CHAPTER SEMBILAN : First ‘Greeting’ (1)

1845 Words
                “Vale, serius nih, elo nggak tergoda buat nyebur? Mumpung lagi sepi, kolam renangnya. Serasa kolam renang pribadi, tahu. Kayaknya seger lho, siang-siang begini berendam di air,” bujuk Meisya, yang saking ingin mencoba kolam renang di apartemen Valentina, sampai rela melanggar prinsip ‘pantang memakai barang murah’.             Meisya memang sok gengsi. Dia ogah meminjam baju renang miliknya Valentina yang tentu saja lebih dari satu jumlahnya. Sebaliknya, dia mengambil langkah membeli secara asal, baju renang yang ia rasa paling sopan, di salah satu kios yang berseberangan dengan area food court. Entah dorongan dari mana, hasrat berenangnya muncul dan mendesak-desak, menuntut harus dipenuhi saat itu juga. Valentina saja sampai susah berkomentar saat Meisya merengek minta diajak ke area kolam renang dan meminjam kartu renang milik Valentina.              Alih-alih menanggapi ajakan Meisya, Valentina hanya menggoyang-goyangkan telapak tangannya saja.              “Enggak, lah. Elo aja gih, Lo! Gue temani dari sini, deh. Ini lagi lancar banget, idenya, serasa lagi berkendara di jalan tol dan pada saat tarifnya baru dinaikkan. Bebas merdeka, karena hanya sedikit yang masih berminat. Wah, sudah kebayang, gue bakal simpan dulu design-design dasi ini sebaik mungkin biar enggak bocor. Biar si Richard sableng itu nggak punya waktu buat mencela dan minta gonta-ganti konsep segala,” Valentina melebarkan kertas kerjanya di meja bundar yang terletak paling ujung, di salah satu sisi kolam renang di tower-nya. Dua gelas kertas kopi pahit serta sekotak coklat ikut parkir tak jauh dari kertas kerjanya. ‘Doping yang sempurna’ kalau istilah Valentina.              Meisya memperlihatkan ekspresi ketakutan yang dibuat-buat. Di detik lainnya, ia memasang tampang ‘double chin’.              “Hiih, ngeri kali! Baru juga sebentaran jadi anak buahnya si Richard, bakat modusnya sudah ter-copas sempurna. Fast learner sih boleh-boleh banget, tapi lihat-lihat dan disaring dulu kali, mana yang perlu di copy paste dan mana yang enggak,” sahut Meisya sembari menanggalkan handuk lebar yang melilit badannya dari pinggang hingga ke lutut. Lantas Meisya menyampirkan handuk itu di sandaran kursi kayu.              Valentina hanya mengangkat bahunya. Ia memperlihatakan mimik muka tidak peduli. Tangannya kembali mencoret-coret sketsa di depannya, membubuhkan beberapa aksen kecil.              “Gue tinggal dulu, ya,” ujar Meisya kemudian.              “Yup. Have fun ya Lo! Jangan lupa, itu mata dijaga baik-baik lho. Jangan lirak-lirik genit,” pesan Valentina penting tak penting.              Tidak ada sahutan dari Meisya. Mungkin, dia merasa dirinya bak putri duyung, yang harus segera berendam di air kalau tidak mau keburu megap-megap kesulitan bernapas.              Mendadak...              BYUUUR!! Cipratan air yang terlampau kuat, meninggalkan kenang-kenangan berupa beberapa titik yang berpencar, pada kertas kerja yang tengah Valentina hadapi.              “Melo! Astaga! Hancur hasil kerja gue!” refleks, Valentina mengangkat kertas di depannya, lalu cepat mengibas-ngibaskan kertas tersebut. Ia berharap bercak yang tertinggal dari titik air tidak terlampau parah. Bagaimana pun, ini baru design ke dua. Bisa dibilang, perjalanan masih lumayan jauh! Dia kan sudah berambisi untuk membungkam mulut bos barunya supaya tidak asal ngejeplak. Maka, ditiupinya bagian kertas yang basah, secara konstan.              Sementara di dalam kolam, Meisya terkaget mendengar teriakan Valentina.              “Eh? Nyiprat ya, Le? Sorry, sorry. Nggak sengaja. Berarti gue memang harus diet,” teriakan Valentina sepertinya sampai ke telinga Meisya. Terbukti, Meisya mengurungkan niatnya mencapai ujung lain dari kolam renang. Dia segera berbalik, berenang ke arah semula dengan kecepatan penuh. Sesampainya di tepi kolam, tangannya langsung meraih railing besi dari tangga kolam renang, berniat hendak naik. Bagaimana pun, dia harus melihat sejauh mana kerusakan yang telah ia buat terhadap sketsa Valentina. Ya meskipun, dia sama sekali tidak bermaksud melakukan perusakan tersebut. Namanya juga kecelakaan.              “Sudah, nggak perlu naik. Ini teguran buat gue, yang namanya hari libur itu harus dipakai sepenuhnya buat istirahat. Keenakan banget entar si Richard. Gue terusin di kantor aja, besok,” seru Valentina, mendapati kedua tangan Meisya sudah mencengkeram erat railing besi.              “Vale, sorry..,” sesal Meisya sungguh-sungguh.             Ia mengabaikan larangan Valentina untuk naik. Sebaliknya, ia berjalan cepat menghampiri sahabatnya itu.             “Coba sini, gue lihat hasil kerusuhan yang gue buat, lo posisiin lebih tinggi, Vale,” katanya begitu mencapai meja bundar.             Valentina tersenyum kecut dan menunjukkan kertas di tangannya.             Meisya mencondongkan kepalanya, mengamati kertas tersebut dengan cermat.             Ia benar-benar menjaga jarak, takut ada air yang menetes dari rambut atau badannya dan menambah tingkat kerusakan yang telah ia buat.             Valentina justru tersenyum lega.             “Hm. Syukurlah. Nggak terlalu parah kok ini. Kayaknya masih bisa gue akalin bekas airnya tuh. Semoga nggak berpulau-pulau. Biar kering dulu deh, entar gue beresin,” ucap Valentina.              “Yaaa, jadi sia-sia, deh, kerjaan lo?” sesal Meisya.             Valentina menggeleng.             “Enggak ada yang sia-sia. Terusin, gih, renangnya!” kata Valentina suara yang jauh lebih tenang.              Meisya mengamati kembali kertas itu secara saksama. Ditajamkannya penglihatannya. Dua menit kemudian, ada helaan napas lega darinya.              “Kenapa?” tanya Valentina, memperhatikan raut wajah Meisya.              “Itu, ajaib banget. Titik airnya di pinggir semua, nggak ada yang di atas gambar. Nanti gue beliin cat air warna putih buat hilangin bercak airnya. Gue yang kerjain, deh. Sekarang, karena mood elo udah berantakan, mendingan elo pesan makanan aja gih. Apa aja, terserah. On my treat. Udah, simpan deh, peralatan lenongnya. Mending habis makan nanti duduk santai di kursi malas, tuh!” Meisya menunjuk deretan kursi malas yang ada di sisi lain dari tepian kolan renang.              Valentina menatap sketsanya sekali lagi. Tadi lantaran panik, dia tidak mengamati secara cermat sebagaimana yang dilakukan oleh Meisya. Kini, dia turut menarik napas lega. Ternyata, sketsa di tangannya ini masih bisa terselamatkan!              “Aaaah... syukurlah! Eh, beneran traktir, tuh? Hokben aja deh, ya, paling dekat, dari kolam renang ini. Menu lengkap. Nasi, ekkado, salad, shumay furai, puding coklat, jus melon. Elo mau apa, Lo?” tanya Valentina.              “Belum kepengen makan, gue. Tapi pesenin aja, premium beef set yakiniku, nasi, chicken tofu, ocha dingin sama puding, deh. Buat makan nanti aja, di unit elo,” sahut Meisya ringan.              Valentina teperangah.              “Hah? Makan di unit? Gila, itu mah urusan nanti. Pelit banget sih! Cuma traktir hokben mah, nggak bakal bikin elo bangkrut, kali,” bantah Valentina.              Meisya cengengesan.              “Ya kan, gue sudah terpapar paham ngirit dot com nya elo. Pengaruh keseringan kemari kayaknya sih. Aura pelit dari penghuni nggak kasat mata yang ada di kawasan  apartemen elo ini,” Meisya yang merasa terbebas dari rasa bersalah, segera ngeloyor pergi. Belajar dari kesalahan yang telah ia perbuat, kali ini dia tidak seheboh tadi tatkala memasuki kolam renang.               Valentina terbengong mendengar ucapan Meisya.             Niatnya untuk berkata, “Lo, jangan asal ngomong deh!” tertelan kembali.             Mendadak, hatinya terasa kebat-kebit. Seperti memberikan semacam firasat kepadanya, bahwa ada sesuatu yang buruk yang bakal terjadi.             Valentina segera menindih kertas kerjanya dengan kaca mata dan kotak pensil, demi mencegahnya tertiup angin. Dia belum dapat menggulung kertas itu sebelum benar-benar kering, sementara pikirannya sudah tak lagi ada di sana. Keinginannya untuk segera memesan makanan juga lenyap begitu saja. Ada sebuah kecemasan yang tanpa alasan, yang seolah meringkusnya, memaku badannya agar tak bergerak. Diam di tempat. Bahkan otaknya saja seperti enggan diajak berpikir.             Valentina mengeluh dalam hati. Dalam keadaan begini, hanya matanya saja yang mampu menatap terus pada setiap pergerakan yang dilakukan oleh Meisya.              “Melo, jangan lama-lama. Kita balik ke unit sebentar lagi, ya. Elo bener, kita makan di unit aja deh,” teriak Valentina sekuat mungkin, yang hanya berbalas acungan jempol dari Meisya di kejauhan.              Meisya menaiki tangga kolam renang pada sisi yang lain, sebentar kemudian. Melihat itu Valentina berpikir bahwa Meisya sudah mulai bosan berenang dan ingin membilas badan di pancuran. Maka, ia memperhatikan lagi sketsanya.              “Hm. Lumayan deh, sudah mulai kering dan bisa gue gulung,” gumam Valentina setelah menyentuh permukaan keras. Ia meggulung kertas tersebut lalu dimasukkannya ke dalam tasnya.              Baru saja Valentina berencana membereskan barang-barangnya, matanya justru menangkap sosok Meisya yang bergerak mendekat ke papan loncat.              Valentina menepuk jidatnya.             “Ya ampun. Kirain mah, mau udahan main airnya. Eh, masih nambah dia!” dumal Valentina pula.             Merasa tidak ada lagi yang dapat ia kerjakan, Valentina akhirnya memperhatikan semua pergerakan Meisya.             Dilihatnya, Meisya sudah berdiri di ujung papan loncat, tengah memantul-mantulkan kakinya. Semuanya tampak biasa saja untuk beberapa menit.             Namun tiba-tiba saja, mata Valentina terbelalak. Ia sampai mengucek matanya, karena tidak dapat mempercayai apa yang dilihatnya. Ia menyaksikan suatu penglihatan yang aneh.             Usai ancang-ancang sempurna, bertepatan melayangnya badan Meisya di udara, ada seseorang, ataukah sesuatu, yang besar, sekonyong-konyong menyembul dari dalam kolam renang, dan menangkap badan Meisya melalui satu lompatan sigap ke atas.              “Meisya, awas!” seru Valentina, yang otomatis bangkit dari tempat duduknya, bermaksud mencapai titik di mana Meisya berada. Dia sudah tak peduli atau memikirkan  lagi apa yang sebenarnya tengah terjadi. Insting Valentina berkata, saat ini Meisya dalam bahaya besar dan dia harus bergegas melompat untuk menolong sahabatnya itu, tak memperhitungkan bahwa petugas satpam akan menegurnya karena memakai pakaian lengkap.              Namun baru saja Valentina hendak melangkah, ada sebuah kekuatan besar, yang tak tampak oleh matanya, mendorong dadanya dengan begitu keras. Entahlah, dia tak tahu pasti. Apakah itu dua buah telapak tangan yang besar, ataukah barusan dia menabrak dinding yang tak kasat mata.              Yang jelas, ia merasa badannya seketika terempas akibat kekuatan yang menyerangnya. Dia jatuh terduduk membentur kursi yang tadi didudukinya. Sedetik setelahnya Valentina tidak dapat melakukan apa-apa lantaran tulang-tulangnya serasa dilolosi. Yang dominan terasa olehnya hanyalah rasa ngilu yang sangat di p****t serta pahanya lantaran telah beradu keras dengan kursi berbahan besi itu. Valentina merasakan betapa badannya mendadak lemas bagai tidak bertenaga sama sekali. Hanya indra penglihatannya yang masih bekerja sama dengan baik dengan otaknya saat ini. Matanya masih dapat dibukanya lebar-lebar.             Sementara di tengah kolam sana, ia menyaksikan sosok besar yang tadi menangkap tubuh Meisya, tengah membenam-benamkan kepala Meisya. Sialnya, dia tak dapat melihat jelas siapa pelakunya sebab sosok besar itu memunggunginya.             Valentina terbelalak.             “Jadi, tadi itu orang, yang melompat dari dalam kolam renang? Tapi kenapa badannya begitu besar?” gumam Valentina dalam bingung.             Valentina yakin benar, dia bergumam dan mulutnyapun bergerak-gerak barusan, tetapi anehnya, bahkan telinganya saja tidak dapat mendengar suara gumaman yang dihasilkan  dari mulutnya itu.                                                                                                                                                                    - Lucy Liestiyo -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD