Lantas, yang terlihat oleh Valentina adalah kerumunan orang-orang yang mengerubungi tubuh si Bapak yang bersimbah darah itu. Terlihat olehnya, Bapak itu meringkuk di tanah, mengerang kesakitan sembari memegangi perutnya, seperti tengah meregang nyawa. Sementara Anak muda yang telah gelap mata menyerangnya, tidak sanggup melakukan perlawanan berarti ketika digelandang oleh para petugas keamanan yang terlambat datang itu. Ya, andai mereka datang lebih awal, semestinya peristiwa pertengkaran yang berujung penusukan itu dapat terelakkan dan tidakpernah terjadi, bukan?
Seorang anak kecil menabrak Valentina. Hampir saja tubuh Valentina limbung.
Saking kaget, telepon genggam Valentina terjatuh, beradu dengan lantai keramik. Gerakan refleks yang dilakukan Valentina adalah menangkap tubuh anak kecil itu, agar tidak terjatuh.
Setelah posisi berdirinya stabil, anak kecil itu menatap sekilas orang dewasa yang ia tabrak. Wajah anak kecil itu tampak memucat. Dengan takut-takut, anak itu memungut telepon genggam milik Valentina dan menyerahkannya ke tangan Valentina.
“Tante, maaf. Saya nggak memperhatikan jalan,” kata anak kecil itu. Ditampakkannya ekspresi pasrah, bilapun harus menerima omelan dari orang dewasa yang tak sengaja ia tabrak barusan.
Valentina menghela napas panjang dan menerima telepon genggamnya, lalu mengeceknya sesaat. Ternyata, telepon pintar itu baik-baik saja, bahkan tergores juga tidak.
‘Small miracle. Padahal tadi jatuhnya lumayan kencang,’ pikir Valentina.
Diam-diam, hatinya memuji sikap bertanggung jawab si anak kecil yang ada di depannya. Anak lain mungkin akan lari begitu saja.
Jauh di lubuk hatinya, Valentina juga bersyukur, karena berkat anak kecil tersebut, kilasan peristiwa buruk yang tadi terbayang di matanya, lenyap seketika. Berkat anak kecil itu pula, dia kembali ke masanya yang sekarang, tempatnya yang semula. Oh, betapa dia ingin mengucapkan terima kasih dan memeluk anak kecil di depannya ini.
“Nah lho, nah lho! Ivan nabrak si Tante itu dan jatuhin teleponnya si Tante itu. Rasain, dia pasti dimarahin! Sukurin! Sukurin! Yuk, kita aduin ke Mamanya Ivan,” dua orang teman dari anak kecil itu mengoloknya.
Rupanya, tadi itu mereka sedang bermain kejar-kejaran dan anak kecil yang bernama Ivan itu berlari sekencangnya tanpa melihat kiri maupun kanan. Dia berlari lurus saja bak banteng. Akibatnya, dia menabrak Valentina yang juga salah. Ya, tanpa disadari, Valentina sendiri juga berdiri di pertengahan jalan.
Puas mengolok, kedua anak kecil itu berlari meninggalkan Ivan.
“Tante, teleponnya rusak, ya?” tanya Ivan.
Wajahnya semakin pucat saja.
“Nanti Ivan bilang sama Mama ya, biar gantiin teleponnya Tante,” ujar Ivan.
Hati Valentina tersentuh.
Ia membungkukkan badannya, nyaris berjongkok, sehingga tinggi badannya dengan tinggi anak kecil itu menjadi setara. Tangan Valentina terulur. Dibelainya rambut Ivan.
“Enggak. Telepon Tante enggak rusak. Nih, lihat,” Valentina memperlihatkan telepon genggamnya kepada Ivan, membolak-balikkan sisi depan dan belakangnya.
Ivan memperhatikannya dengan cermat melalui mata bocahnya.
“Benar nggak rusak, Tante?” tanya Ivan ragu.
Valentina mengangguk.
“Tapi lain kali, Ivan harus hati-hati ya, kalau mau lari itu, perhatikan jalan. Tante tadi juga salah kok, sedang bengong, jadi tidak sempat menghindari Ivan. Ayo, Tante antar ke Mamanya Ivan. Mamanya Ivan menunggu di mana?” tanya Valentina.
Ivan tidak segera menjawab.
Anak kecil itu justru menatapi wajah Valentina.
“Tante kenapa bengong? Memangnya Tante lagi sedih? Atau Tante melihat sesuatu yang aneh?” tanya Ivan.
Valentina mengernyitkan keningnya.
Menurut Valentina, pertanyaan dan sikap Ivan sungguh tidak lazim untuk anak seusianya. Terlebih, perubahan mimik muka anak kecil yang satu itu demikian cepatnya. Valentina sampai pusing dibuatnya. Mulanya Ivan tampak takut, dan menurut Valentina itu adalah reaksi yang wajar, dari seorang anak kecil yang sadar bahwa dirinya baru melakukan kesalahan. Setelah itu, dalam tempo cepat, anak itu menunjukkan tanggung jawabnya, dengan menyebutkan Mamanya akan mengganti apabila terjadi kerusakan pada telepon Valentina yang dijatuhkannya. Dan sekarang...? Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan anak kecil ini membuat Valentina bingung saja!
“Tante! Tante! Tuh, kan, baru juga Ivan kasih tahu, sudah diulangi lagi. Jangan bengong terus dong! Ivan saja nih, kalau bengong suka dimarahain sama Mama, soalnya Mama bilang Ivan suka ngacau ngomongnya,” kata Ivan dengan gaya mengadu, seperti telah lama kenal dengan Valentina saja. Ia menggoyang-goyangkan telapak tangannya di depan wajah Valentina. Pasti dia meniru bahasa tubuh yang satu ini dari orang dewasa di sekitarnya.
Valentina terpancing untuk tertawa.
‘Anak ini lucu sekali. Unik,’ pikir Valentina.
Hatinya lumayan terhibur.
“Memangnya ngacau bagaimana Ivan?” tanya Valentina.
Tanpa ragu, Ivan segera berjinjit dan membisiki telinga Valentina.
Hanya beberapa kalimat, tetapi tubuh Valentina langsung membeku karenanya.
“Makanya Tante jangan suka bengong, ya. Tante harus banyak berdoa. Nah, itu Mama Ivan sudah manggil-manggil Ivan. Daagh Tante,” ucap Ivan cepat setelah membisiki kalimat-kalimat yang sejatinya bak menghadirkan angin ribut di benak Valentina.
Valentina menatap ke arah yang ditunjuk oleh Ivan. Ada seorang wanita yang ditaksirnya berumur sekitar awal empat puluhan, sedang tersenyum kepadanya. Jarak mereka tiak seberapa jauh, mungkin hanya sekitar sepuluh meter saja.
Wanita itu berjalan mendekati Valentina.
“Ivan,” panggil Wanita itu, lantas mengangguk kepada Valentina.
“Mama...!” kata Ivan.
“Mbak, maaf, tadi kata teman-teman Ivan, Ivan menjatuhkan telepon genggam Mbak? Apakah ada yang rusak? Boleh saya lihat?” tanya Wanita itu.
Valentina tersenyum dan menunjukkan telepon genggamnya.
“Teleponnya baik-baik saja. Enggak ada yang rusak. Saya tadi juga salah kok, berdirinya agak ke tengah,” jelas Valentina.
Wanita itu manggut-manggut.
“Ivan sudah minta maaf sama Tante ini, Ma,” lapor Ivan. Seolah-olah, dia ingin memberi tahu ke sang Mama, bahwa ajaran sang Mama telah diterapkannya dengan baik : kalau salah, harus meminta maaf, dan berusaha memperbaiki kesalahan itu.
Wanita itu mengusap rambut Ivan lalu berkata kepada Valentina, “Sekali lagi mohon maaf ya Mbak.”
“Tidak apa-apa, Mbak,” sahut Valentina pula.
“Nah, sekarang, Ivan bilang apa, sama Tante-nya?” tanya Wanita itu.
“Ivan pergi dulu Tante. Daagh..!” kata Ivan.
“Daagh Ivan,” balas Valentina.
"Ingat yang tadi Ivan bilang ya Tante, jangan suka bengong," sambung Ivan.
Valentina berusaha tersenyum, tetapi senyumnya kaku dan agak nanggung. Apa yang diucapkan Ivan seperti sebuah peringatan saja baginya.
“Hush! Nggak boleh begitu, Ivan. Maaf ya Mbak, Ivan kadang suka begitu. Bicara sama orang dewasa, dianggapnya bicara sama teman sebayanya. Maaf kalau kesannya jadi kurang sopan. Mari, Mbak,” kata Wanita di depan Valentina.
"Valentina menggoyangkan telapak tangannya dan menyahut, "Nggak apa, Mbak."
"Mari," ulang Wanita itu.
“Silakan, Mbak,” sahut Valentina, melepas kepergian Ivan dan mamanya.
Telepon genggam di tangannya berbunyi lagi. Kali ini bukan sekadar panggilan telepon, tetapi panggilan video. Tak perlu harus menerka-nerka pun, Valentina sudah tahu siapa yang mengontaknya.
“Mbak Val, di mana sih? Ketiduran? Kok enggak sampai-sampai? Aku samperin deh ke sana!” begitu Valentina menggulir ikon telepon berwarna hijau, wajah merengut sang Adik beserta keluhannya langsung menyapanya.
“Sabar, Ver. Sudah kamu di situ saja. Ini lagi jalan,” sahut Valentina.
“Nggak percaya deh aku! Coba, arahin kameranya ke sekitar, jangan dimatiin panggiln video-nya, supaya aku tahu, Mbak benar-benar jalan kemari, bukan ke tempat lain,” suruh Veranda.
Valentina mendecakkan lidahnya.
“Ck! Nggak usah konyol, Ver. Sudah ya, tunggu!” uap Valentina, lalu segera mengakhiri panggilan video itu.
Sebuah bayangan berkelebat.
Valentina buru-buru menggoyangkan kepala dengan lelah.
“Sudah. Cukup! Cukup! Sudah terlalu banyak yang menyesaki pikiranku hari ini!” seru Valentina galak.
Orang yang berpapasan dengannya menatap dengan heran.
Pun begitu, Valentina bersyukur.
Dia tahu pasti, apa arti pandangan heran orang itu. Dia memilih tidak memusingkannya.
‘Pasti menganggap aku gila arena bicara sendiri. Biar saja. Setidaknya, aku bersyukur, karena dengan berteriak macam itu, aku nggak terseret lagi melihat yang aneh-aneh,’ kata Valentina dalam hati.
Valentina mempercepat langkahnya menuju area food court.
Ketika kelebatan bayangan itu tak lagi mengganggunya, diam-diam ia bersyukur. Sebuah gagasan hinggap di kepalanya.
‘Oh, jadi begitu caranya? Untuk mengusir bayangan-bayangan yang datang tanpa diundang, aku harus bersikap macam orang gila, bicara sendiri? Ah, kalau itu work out, sebaiknya aku lakukan saja. Nggak apa, sambil aku memikirkan cara lainnya. Kepalaku rasanya sudah penuh, dijejali hal-hal yang sulit untuk aku cerna,’ pikir Valentina.
^* Lucy Liestiyo*^