“Sialan juga si Richard itu ya! Jebakan Betmen banget. Tahu gitu, mendingan elo tetap di posisi semula ya Le,” ucap Meisya di antara kegiatannya mengunyah kentang goreng yang sengaja ia pesan dari gerai cepat saji di area food court di lantai dasar.
Ini hari Sabtu, jadi dia menyanggupi untuk menginap di unit apartemen Valentina. Namanya juga Jones, yang akhir pekannya identik dengan monochrome, hitam putih, es te de, alias standard. Tanpa janji kencan, nihil telepon rindu, dan jelas.., butuh tempat escape dari kewajiban menyediakan telinga yang sudah nyaris tuli, lantaran terus-terusan disumpal oleh segenap curcol para saudara atau teman-teman seumurannya yang seenak jidat, berkeluh kesah tentang persoalan rumah tangga mereka yang seolah tak ada habisnya.
Hm, sudah tahu rumusan dasarnya, kan? Kalau mereka yang barusan berumah tangga itu berkisah dengan sesama yang juga telah berumah tangga, pasti akan langsung disahuti, “Elo masih mending, tahu? Nih, gue, coba.. bla bla bla.” Ngalir deh, keluhan yang lebih cadas, dari ‘forum dadakan’. Kran air yang sudah dol mah, kalah jauh dibandingkan sama lancarnya curahan hati mereka masing-masing.
Beda kasus, kalau ceritanya kepada seorang ‘Jones’ macam Meisya. Dengan cerita yang didramatisir itu, entahkah tentang perilaku pasangan yang ternyata jauh dari sikap manis dan super perhatian semasa pacaran, kurang tidurnya mereka karena sekarang mempunyai orok yang paru-parunya demikian kuat sehingga tangisannya juga nyaring sementara sang suami, bukannya ikut membantu mendiamkan sang orok, justru dengan alasan besok pagi ada meeting penting, malahan seenaknya mengungsi, memilih pindah tidur ke kamar tamu.
Ada lagi yang membuat Meisya harus lebih menunjukkan keprihatian lagi kala mendengarkan curhatan selanjutnya. Apalagi coba kalau bukan persoalan remeh seperti sudah berusaha memasak meski badan telah lelah usai mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang seolah tiada habisnya, suami justru pulang ke rumah tanpa menyentuh makanan yang dihidangkan. Kadang pula mereka berkisah tentang betapa terganggunya mereka setiap kali sang mertua perempuan muncul sewaktu-waktu di rumah mereka, sudah bagaikan jelangkung saja, yang datang tak diundang. Bedanya, pulangnya pasti minta diantarkan oleh sang putra. Secara teknis, itu cukup mengurangi waktu kebersamaan putra mereka dengan keluarganya, toh? Hm, apalagi kalau mendadak sang mertua menginap. Pasti Meisya harus siap-siap duduk manis lebih lama lagi mendengar segala curahan hati mereka.
Semua keluhan itu dikemas sedemikian rupa, seperti ada badai yang bakal memporak porandakan rumah tangga mereka saja. Tak jarang, dituturkan dengan derai air mata di hadapan Meisya yang hanya mampu terbengong, memasang tampang bodoh karena tak tahu harus berkomentar apa. Oh, malah ada versi lain lagi, yang soal perubahan komunikasi yang dikisahkan dengan penuh kesedihan, seakan akhir dunia sudah dalam hitungan mundur. Sinetron banget, pokoknya.
Nah, mendengar ‘cobaan hidup’ mereka yang sudah menikah sementara Meisya belum, separah-parahnya mulut Meisya, sialnya, masih ada filternya, menanggapi curhat mereka. Dia pasti diam, biarpun diamnya itu bukan mendengarkan, tetapi mengkhayal sang pangeran pujaan menjemputnya dengan kuda putih.
Pikirnya, mereka toh sebetulnya cuma perlu mengeluarkan unek-unek, pakai bonus dipuk-puk sedikit, sekiranya Meisya lagi murah hati, s***h, peres, sebentaran beres. Beres buat mereka sih. Tapi buat Meisya? Lama-lama capek juga dijadikan ‘tong sampah’.
So, mendingan juga dia ngabur ke tempatnya Valentina, kan? Secara, orang tuanya belum mengijinkan dirinyakeluar dari rumah dan menempati apartemennya yang sudah lunas dari kapan tahu. Alhasil, apartemen itu ia percayakan kepada agen property untuk disewakan. Lumayan, uangnya bisa semakin memuaskan hobby belanja-nya, selain ditabung untuk membayar uang muka atas property lainnya lagi.
“Makanya, Lo!Untung gue belum keburu diperas sama elo, kan?” Velantina tersenyum masam. Tak sedikit pun melihat ke arah Meisya yang tengah berolah raga mulut itu. Tangannya terus mencoret-coret di atas kertas kerjanya.
“Untung di elo, rugi di gue itu mah! Bencana nih! Gue sumpahin, dia diputusin sama tunangannya, terus patah hati deh,” kata Meisya sebal.
“Bukannya kata anak-anak, sikapnya nyebelin gara-gara nggak enjoy, menjalni hubungan sama tunangannya? Kalau lo sumpahin dia biar putus, yang ada dia jingkrak-jingkrak, dong!” timpal Valentina enteng, sembari menghapus sedikit goresan yang tak perlu pada kertas kerjanya.
Lantas, Valentina mengangkat kertas itu, diposisikannya dalam keadaan vertical di hadapannya. Beberapa saat dia memandang dengan saksama hasil kerjanya tersebut, dan akhirnya tersenyum puas. Sungguh tak sia-sia dirinya menguji ketahanan punggungnya, duduk berjam-jam menghadapi meja kerjanya yang sengaja ia tempatkan di sudut ruang tamu di apartemennya ini. Yang namanya ide, kalau sedang lancar begini memang tak boleh ditunda, harus segera dituangkan pada tempatnya. Persetan dengan tulang punggungnya yang sudah meronta menahan rasa pegal yang luar biasa eskalasinya, atau pantatnya yang kian tepos lantaran kebanyakan duduk.
Begitu lah. Dua sahabat, di ruangan yang sama, pada sebuah malam minggu yang semestinya diisi dengan me time atau hang out bersama. Satunya bergulat dengan pekerjaan, satunya sibuk menghabiskan makanan. Pemandangan yang cukup kontras.
“Masa, sih? Tapi gue baru tahu, ternyata dia tuh semenyebalkan ini. Ingat Ivanka, sekretarisnya yang mengundurkan diri karena pindah ke luar kota dan Sherren, designer yang lo gantiin karena memutuskan membantu usaha suaminya setelah menikah, kan? Mereka berdua saja, sewaktu mau mengundurkan diri, kelihatannya berat banget. Artinya, si Richard itu sebenarnya baik lho, sama timnya,” sahut Meisya.
Valentina mengangkat bahu. Di-scan-nya kertas kerja di tangannya. Ini adalah alternatif ke empat alias yang terakhir. Dia tak menyangka bahwa semuanya akan selancar ini. Padahal, dia sempat mengalami stuck dengan ide dasarnya, gara-gara keluar dari ruangan bos baru dengan hati dongkol, ditambah pula ada suara-suara yang singgah di kepalanya, yang seolah menyalahkan pilihannya.
Valentina baru meneruskan pengerjaannya kemarin sore, sepulang bekerja, hingga menjelang malam ini. Gadis itu menuangkan ide-ide di kepalanya selancar aksi Meisya mengunyah kentang gorengnya. Tambahan lagi, untuk tiga model terdahulu, telah sempat diutak-atiknya pula corak dan warnanya, menggunakan aplikasi photoshop. Sesuatu, yang mungkin tidak terlampau terpikir oleh sejawatnya yang lain. Tidak, mana mau mereka repot-repot sejauh itu, kalau konsep awalnya saja belum disetujui? Tapi ini kan Valentina, yang memilih bekerja secara total. Apalagi dia sadar sang bos baru mempunyai standard tinggi dan tidak tertebak olehnya. Tentu saja dia perlu mengantisipasi dengan lebih cerdas, bukan?
“Le, elo dengar kan, gue ngomong apa? Kerja sih kerja, tapi kuping lo kan bukan cantelan. Please deh,” dumal Meisya yang meraih remote tv dan mencari tontonan yang menarik. Gila, semenjak tadi malam hingga sekarang, nyaris 24 jam, kuat sekali dia tidak keluar dari unit. Kegiatan Meisya tidak jauh dari ngemil, makan besar, membuat infused water, menonton teve, mencari alternatif tontonan melalui netflix, serta tidur-tiduran di sofa, menunggui Valentina berkreasi.
“Aduh!” teriak Meisya disertai usapan tangannya pada kepalanya. Sebuah kotak persegi, bertuliskan merk coklat terkenal yang mengklaim sudah ada sejak 1828, terjatuh di atas karpet. Benda yang masih disegel itu rupanya, yang menghantam kepalanya beberapa detik lalu. Valentina kurang rendah, melemparkan kotak coklat tersebut.
Alih-alih memungut kotak coklat, Meisya segera berlari ke dalam kamar. Terlalu heboh menimbulkan suara gedabrukan, sehingga membuat gerakan tangan Valentina di atas mouse, terhenti seketika. Valentina terusik dan mengangkat kepalanya.
“Heh! Kenapa, Lolo? Dikasih coklat biar ucapan lo agak manis kayak muka gue, malah lari-lari. Kebelet pipis ya? Atau, mau ganti pamperes yang udah penuh?” seru Valentina dengan nada mengejek.
“Gue mau ngecek, berdarah atau nggak!” seru Meisya dari dalam kamar.
“Hah? Apanya? Elo lagi...? Heh, bukannya semestinya belum waktunya?” Valentina mengingat-ingat. Saking dekatnya hubungan mereka berdua, dia sampai hafal bahwa jadwal tamu bulanan mereka itu hampir berdekatan, paling berbeda satu atau dua hari saja. Dan lantaran baru dua minggu lalu tamu bulanannya datang, mana mungkin sekarang sahabatnya itu datang bulan, kan?
“Apaan? Bukan menstruasi. Bukan yang di bawah, yang berdarah. Tapi yang di atas, nih, kepala gue, yang gue takutin berdarah. Elo timpuk, kan barusan!” seru Meisya dari dalam kamar.
“Ah, lebay! Memangnya sempat kena kepala? Andai pun kena, juga nggak sekeras itu, kali,” sahut Valentina acuh tak acuh. Ia kembali melanjutka pekerjaannya. Dia memang tidak tahu kalau kotak coklat itu sempat menghantam kepala Meisya. Dia baru terusik, ketika Meisya mendekati meja kerjanya tiga menit kemudian.
“Hei. Kenapa? Ada apa?” tanya Valentina santai.
“Le, bisa ditunda dulu kerjaan elo? Sebentar aja. Tolong antar gue ke rumah sakit terdekat, Le. Gue nggak kuat nyetir, ini,” kata Meisya seraya memasang wajah super serius.
Valentina mendongakkan wajahnya. Ditatapnya Meisya, meski belum tergerak beranjak dari tempat duduknya. Ia memilih mengamati wajah Meisya yang tampaknya wajar saja, tidak ada luka, juga tidak pucat.
“Hah? Elo sakit apa? Keracunan kentang goreng? Kok bisa, ya? Perasaan, selama gue makan makanan di food court bawah, semua baik-baik aja. Pesan air kelapa, gih, mumpung masih pada buka. Oh, atau, minum s**u beruang di kulkas. Gue yang ambilin, deh. Elo duduk sini deh, entar kenapa-napa lagi,” kini sorot khawatirnya tertaut dengan tatap mata sang sahabat. Dia sudah bangkit dari duduknya.
Meisya buru-buru menggeleng.
“Bukan itu. Gue mau visum kepala gue. Terus hasilnya, buat dasar laporan ke kantor polisi atas penganiayaan yang elo lakukan ke gue barusan,” cetus Meisya dengan ekspresi wajah yang disetel super serius.
Mendengarna, Valentina mendecakkan lidah dan segera mengempaskan pantatnya kembali ke atas kursi.
“Ck! Miss Drama gagal manggung! Super duper lebay! Sana, habisin coklatnya, buruan! Gue masih harus ngutak-atik ini dulu. Kalau malam ini bisa kelar, besok pagi gue bisa curi start ngerjain design dasi. Nah, siang atau sorenya, kita beli deh, itu tas kresek yang elo mau,” ucap Valentina.
Meisya tercengang. Sirna sudah niatnya memperpanjang masalah pelemparan kotak coklat ke kepalanya. Matanya langsung berbinar, menyaingi lampu pijar berdaya listrik 100 watt.
“Serius, Vale, hampir kelar? Ya udah, gue enggak ganggu, deh. Gue pikir-pikir, karena elo dikibulin si Richard, upetinya nggak usah tas, deh,” berkata begitu, Meisya bergeser menuju meja tamu. Lalu ia memungut coklat yang tadi mendarat di atas karpet, dan meletakkannya di atas meja tamu. Secepat itu pula, dia sudah kembali mendekati Valentina dengan membawa perangkat telepon genggam miliknya sendiri.
“Wah, udah aura-aura yang enak, nih,” gumam Valentina, yang memasang tampang curiga bercampur waspada.
Firasat Valentina langsung terjawab.
Meisya memperlihatkan apa yang terpampang di layar ponselnya, sebuah blazer cantik berwarna hitam dengan aksen kancing emas yang membuatnya tampak demikian elegan.
“Beliin gue ini aja, Le. Jadi, kita nggak perlu keluar dari unit elo besok. Gue lagi mau malas-malasan, Vale. Tuh, murah, banget, kan? Harganya bahkan kurang dari seperempat harga tas yang gue incar. Kurang baik dan kurang pengertaian apa, coba, gue ini ke sahabat gue?” pinta Meisya seenak jidatnya.
Valentina menahan napasnya. Diam-diam, dia bersyukur juga, temannya ini cukup tahu diri. Terlebih, jika mereka tidak berkeliaran di mal, potensi dompetnya bocor, akan dapat diperkecilnya. Pasalnya, kalau sudah di mal, apa yang tidak direncana untuk dibeli juga bakalan dibeli gara-gara lapar mata. Belum lagi ada tukang provokasi bernama Meisya, yang gemar menyesatkannya, mengajaknya merogoh kocek dalam-dalam, menggesek credit card maupun debit card-nya, menggiringnya menuju masuk ke dalam jurang bernama masa prihatin di penghujung bulan. Seakan sengaja, mau meloncat bersama ke jurang kemiskinan. Huh!
“Deal, deh. Bungkus aja. Talangin dulu pakai credit card elo, Lo! Gue bayar cash setelah gajian,” goda Valentina sambil mengedipkan matanya.
“Nggak lucu ya, Le! Enak aja! Perjanjiannya nggak begitu,” Meisya pasang tampang merengut.
“Ye, tolong, deh. Nggak perlu juga pakai manyun begitu. Tuh bibir panjangnya sudah berapa meter, tahu!” sahut Valentina ringan.
“Le! Jangan bercanda, deh! Ini barangnya laku banget! Flash sale tahu nggak, makanya bisa dapat harga segitu!” rengek Meisya.
Valentina sedikit terlonjak mendengarnya. Pikirnya, pantas saja si Nona Ceriwis ini napsu mau membeli. Flash sale, gitu lho. So, itu bukan barang murah, sebetulnya. Pasti harga miring banget. Sekelas Meisya, gengsinya selangit, lah, kalau harus memakai barang murahan.
“Ya udah, kirimin link-nya ke gue. Entar setelah ini kelar, baru gue beliin. Semoga aja, barangnya sudah kejual habis, saat itu,” kata Valentina santai, seiring ekspresi wajah yang dipasang selempeng papan. Rupanya cepat belajar dia, dari bos barunya yang bernama Richard itu.
“Elo sebenarnya rela nggak sih, untuk beliin gue?” suara Meisya mendadak meninggi.
Valentina tak segera menanggapi.
Pikirnya, “Ah, ini akal-akalan, gue tuh sudah hafal siasat nenek gerondong yang satu ini. Pakai sok ngambek ke gue. Ya habis, mau ngambek ke pacar, dia kan belum punya. Standard-nya sih, sok ketinggian! Nyundul langit! Harus yang begini lah, begitu lah, sedangkan yang enggak begini atau begitu saja belum tentu mau, sama dia. Dia kan masuk kategori Cewek berbiaya tinggi. High maintenance. Hobby belanja-nya itu lho, ampun-ampunan! Cowok juga bisa ciut nyalinya, apalagi yang masuk kategori kantong pas-pasan atau memang pelit!”
- Lucy Liestiyo –