“Naaah! Akhirnya bintang tamu yang ditunggu-tunggu datang juga. Tadi itu nyangkut di mana sih Mbak? Eh Mbak, Mas Marvin mau traktir kita makan ramen yang di ujung itu. Kelihatannya enak lho, soalnya dari tadi ramai yang pada beli. Mbak Val sudah lapar belum? Nih, nih, diminum dulu Thai tea punya Mbak. Uh, pasti sudah nggak enak deh! Kelamaan sih datangnya!” begitu melihat kemunculan Valentina, Veranda langsung memberondong sang Kakak dengan rangkaian pertanyaan, pernyataan, hingga keluhan.
“Yang mana yang mau disahutin dulu nih? Kamu ngomong kayak kereta api, panjangnya,” komentar Valentina.
Bibir Veranda langsung mengerucut.
“Anyway, thanks Thai tea-nya ya Ver. Kamu tahu saja kalau Mbak haus,” imbuh Valentina. Diterimanya gelas plastik ukuran jumbo yang disodorkan Veranda, dan menyeruputnya perlahan.
“Vin, aku minta maaf ya, pasti dari tadi telingamu sudah pengang, mendengarkan ocehan Anak bawel yang satu ini,” balas Valentina.
Veranda tersenyum miring.
“Ih, Mbak Val!” cemooh Veranda.
Lalu dialihkannya tatapan matanya kepada Marvin. Tangannya menunjuk hidung sang Kakak.
“Mas, Mbak-ku ini kalau di kantor sok jaga image begini nggak sih? Padahal aslinya sama nyablaknya dengan sobatnya satu itu,” kritik Veranda.
Marvin tertawa mendengar komentar Valentina tentang adiknya sendiri serta bagaimana Veranda yang tampak tak mau kalah dengan kakaknya. Ia memilih tidak menimpali satu pun dari mereka.
“Mau ke sana sekarang? Sudah hampir jam dua belas, sekarang,” tanya Marvin, menunjuk booth yang menjual ramen.
“Atau, kalian di sini saja, biar aku yang ambilkan menunya. Mereka bisa mengantarkan kemari kok,” imbuh Marvin segera.
“Nggak merepotkan, Mas?” tanya Veranda.
“Enggak, dong. Aku tinggal dulu ya. Cuma sebentar kok,” kata Marvin, dan bergegas meninggalkan kakak beradik itu, setelah sempat menunjuk ke tas ramah lingkungan berisi buah yang ia tinggalkan di kursi dan menatap kepada Veranda, seolah berkata, “Titip ya Ver.”
Veranda mengacungkan ibu jari.
Selepas kepergian Marvin, Veranda nyerocos, “Mbak, jawab semua pertanyaanku tadi. Ngapain aja sih, begitu lama? Memangnya seberapa jauh jarak tempat praktek dokter itu dari sini? Mbak Val nggak yang bertingkah macam jurnalis dadakan dan cari tahu secara detail begitu kan?”
“Kamu tuh Ver. Apa sih!” elak Valentina.
“Mbak..,” Veranda setengah merajuk.
“Kamu ngobrol apa saja sama Marvin, tadi? Kelihatannya kok akrab sekali,” selidik Valentina.
“Ih, pertanyaanku belum dijawab, malah balik tanya. Aku cuma cerita yang tadi malam aku ceritain ke Mbak Val, itu si atasan reseh. Tapi Mas Marvin sudah kasih aku banyak pencerahan lho Mbak,” jawab Veranda.
“Beneran? Kamu nggak cerita yang macam-macam, kan? Terutama soal alasan Mbak pindah ke sini?” korek Valentina.
“Eng..,” Veranda urung menjawab.
Valentina mengibaskan tangannya.
“Sudah. Mbak sudah tahu jawabannya. Ver, tolong dong, nggak usah kebanyakan ngomong deh. Baru kenal, juga,” tegur Valentina.
“Ini beda Mbak. Mas Marvin tuh orangnya asyik. Dia juga enggak negative thinking, kok. Malahan waktu aku sebutin soal apa yang Mbak Val alami, dia malah bilang, bahwa beberapa orang, bisa saja mendapatkan semacam penglihatan, begitu lho. Terus terang tadinya aku mau ketawa. Tapi pas aku lihat, ekspresi wajahnya serius tuh. Aku bukan nggak percaya, aku percaya kok yang begitu ada. Malah aku juga memaklumi alasan kepindahan Mbak Val. Makanya dengan baik hatinya, aku mengajukan diri untuk menjaga rumahnya Mbak Val, kan? Hm, kurang baik apa, aku ini ke Mbak-ku? Tapi tadi itu, aku lagi nggak kepengen ngomongin itu,” papar Veranda.
Lantaran pemaparan Veranda terlalu acak, Valentina jadi bingung untuk menentukan, hendak mengomentari yang mana. Ia memutuskan mengabaikannya saja. Terlebih, saat suara Marvin terdengar menyapa mereka lagi. Arahnya dari belakang mereka.
“Nah, ini menunya," kata Marvin.
Valentina menoleh. Dia menerka-nerka, sejak kapan Marvin kembali ke meja mereka dan sejauh mana Marvin sempat mendengar percakapannya dengan Veranda.
"Dilihat-lihat saja dulu. Aku sudah pesan ke pelayannya supaya datang kemari 5 menit lagi,” Marvin menyodorkan dua buah daftar menu, masing-masing ke Veranda dan Valentina.
“Thanks. Jadi ngeropotin,” kata Valentina.
“Enggak kok,” tepis Marvin.
“Aku mau miso ramen saja. Yang ini. Yang ada chicken katsu-nya. Ini silky pudingnya kelihatan enak deh, Mbak. Mbak Val mau makan apa?” tanya Veranda sambil menunjuk sebuah gambar yang tertera pada daftar menu.
“Kamu pilihin saja deh. Gorengannya saja, Ver. Mbak belum terlalu lapar. Vin, mau makan apa?” tanya Valentina, ketika melihat Marvin melambai pada seorang pelayan yang meintas dekat mereka. Rupanya, dari seragam yang dikenakan oleh si pelayan, dia dapat mengenali bahwa itu adalah salah satu pelayan resto ramen.
Sang pelayan sigap menghampiri mereka, siap mencatat pesanan tiga orang itu.
“Aku mau ramen salmon saja sama fresh orange,” sahut Marvin, langsung ditujukan kepada si pelayan. Kemudian, dia juga menyebutkan pesanan dari Veranda dan Valentina.
Tidak butuh waktu lama, pesanan segera terhidang di meja mereka. Barangkali ini salah satu faktor yang mempengaruhi minat beli para pengunjung di food court tersebut.
Ketika mereka sedang asyik makan, mendadak Valentina teringat sesuatu untuk ditanyakannya kepada Marvin.
“Vin, kamu sudah berapa lama, tinggal di sini?” tanya Valentina.
“Sejak tower ini buka, empat setengah tahun lalu. Dulu di lantai yang aku tempati, malah baru ada aku. Tiga bulan setelahnya, baru ada dua unit lain, yang ditempati,” terang Marvin.
Valentina manggut-manggut. Pikirnya, dia sudah bertanya pada orang yang tepat.
“Oh, begitu. Ngomong-ngomong, memangnya ada kolam renang lain, di tower ini?” tanya Valentina. Maklum, semenjak serah terima unitnya dulu, Valentina belum berkeliling melihat segenap fasilitas yang disediakan oleh pihak pengelola. Awalnya, dia hanya sekadar berinvestasi saja, membeli unit apartemen yang menurutnya memiliki lokasi strategis ini.
“Enggak. Cuma satu,” jawab Marvin.
Dia mulai meraba-raba ke mana arah pertanyaan Valentina. Dan sepertinya dia mendapatkan ‘clue’.
“Oh, ya sudah,” kata Valentina.
“Barangkali aku hanya salah lihat,” gumam Valentina lirih.
“Val?” tanya Marvin, seolah meminta penjelasan.
“Mbak, lihat apa? Yang seperti di rumah Mbak Val? Lagi?” tanya Veranda jemu.
Valentina menggeleng. Matanya memejam sesat.
'Kamu pikir cuma kamu dan Melo, yang bosan? Mbak lebih dari bosan, Ver. Mbak capek. Mbak nggak mengada-ada. Dan apa yang dikatakan oleh anak kecil bernama Ivan tadi itu...' keluh Valentina tanpa suara.
Marvin meneguk minumannya. Mencermati raut wajah Valentina, entah mengapa dia merasa Valentina ini memiliki banyak beban pikiran, tetapi tidak punya tempat untuk berbagi. Tentu saja dia merasa bersimpati.
“Di rusunami belakang, ada kolam renang juga. Bahkan dulu..,” Marvin segera menggantung ucapannya.
Valentina tercekat.
Dia curiga, jangan-jangan Marvin menyembunyikan apa yang hendak diketahuinya.
“Dulu apa?” kejar Valentina.
“Dihabiskan dulu makanannya. Nanti baru kita lanjutkan obrolannya,” tandas Marvin.
Hati Valentina berdebar, sementara Veranda menatap penuh selidik.
Marvin menatap Valentina secara intens.
'Kamu boleh tanya apa saja, Val. Aku pasti akan menjawabnya,' kata Marvin dalam hati.
^* Lucy Liestiyo *^