barusan yang dilihat Cibil, sungguh berbeda. Dalam penglihatannya, dia melihat seseorang yang mirip Dieter itu berjalan ke arahnya dan memanggil namanya. Artinya, kedua syarat telah dilanggar.
Dieter terdiam. Bertanya-tanya dalam hati. Cinta? Jadi, nama dari perasaan tak nyaman yang selalu membuatnya candu terhadap Cibil beberapa hari belakangan ini adalah cinta?
◊ ◊ ◊