Sisi Lain (2)

1054 Words
"Hemm, begitu. Apa arti lambang kerajaanmu ini?" Hansel tersenyum senang, menatap pin, dia menjelaskan, "Huruf A dan R ini bermakna nama kerajaanku, Alderich. Diletakkan di paling atas karena kedudukan kerajaan adalah di atas segalanya. Saat kau di atas segalanya, berarti kau siap menaungi siapa pun, terutama rakyat. Gambar bintang inilah rakyat, karena kalau tidak ada rakyat, kerajaan tidak bisa berdiri. Kata Aidan, bontang itu bersinar di langit dan ada banyak sekali, begitulah rakyat. Mereka harus bersinar, baru suatu kerajaan bisa terlihat. Lalu gambar naga ini melambangkan kekuatan, dan perisai emas melambangkan ketahanan. Keduanya adalah wujud dari prajurit kerajaan yang akan melindungi rakyat dan kerajaan dari serangan musuh." Kilcha tersenyum sambil bertopang dagu selama Hansel bercerita, tapi responnya terhadap cerita Hansel justru, "Bukankah simbol AR di atas segalanya melambangkan kesombongan?" Hansel seketika menatap Kilcha, merasa tersinggung dengan ucapan bangsawan itu. "Aku tidak merasa begitu." Kilcha menghela napas, kembali mengacak rambut Hansel. "Karena itulah kau disebut bocah, sangat naif dan polos." Hansel cemberut, tapi tidak berani menyingkirkan tangan Kilcha. "Aku tidak begitu." "Dengar, Hans, kau harus mengubah cara pandangmu terhadap sesuatu. Jangan hanya melihat dari satu sisi─" Brak. Tiba-tiba tandu berhenti melangkah. Kilcha membuka tirai tipis untuk melihat keadaan di luar. Betapa terkejutnya dia saat melihat para pengawalnya telah tergeletak bersimbah darah. Dia pun segera keluar tandu, sementara Hansel menyusul belakangan. "Apa-apaan ini?!" teriak Kilcha penuh amarah kepada Lincoln yang satu kakinya menginjak mayat pengawal Kilcha. "Oh? Ini?" tanya Lincoln sembari menarik pedangnya dari perut mayat pengawal. "Aku hanya sedang bersih-bersih." Kilcha mengepalkan tangan, menatap kesal Lincoln dan beberapa orang berpakaian hitam yang membunuh para pengawalnya. "Kau tidak tahu berhadapan dengan siapa, Lincoln? Aku bangsawan Vegas, termasuk dua bangsawan terkaya di kerajaan Alhanan. Bahkan kepalamu bisa aku beli." Lincoln menyeringai. "Kau mengenalku, kan, Bangsawan Vegas yang terhormat?" Pria licik ini berjalan ke arah Kilcha yang menyembunyikan Hansel di belakang punggungnya. "Kalau aku mau, seluruh keluarga Vegas akan bernasib sama seperti anak yang di belakangmu." "Kau sudah kalah di pelelangan. Dia milikku. Jangan mengganggu kami." "Kau belum mengerti juga?" Sebelah alis Lincoln terangkat, lalu dia meletakkan pedang besar itu ke bahunya, dengan gaya congkak. Kilcha akhirnya menyadari sesuatu. Dia terlalu lama berpikir, bahkan Hansel sudah tahu, atas perintah siapa Lincoln melakukan ini. Tidak ingin membuat Kilcha terluka karena dirinya, Hansel dengan sendirinya berjalan ke arah Lincoln, tapi Kilcha menahan pergelangannya. "Hans...?" panggil Kilcha dengan sangat lembut. Hansel berbalik, melepaskan pelan tangan Kilcha dari pergelangannya. "Terima kasih atas bajunya, Bangsawan Kilcha. Anda sangat murah hati. Terima kasih juga untuk nasehat Anda. Tetaplah hidup--" Srat! Lincoln menebas leher Kilcha di depan mata Hansel, dan darah itu otomatis mengotori wajah sang pangeran Alderich. Kepala Kilcha lepas dari tampuknya. Hansel terduduk di tempat, matanya terbelalak ketika melihat kepala Kilcha menggelinding menjauhi tubuhnya yang tumbang. Seluruh tubuh Hansel gemetar ketakutan, dia masih terpaku di sana, menatap mata teduh Kilcha yang tak berkedip. Kepala Hansel pun mulai pusing, perutnya mual. Beberapa detik kemudian, dia tak sadarkan diri.   ◊ ◊ ◊ [Dua hari kemudian] [Hutan Kabut]   "Cepatlah, Vio!" Viona memandang Dieter sekilas, kembali menekuri jalan di hutan sambil menunduk. Dia teringat cara ibunya mati malam itu.   ◊ ◊ ◊   [Malam p*********n]   "Apa pun yang terjadi, jangan keluar dari sini." Viona menahan tangan ibunya. "Ibu mau ke mana?" Dani melepas cengkeraman putrinya dari pergelangan, lantas tersenyum. "Ibu akan ke tempat Yang Mulia Ratu." Suara pedang beradu terdengar. Musuh rupanya sudah mencapai kediaman para pelayan. Saat Dani berbalik untuk keluar dapur kerajaan, seorang nanak lelaki yang diperkiarakan berusia 9 tahun menusuk perutnya dengan sebilah pedang. Seketika Dani tersungkur, menahan sakit di perutnya. Sementara Viona terpaku, tubuhnya gemetar hebat, tapi dia tetap mampu menguasai keadaan dengan terus membungkam mulut menggunakan tangan. "Ayah, Ratu tidak ada di dapur," kata anak lelaki yang mengenakan anting salib di telinga kirinya. Lincoln yang menunggu di luar pintu dapur menggaruk tengkuknya. "Ah, ke mana wanita iblis itu? Baiklah Rayn, kau bereskan para pelayan, tapi jangan membunuh anak-anak karena kita bisa menjualnya." Rayn Langford mengangguk, lantas kembali menusukkan pedangnya ke perut Dani untuk memastikan wanita itu tewas. Saat itulah, Rayn mendengar suara isakan dari dalam lemari. Dia segera mendekat dan membuka lemari itu. Secepat dia membuka lemari, secepat itu pula dia menutup telinga, karena Viona berteriak sangat kuat. "Aaaaaaa ... Ibu.... Ibu... Ibu..." Viona terisak, terus memanggil ibunya sembari mendekat ke mayat Dani. Sementara Rayn terdiam di tempatnya. Viona memeluk Dani, terus meminta ibunya untuk bangun. "Ibu, jangan tinggalkan Vio... Vio sudah jadi anak baik, Bu... Vio sudah melarang Hans memetik mawar kesukaan Ratu... Vio juga sudah menjadi teman baik Hans... Kata Ibu, kalau Vio jadi anak baik, Ibu akan membawa Vio ke Danau Pelangi di kerajaan Alhanan, tapi kenapa Ibu malah pergi? Ibu... Apa Ibu marah karena kemarin Vio menjitak kepala Hans? Vio janji tidak akan menjitaknya lagi, Bu. Tolong bangun, Bu... Ibu..." Rayn menghela napas mendengar gadis di depannya, lantas dia mendekat dan menarik dagu Viona. Dia sedikit terkejut melihat iris hijau yang berlinang air mata itu. Netra ini sangat jarang dijumpainya di kerajaan Alhanan. Mata Viona berkedip, buliran beningnya yang hangat membasahi tangan Rayn. "Kau yang membunuh ibuku?" tanya Viona dengan suara bergetar. "Hemm..." Rayn melepaskan dagu Viona, entah mengapa merasa bersalah. "Kenapa?" tanya Viona, masih dengan nada yang lembut tanpa ada amarah sedikit pun. Rayn menatap Viona lama, lalu mengalihkan pandangan ke deretan kursi dapur yang telah berantakan. "Itu perintah ayah." Viona menunduk, kembali menatap mayat ibunya. "Aku juga mengikuti perintah ibu. Tidak apa-apa, itu bukan salahmu." Mata Rayn terbelalak. Selama setahun menjadi pembunuh, baru kali ini Rayn mendapati seorang korban yang tidak menyalahkan sang pembunuh. Dia tidak pernah menduga akan bertemu dengan gadis seperti Viona. Yang dia tahu bahwa semua perempuan itu menyebalkan, kecuali adiknya, tapi gadis kecil di depannya ini berbeda. Meski tetap saja berisik seperti kebanyakan perempuan, tapi dia dipenuhi kelembutan sejati. "Ikut aku," kata Rayn. "Aku ingin bersama ibu." Rayn tak mengindahkan permintaan Viona, dia menarik paksa lengan gadis dan menyeretnya menuju pintu. Viona berontak, dia menggigit tangan Rayn, lalu kembali ke sisi Dani. Rayn kembali menarik Viona sampai menjambak rambut gadis itu, tapi Viona tetap keras kepala. Dia mengambil apa saja barang yang pecah belah di sana untuk dilempari ke Rayn. Setelah terbebas, dia kembali ke sisi Dani lagi. "Aku mohon, biarkan aku bersama ibuku," pinta Viona sambil berlutut memeluk ibunya. Air mata itu sungguh tidak cocok di wajah manisnya. Rayn baru saja akan menarik kembali Viona ketika suara ledakan terdengar. Tiba-tiba saja istana itu terbakar, dan api cepat merambat ke dapur kerajaan. Rayn pikir ini ulah orang-orang Alderich yang tidak ingin musuh kabur dari istana setelah p*********n. Dengan kata lain, orang-orang Alderich akan menarik musuhnya pula ke neraka. ◊ ◊ ◊
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD