‘Aduh! Ini, gue kenapa? Apa yang terjadi dengan gue?’ pikir Valentina dengan panik yang sampai ke puncaknya.
Dalam keadaan seperti ini, yang dapat ia lakukan hanyalah sebatas berteriak sekencang-kencangnya.
“Tolong! Toloooong! Toloooong!” teriak Valentina sekuat dan selama mungkin.
Sekali ini Valentina amat yakin bahwa suaranya keluar. Ya, dia dapat mendengar suara teriakannya sekarang.
Akan tetapi, lagi-lagi peristiwa ganjil dialami oleh Valentina. Tidak ada satu orang pun yang mempedulikan teriakannya. Bahkan juga si petugas keamanan yang sedang berkeliling itu.
‘Terlalu. Mengapa mereka semua tidak mempedulikan teriakanku minta tolong? Apa jangan-jangan, suara teriakanku ini nggak keluar, nggak terdengar di telinga mereka, seperti halnya suara gumamanku tadi? Nggak. Nggak mungkin. Itu jelas mustahil! Sementara aku sudah berteriak sekencang ini!’ pikir Valentina gemas sambil mengerahkan segenap kekuatannya agar dapat mengangkat sebelah tangannya.
Setelah bersusah payah dan mengucurkan keringat, seolah sedang mengumpulkan tenaga dalam untuk dipusatkan ke satu titik saja, akhirnya Valentina berhasil mengangkat sebelah tangannya sekaligus menundukkan wajahnya. Semua itu dia lakukan supaya jari jemarinya dapat menyentuh area lehernya. Nah, dia merasakan urat lehernya saja sampai menonjol. Bukankah itu pertanda dia telah berteriak demikian lantang barusan?
Lantas seusai menyentuh area lehernya, tangan Valentina terkulai begitu saja, seperti daun yang layu.
Rasanya Valentina ingin menangis saja. Dia takut kalau dirinya terlambat menolong sahabatnya.
Beruntung, dalam keadaan kritis macam itu, seorang petugas cleaning service lewat di dekat Valentina. Dikarenakan tidak mempunyai gagasan lain, Valentina segera berdoa dalam hati, meminta adanya mukjizat. Dia berdoa dengan sungguh-sungguh, segenap hati.
Alangkah mujurnya! Sepertinya, semesta berpihak kepada Valentina.
Mendadak saja, sebuah gagasan hinggap di kepala gadis itu, bersama sebuah bisikan lembut yang terdengar di telinganya, “Tendang kursi kayu itu! Cepat!”
Tanpa berpikir lagi siapa atau apa yang telah membisiki dirinya, Valentina bergegas memusatkan segenap kekuatannya ke sebelah kakinya. Kembali keringat mengucur deras di dahi dan tubuhnya, bagaikan seorang yang baru saja melakukan olah raga berat. Valentina tidak menghiraukan hal tersebut. Yang terpikir olehnya hanya satu : Keselamatan Meisya!
Ajaib! Mendadak Valentina merasakan adanya sebuah energi yang mengalir ke kaki kanannya, membuat dirinya mendapatkan kekuatan yang cukup untuk menendang kursi kayu yang terletak di sebelahnya.
Si petugas cleaning service yang sedang memungut dedaunan yang terjatuh dan mengumpulkannya ke sebuah pengki, terkejut mendengar bunyi kursi yang terjatuh.
Sontak dia menoleh dengan kesal ke arah Valentina, dan maju dua langkah untuk mengangkat kursi yang jatuh dalam keadaan terlipat itu.
“Jangan ditendang-tendang begitu dong, Mbak. Ini fasilitas umum lho. Kalau rusak, bagaimana?” tegur si petugas cleaning service itu pelan. Tampak benar alangkah dia berusaha tetap sopan terhadap tenan[1], kala membuka kursi dan meletakkan kursi kembali ke tempat semula.
Valentina berusaha keras untuk mengerahkan tenaga yang dimilikinya, demi dapat mengulurkan tangan untuk menarik ujung baju seragam si petugas cleaning service. Keringatnya bercucuran lagi, seakan untuk gerakan seseimpel itu, dia harus mengerahkan tenaga dalam super. Uh, ini sudah ketiga kalinya dalam tempo sesingkat itu. Valentina yakin, setelah ini dia perlu banyak mengkonsumsi makanan manis untuk memulihkan tenaganya yang terkuras.
“Apa sih, Mbak?” petugas cleaning service sepertinya mulai jengkel.
Ditatapnya wajah orang yang menyentuh ujung baju seragamnya itu.
‘Oh God, please. Let her know what is happening to my best friend, Meisya,’ harap Valentina dalam hati.
Doa tulus Valentina itu segera terjawab dengan sempurna.
Valentina mampu menggerakkan tangannya, menunjuk-nunjuk ke arah Meisya. Lebih dari itu, si petugas cleaning service yang berdiri di depannya juga mau mengikuti arah pandangan matanya.
Saat itu pula, Valentina sempat menatap nama yang terbordir pada seragam yang dikenakan sang petugas cleaning service. Sulianty R.
“Astaga! Kenapa nggak bilang dari tadi sih Mbak!” si petugas cleaning service bernama Sulianty R itu terkejut, mendapati bahwa seseorang yang nyaris tenggelam di kolam renang. Ada nada menyalahkan yang terlontar dari mulut Sulianty, seolah Valentina sengaja membiarkan seseorang di dalam bahaya.
Dengan wajah yang menggambarkan keputus asaan, Valentina bermaksud memegangi tenggorokannya, ingin memberi tahu kepada Sulianty bahwa suaranya tidak bisa keluar.
Tetapi Sulianty tampaknya tidak peduli jawaban apalagi penjelasan dari Valentina. Ia mengambil tindakan cepat, tidak menunggu Valentina mengucapkan sepatah kata lagi kepadanya.
Sulianty langsung melepas sepatunya dan meloncat ke dalam kolam, berenang demikian cepat, terus mendekat ke tubuh Meisya karena berpikir itu merupakan cara yang paling cepat serta efektif untuk mencapai tempat di mana Meisya kini berada. Dia dengan sadar melanggar aturan yang melarang seseorang berenang tanpa memakai baju renang.
Sulianty mengayuh kedua tangannya bergantian. Tidak percuma dirinya menggemari olahraga renang semasa duduk di bangku sekolah.
Dia sungguh sedang mujur. Tidak butuh waktu yang lama, tubuh Meisya telah berhasil direngkuh oleh Sulianty, tepat pada saat tubuh itu hampir mencapai dasar kolam.
Sulianty demikian sigap. Ia segera mengangkat tubuh Meisya ke permukaan air. Tubuh Sulianty yang lumayan besar memungkinkan dirinya mengangkat Meisya dari dari dalam kolam renang meski seorang diri. Lantas, Sulianty membaringkan tubuh Meisya tepat di sisi kolam renang. Usai melakukan tindakan heroik itu, barulah Sulianty merasakan napasnya tersengal. Ia duduk didekat Meisya dan memberi waktu kepada dirinya untuk mengatur napas.
Seketika, orang-orang yang berada disekitar kolam renang menghampiri Sulianty.
Melihat keadaan yang mendadak heboh, Valentina seperti baru tersadar akan keberadaan dirinya.
Tadi itu, selama beberapa menit, entah mengapa Valentina merasa seakan-akan dirinya tengah berada di tempat yang teramat jauh, pada dimensi waktu dan ruang yang sulit ia kenali. Sampai-sampai ia tak bisa menolong Meisya. Seolah Meisya, sahabatnya itu terbentang jarak yang tak kentara, terpisah darinya sementara ia tidak dapat pergi dari ‘sana’. Rasanya sungguh ganjil. Kini perlahan, Velentina merasa tenaganya mulai pulih. Pun kesadarannya untuk bergerak cepat. Lekas Valentina menyeret langkahnya mendekati Meisya.
Sulianty yang menyadari kedatangan Valentina, mendongakan wajahnya. Dia sempat memergoki, betapa Valentina memerlukan usaha yang besar untuk melangkah menuju ke arahnya. Makanya, ia membatalkan niatnya untuk mengomel.
“Ini temannya, Mbak? Coba ditolongin, deh, mukanya sudah pucat banget tuh!” kata Sulianty yang telah berusaha menyadarkan Meisya dibantu seorang petugas keamanan bernama Wiwik. Mereka berdua menepuk-nepuk pipi Meisya serta memijat kaki gadis itu. Petugas keamanan maupun petugas cleaning service yang bertugas di area kolam renang memang selalu dipilih kaum wanita. Tampaknya pihak pengelola apartemen sengaja memberlakukan kebijakan ini untuk mempertimbangkan kenyamanan para tenan wanita yang berenang di kolam renang tersebut.
Valentina langsung berlutut di sisi Meisya. Ia bergegas menempelkan kedua telapak tangannya di atas d**a Meisya, lantas melakukan gerakan memompa. Beberapa kali melakukannya, belum juga ada hasil yang berarti.
“Dikasih napas buatan saja coba, Mbak!” saran Wiwik pula. Saran yang berbalut desakan.
Valentina menundukkan wajahnya. Dia sudah bersiap dan hampir memberikan napas buatan, lantaran takut menyesal kalau terlambat menyelamatkan Meisya. Untung saja, sedetik sebelum dia melakukannya, Meisya sudah terbatuk-batuk.
Rasanya beban yang sedari tadi terasa begitu berat di pundak Valentina seperti terangkat secara mendadak.
“Aaaah, Melo, syukurlah!” desah Valentina penuh syukur. Tangannya bergerak mengusap dahinya sendiri. Diusapnya peluhya.
Lalu kata Valentina kepada Meisya, “Lo, Lo. Elo bikin panik aja tadi itu. Ayo, Mbak, tolong bantu saya angkat teman saya ini ke sana,” sembari melihat pada Sulianty dan Wiwik yang berada di dekat mereka berdua.
Meisya tampak belum sadar benar apa yang telah menimpanya. Barangkali, dia malah tidak tahu apa yang telah menimpa dirinya. Dia hanya bisa membiarkan kebingungannya berkembang mendapat tubuhnya tengah diangkat beramai-ramai begitu. Yang dia tahu, badannya terasa agak lemas dan kepalanya terasa berat, itu saja.
“Vale, gue kenapa?” tanya Meisya pelan, seusai dirinya dibaringkan di sebuah kursi kayu panjang di pinggir kolam renang.
Sepertinya Meisya mulai menyadari tentang keberadaan dirinya saat ini, tetapi belum sepenuhnya teringat detail peristiwa yang baru saja dia alami. Meisya berusaha keras untuk duduk.
Valentina tidak menjawab. Ia hanya membantu memegangi tubuh sahabatnya agar dapat duduk.
“Terima kasih, Mbak,” ucap Valentina kepada Sulianty dan Wiwik yang telah membantunya.
“Ini kenapa, orang-orang pada ngelihatin gue kayak aneh gitu?” bisik Meisya pelan, begitu ia merasakan bahwa posisi duduknya lebih stabil.
Mata Meisya menatap ke sekelilingnya dengan pandangan protes bercampur bingung.
Valentina mengernyitkan alisnya mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
“Elo bener-bener nggak ingat, Lo? Ya udah entar deh gue ceritain. Sekarang elo sudah cukup kuat nggak, buat jalan ke ruang ganti? Gue papah, yuk! Biar secepatnya kita pergi dari sini dan sebaiknya elo istirahat di unit,” Valentina balas berbisik di telinga sahabatnya itu.
Meisya mengurut pelipis sesaat lantas terdiam.
“Gue enggak kenapa-napa, kok Le. Sudah, nggak perlu elo papah. Barang-barang elo mana? Bukannya tadi elo lagi bikin sketsa?” tanya Meisya.
Mendengar uraian Meisya yang sepanjang itu, Valentina langsung menarik napas lega.
“Nah, syukurlah. Itu elo sudah mulai ingat kayaknya. Sudah, diingat-ingatnya nanti aja. Yuk, sekarang gue temani ke ruang ganti. Elo bilasnya sebentar aja, ya. Nanti sampai ke unit, baru mandi dan bersih-bersih badan sepuas elo deh,” sahut Valentina runut.
Meisya mengangguk dan berdiri. Dengan digandeng oleh Valentina, dia mulai melangkah.
Setibanya di depan ruang ganti, Meisya berkata, “Gih, urusin sketsa elo dulu, Le. Ada dimana? Main lo tinggal gitu aja?”
Valentina menatap Meisya dengan ragu. Pikiran Valentina saat ini bukan terfokus kepada sketsa sama sekali, melainkan kepada Meisya. Keselamatan sahabatnya ini.
‘Gimana kalau Meisya mendadak pingsan pas gue tinggal sendirian? Gimana kalau dia kenapa-napa dan gue enggak sempat menolong dia? Yang tadi menyerang dia itu...’ pikir Valentina gamang.
“Heh! Kenapa? Kok ngelihatin gue kayak begitu sih Le?”tanya Meisya curiga.
“Yakin, elo bisa gue tinggal sendiri? Gue kok..,” tanya Valentina yang tak meneruskan ucapannya. Tatapan mata Valentina menangkap beberapa orang berpakaian lengkap yang tampaknya baru saja memasuki ruang ganti pakaian. Sepertinya mereka baru datang dan hendak berenang.
‘Setidaknya ada orang-orang ini yang bisa menolong Meisya kalau dia ddiam keadaan darurat,’ pikir Valentina.
“Iya lah, Le! Gih, sono pergi!” suruh Meisya sembari setengah mendorong lengan sahabatnya itu.
Valentina pun mengukur kekuatan yang dikerahkan oleh Meisya barusan, lantas berpikir, dengan kekuatan sebesar itu, Meisya memang sudah bisa ditinggal olehnya.
“Ingat! Jangan lama-lama bilas badannya ya, Lo. Sebentar gue beresin barang-barang gue. Nanti gue secepatnya balik kemari,” berkata begitu, Valentina segera melesat cepat, menuju meja bundar di mana dia meninggalkan perlengkapan yang ia bawa tadi.
Mujur, semua barang-barangnya itu masih berada di posisi semula, tidak bergeser barang satu senti pun. Dengan sekali tatap, Valentina yang visul itu segera dapat memastikan tidak ada satu orang saja yang sempat menyentuh barang-barangnya selama ia tinggalkan. Secepat Valentina membenahi semuanya, dia pun kembali lagi ke depan ruangan untuk berganti pakaian. Ia segera melangkah memasuki ruangan tersebut.
“Yuk,” ajak Meisya yang telah keluar dari bilik untuk berganti pakaian.
Valentina mengangguk.
Tanpa sengaja, Valentina menoleh ke belakang. Jantungnya langsung berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya, sampai-sampai dia didera serangan panik lagi. Tubuhnya gemetaran. Di belakang sana, tepat di tepi kolam renang, Valentina melihat sosok besar tadi. Sosok itu tengah menatap tanpa kedip padanya.
Valentina bergidik ngeri dan lekas menarik tangan Meisya agar mereka berdua dapat secepatnya meninggalkan area kolam renang. Dia berusaha keras meredakan gemuruh di dadanya, menyembunyikan kegelisahan yang dirasakannya dari Meisya. Ia menekan gundah dan gelisah itu hingga ke dasar agar tidak sempat mencuat dan terbersit pada ekspresi wajahnya.
- Lucy Liestiyo -
[1] Dalam hal ini merujuk kepada pemilik atau pengguna atau penyewa properti atau real estate