"Masih pakai tanya? Mana ada orang ditodong terus bisa disebut suka rela? Ya, kali! Willing victim itu cuma ada di lagunya P!nk, Lolo. Itu pun dalam kapasitas hubungan cinta. Ngatriii?” Valentina enggan terpengaruh, sekali ini dia mau membalas keusilan Meisya padanya.
Raut wajah Meisya menegang.
“Sudah, kalau nggak rela, nggak usah dibeliin. Gue beli sendiri aja,” kata Meisya pelan.
Valentina menanggapi dengan mengedikkan bahunya saja.
“Bagus deh kalau begitu. Syukurlah. Aman, duit gue. Utuh!” sahut Valentina sok kalem.
“Leeeee!” seru Meisya mulai kesal. Bibirnya sudah semakin mengerucut saja.
“Apa, sih?” sahut Valentina, tetap sekalem sebelumnya.
“Beliin,” rengek Meisya. Kali ini lebih memelas dari suara bocah yang ngotot minta dibelikan scooter listrik dengan alasan semua teman sepermainannya sudah punya semua dan hanya dirinya seorang yang belum punya sehingga menjadi satu-satunya sosok yang di-bully oleh mereka.
“Ye, gimana sih? Lha katanya mau beli sendiri. Labil banget sih,” Valentina berlagak tak peduli. Kelihatannya, baru sebentar berada di timnya Richard, dia sudah bisa sedikit mengadaptasi sikap acuh tak acuh Cowok itu. Dan untuk mengimplementasikannya, memang yang paling cocok ya diuji cobakan kepada Meisya, siapa lagi?
Meisya tidak berkata apa-apa lagi, sebaliknya dia masuk ke dalam kamar. Dua puluh menit berada di dalam sana, tak terdengar suara apa-apa. Valentina juga tenang-tenang saja.
Ia pikir, dirinyalah yang telah memenangkan permainan ‘ngambeg versus cuek’ yang barusan mereka mainkan secara spontan. Gadis itu kian enjoy saja bekerja di depan laptop.
Dia baru terkaget, ketika mendengar berisiknya suara roda travel bag yang digeret. Dia mulai menangkap adanya sesuatu yang tidak biasa.
Segera Valentina menyimpan hasil kerjanya, lalu bergegas mematikan laptopnya. Ia menyambar pula telepon genggamnya yang tergeletak di meja kerja, dan setengah berlari menghampiri asal suara.
“Hei, hei, Lo? Apa-apaan coba ini? Urusan receh kok bikin elo marah. Nggak harus begini juga Lo! Elo lagi PMS, ya? Kayaknya jelas bukan saatnya, deh. Tadi elo bilang sendiri, kan, nggak lagi mens? Lagi pula, bukannya pertengahan awal minggu lalu elo baru kelar mens? Please, deh. Nggak pakai ngambeg begini, dong. Iye, iye, gue beliin. Sini, mana link-nya kasih ke gue,” bujuk Valentina dengan nada rendah.
Dengan cepat, tangannya merebut travel bag milik Meisya, dan buru-buru mengamankannya kembali ke dalam kamar.
Meisya tidak bereaksi. Ia tampak konsisten mempertahankan wajah merengutnya. Dia diam saja, sampai Valentina mengambil perangkat telepon seluler dari tangannya. Meisya bersedekap seraya menyandarkan badan ke dinding, menatap dengan nyalang, seperti tatapan istri sah kepada sang pelakor yang menggoda dan merebut suaminya.
Valentina menggelengkan kepala tanpa mengucap sepatah kata pun. Dia sedang enggan berdebat saat ini. Dia juga tidak tertarik untuk meladeni, apa pun jenis permainan yang tengah Meisya mainkan sekarang.
Pantang membuang waktu, Valentina segera melakukan transaksi belanja daring melalui telepon seluler milik Meisya. Tampaknya Valentina terlalu malas untuk repot-repot membuka ulang link yang ada di telepon seluler tersebut.
Transaksinya sungguh lancar. Sebab, ukuran dan warna pilihannya ternyata hanya satu. Sudah begitu, rupanya itu merupakan edisi terbatas, yang jumlahnya hanya 12 pcs saja. Valentina tinggal memasukkan nomor kartu kreditnya serta mengetik otp[1] yang dikirim ke nomor telepon genggamnya sendiri. Dalam keadaan normal, biasanya Meisya akan mengejek bahwa sahabatnya ini irit kuota, lantaran bertransaksi memakai telepon seluler miliknya. Tapi, ini kan situasi abnormal sifatnya. Meisya lagi ngambeg, judulnya. Sudah pasti sok jaim[2] lah, dia.
“Tuh, done! Puas, sekarang?” Valentina menunjukkan notifikasi sms dari bank, pada telepon genggam miliknya sendiri.
Tak dinyana, senyum Meisya merekah. Uh! Betapa menyebalkan!
“Horeeee! Dan sewaktu gue pakai blazer itu ke kantor, Randy Kuncoro Abdi, sang branch manager, bakal nggak berkedip ngelihat ke arah gue. Hm, I love you full, Vale! You are the best, pokoknya” Meisya mencubit pipi Valentina dengan gemas.
“And you are the worst. Confirmed,” timpal Valentina sambil mencibir.
“Iiih... kok gitu,” Meisya tersenyum kenes, macam senyuman menggoda kepada sang gebetan yang sikapnya dingin saja.
Valentina tersenyum miring padanya.
“Sial! Baru sebentar elo di kantor cabang, tapi kemampuan acting elo sudah mumpuni. Cih! Gue pikir tadi beneran, ternyata gimmick doang. Gue yang pada dasarnya berhati selembut sutra dan selembek puding coklat, auto tertipu,” cemooh Valentina.
Meisya ganti mencebik.
“Berhati lembut? Pret! I tell you one thing, Le! Elo pun sudah terpapar sikap bos baru elo itu,” ejek Meisya.
Valentina balas mencibir.
“Reseh. Sudah, gue mau lanjutin kerjaan gue. Tinggal sedikit lagi. tanggung tahu nggak,” Valentina menautkan ujung ibu jari dengan telunjuknya untuk mempertegas.
Meisya tersenyum puas.
“Vale..., thank you so much, Zheyenk..” Meisya mengedipkan mata.
Valentina meleletkan lidah kemudian berkomentar, “Sok imut pakai zheyenk zheyenk segala. Heh, tapi, Lo, nyadar, nggak? Elo itu punya bakat pengkhianat lho! Merk di Charming itu banyak banget, kenapa elo masih berselingkuh, sih, pakai merek lain segala? Kurang apa, kualitas yang ditawarkan sama Charming? Parah banget, Lo, seorang assisten manager bussiness development kok gitu, sih.”
Meisya tersenyum tengil menanggapi ucapan Valentina.
“He he he.., ini kan, strategi namanya Le. Gue kudu cobain merk lain, supaya bisa ngebandingin dengan yang kita punya. Biar kalian tuh, para designer, juga terpacu buat bikin model yang baru terus. Eh, syukur-syukur bisa diganti, sama bagian keuangan. Makanya jangan lupa, ya, kirim bill-nya ke gue. Sudah lunas, kan?” tanya Meisya tanpa malu-malu.
Valentina menepuk jidatnya keras-keras, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berlalu.
“Sumpah, gue sampai nggak bisa mengenali elo lagi. Itu kantor elo yang baru kelihatannya banyak aura negatifnya. Elo nggak begini, dulu. Mending elo pertimbangin buat mandi kembang, deh. Lebih cepat lebih baik. Soalnya kalau kantor itu yang harus disiram kembang, bisa mengundang curiga orang sekantor,” ujar Valentina.
“Halah. Elo juga Le, kalau mau ngasih apa-apa lama deh mikirnya sekarang. Itu pasti gara-gara lo ketempelan. Ada aura gelap, dari tempat tinggal elo ini. Gue yakin. Dulu elo nggak begitu kok,” balas Meisya tak mau kalah, membuat Valentina langsung terperangah.
“Lo, gila amat, kok ngomong begitu,” mendadak Valentina merasa bercandaan mereka jauh dari kesan lucu, meski dia yang lebih dahulu memulainya. Dia kan tidak bermaksud sejauh ini.
Herannya, bukannya paham akan maksud Valentina untuk mengakhiri gurauan mereka, mulut Meisya masih saja tanpa rem, terus nyerocos, “Makanya, buat mencegah hal-hal negatif terjadi pada elo, seharusnya elo sebelum nempatin unit elo ini, selametan dulu lah. Panggil teman-teman, makan-makan di sini. Kalau perlu tujuh hari tujuh malam. Biar berkah, gitu. Biar pada pergi deh, aura negatif tmpat ini.”
Valentina menggeleng-gelengkan kepala lagi. Hatinya mendadak ciut, tanpa dia tahu pasti, apa alasannya. Dia ingat, Meisya itu memang suka spontan. Kalau mulutnya mau ngebuka, jarang disinkronisasi dulu sama otak. Tapi nggak harus seceroboh ini juga dong? Ngomong yang enggak-enggak dan membuatnya ngeri? Sayangnya, sekarang bukan waktu yang tepat buat ngebahas itu, kan? Tuh, pekerjaan rumah dari si Richard sudah melambai-lambai kepadanya!
Valentina mendengus.
“Habisin tuh coklat, habis itu sikat gigi, terus jangan lupa minum obat cacingnya. Tidur duluan sana. Gue kayaknya perlu bergadang, deh. Sekalian bikin design dasi aja mumpung lagi mood bagus nih,” ucap Valentina.
Meisya mendelik.
“Le, nggak usah begitu amat, deh. Maksud banget, itu,” cela Meisya.
“Apa? Nggak usah begitu apa? Maksud banget apa?” tanya Valentina penasaran.
Meisya tersenyum mengejek.
“Elo berniat memikat hati si Richard, kan? Hei..., nggak boleh, Le. Pernah dengar quote soal itu? Bunyinya kira-kira begini deh : If you know someone is taken, don’t let him ended single. Cocok tuh, buat mematahkan niat terselubung elo ke Richard,” tandas Meisya.
Valentina mencibir.
“Ngawur! Gue sudah ilfil sama dia sejak tahu dia pasang jebakan betmen buat gue. Tampilan luar sih, boleh cool. Tapi di dalamnya, penuh modus. Bilang aja, mau memanfaatkan otak gue semaximal mungkin, supaya dia bisa mengalahkan si Vanya! Cih, dasar cowok nyebelin. Mau ngalahin cewek aja, kudu dengan cara memanfaatkan cewek lainnya. Gue malah curiga jangan-jangan dia itu banci,” Valentina menoyor kepala Meisya. Seolah belum cukup, Valentina memelototi Meisya dengan pandangan dongkol.
Segera saja, semua stock ejekan yang ada di kepala Meisya menguap karenanya.
“Gila! Sakit, nih, bekas beradu sama kardus coklat, tadi!” rajuk Meisya kemudian, sambil mengelus-elus kepalanya sendiri.
“Halah, kepala lo keras gini. Yang ada tuh kardus yang jadi korban, penyok,” ejek Valentina.
Mereka berdua tertawa bersamaan.
- Lucy Liestiyo -
[1] One time password - setiap kali bertransaksi secara on line dengan kartu kredit, biasanya pihak bank penerbit kartu kredit tersebut akan mengirimkan otp sebagai konfirmasi [2] Jaga image