Valentina mengelap bibirnya dengan tisu basah. Ia baru saja menyudahi makan siangnya.
“Mbak, aku tinggal ke toilet sebentar, ya,” kata Veranda.
Makanan pesanan mereka telah licin tandas, berpindah ke perut mereka.
“Oke,” sahut Valentina ringan.
‘Kebetulan deh. Aku jadi bisa banyak bertanya ke Marvin, selagi dia nggak ada. Marvin ini kan kelihatannya nggak seperti Veranda dan Melo. Kelihatannya dia lebih terbuka, pemikirannya. Andaipun nanti dia berpikir pertanyaanku aneh, ya biar saja. Toh aku bisa dengan mudah menghindarinya besok-besok. Itu hal yang nggak mungkin bisa kulakukan pada Melo dan Veranda, kan? Selamanya, mereka berdua toh akan selalu menjadi bagian penting dari hidupku,’ pikir Valentina.
"Mbak Val enggak kepengen ke toilet sekalian?" tanya Veranda.
"Belum. Kamu tahu tempatnya kan? Atau mau ditemani? Itu lho, dari sini juga kelihatan, ada tulisannya gitu kok," Valentina menunjuk ke satu arah.
"Tahu dong. Lha kemarin sebelum Mbak Val datang, aku sudah sempat ke sini untuk beli Thai tea kan? Ya sudah, Mbak Val sama mas Marvin lanjutkan deh, mengobrolnya. Mbak, tolong pesankan air mineral, ya, buatku. Yang dingin," kata Veranda.
"Oooo, pantas! Ya sudah, nanti Mbak pesankan," sahut Valentina.
"Terima kasih," sahut Veranda.
Valentina mengangguk.
Valentina mengawasi sampai sang Adik lumayan jauh dari dirinya dan Marvin.
Saat ada seorang pelayan yang mendekat dan meminta ijin untuk menangkat piring kotor, Valentina sekaligus memesan air minum untuk mereka bertiga. Pelayan itu segera mengantarkan tiga botol air mineral yang tampak brembun di bagian luarnya.
“Kamu mau tanya apa, Val?” Marvin mengambil inisiatif, mengawali percakapan di antara mereka setelah pelayan yang mengantarkan pesanan mereka berlalu.
Valentina menghela napas.
“Sebetulnya banyak. Eng.., tadi kamu bilang, pernah menempati satu lantai sendirian sekian lamanya. Pernah nggak, mengalami kejadian ganjil?” tanya Valentina.
Marvin menangkap keraguan dalam peranyaan yang dilontarkan gadis itu.
Ia melirik sesaat ke arah toilet, seolah memastikan Veranda masih cukup lama di sana.
Ingin benar dia berkata, “Val, Veranda dan Meisya meragukan kewarasanmu, ya? Biar saja. Nggak perlu dipikirkan. Dari awal aku melihatmu di dalam lift dulu, firasatku sudah mengatakan, kamu bukan orang sembarangan.”
Namun alih-alih menyampaikannya, ia memilih menelan kembali ucapannya itu.
“Val, simply word, ya. Kalau yang kamu pikirkan sama dengan yang aku perkirakan, maka jawabannya adalah iya,” jawab Marvin kalem.
Valentina nyaris tak percaya dengan apa yang diucapkan Marvin. Hatinya nyaris bersorak, merasa ‘menemukan sebuah tempat yang tepat’ untuk berbagi cerita.
“Oh! Oke. Soal yang di kolam renang, pernah ada anak kecil yang meninggal?” tanya Valentina, langsung pada pokoknya.
“Iya. Dan terus terang, lebih dari satu kali,” jawab Marvin.
Valentina terkesima.
“Lebih dari satu kali?” tanya Valentina.
“Sebentar, sebentar. Aku ngomong seperti ini, bukan untuk membuat kamu takut. Val, kadang-kadang memang terjadi kecelakaan di kolam renang. Dan bisa saja berakibat fatal. Tapi kalau yang kamu maksud, adalah yang menimpa Meisya, susah juga untuk komentar. Intinya, setiap tempat itu kan memang ada penunggunya. Jadi ya, pintar-pintarnya kita membawa diri dan menjaga sikap. Meskipun, kadang ada juga ‘penunggu’ yang memang jahil dan suka melukai,” terang Marvin hati-hati.
Valentina yang tengah minum, nyaris tersedak mendengarnya.
Dan anehnya, sebuah gambaran mendadak melintas lagi di depan matanya. Valentina merasa seolah ada pembatas, antara dirinya dengan Marvin. Dia seperti ‘terhisap’ kembali, masuk ke lorong waktu yang entah kapan. Dan lagi-lagi, perannya sama, sebatas menjadi penonton dari sebuah ‘adegan’ yang terjadi di depan matanya.
- Kilas Balik –
“Nah, ini dia kerang yang dari tadi ditunggu. Akhirnya nongol juga. Widiiih aromanya...! Sungguh menggoda. Bikin lidah bergoyang. Ayo, langsung dimakan saja,” ujar Cewek yang mengenakan tank top dan celana pendek itu. Mungkin karena dirinya dalah penggemar sejati dari kerang, dia mengorder dua porsi sekaligus.
“Ayo! Udang pesananku juga sudah melambai-lambai tuh,” sahut temannya, si Cewek berambut pendek.
Mereka berdua segera makan dengan nikmatnya. Porsi pertama dari kerang telah berpindah dari piring ke perut, porsi kedua juga hampir habis. Namun kemudian, si Cewek yang mengenakan tank top merasakan lehernya seperti tercekik. Perutnya terasa mual. Ia berusaha keras untuk menahan rasa mual itu dan meneguk air minumnya dengan terburu-buru. Keadaannya membaik. Pikirnya, rasa seret di tengorokannya pasti akibat ia kurang minum saja. Lantas, dasar bandel, diteruskannya memakan kerang yang tinggal tersisa sedikit di piringnya.
Usai makan, mereka berdua tidak segera beranjak dari situ. Mereka masih mengobrol.
“Aku kok, rada pusing, ya? Dan perutku mual. Apa jangan-jangan, aku keracunan kerang?” tanya si Cewek yang mengenakan tank top.
“Hah? Masa sih?” tanya kawannya dengan mimik khawatir.
“Iya, aku... hoek! Hoek!” si Cewek yang mengenakan tank top rupanya sudah tak sanggup lagi menahan rasa mualnya. Seluruh isi perutnya bagai tertumpahkan semua.
Orang-orang di sekitar mereka menoleh dengan ekspresi wajah yang menyiratkan rasa kesal. Bagaimana tidak kesal? Mereka kan sedang makan! Mereka pasti pikir, kalau merasa mual, mengapa tidak segera menuju ke toilet? Muntah di area makan tentu menyurutkan nafsu makan orang lain, kan? Adapula yang menutup mulut mereka dan kehilangan selera makan, ikut-ikutan merasa mual campur jijik.
“Hei! Astaga! Kamu kenapa?” Cewek berambut pendek bangkit dari duduknya dan hendak menuntun kawannya ke toilet. Dia tahu, orang di sekitar mereka pasti terganggu.
Dia ketakutan melihat wajah kawannya itu mendadak pucat pasi. Dan rasa takutnya segera menjelma menjadi teriakan panik, ketika kawannya pingsan. Semua orang di sekitar mereka gempar.
- Akhir Dari Kilas Balik –
“Val! Valentina! Hei! Val!” Marvin bukan hanya memanggil. Dia menyerukan nama Valentina lumayan keras. Dia juga merasa perlu menyenggol tangan Valentina dua kali, sebab, gadis itu tidak kunjung merespons panggilannya yang entah sudah ke berapa kalinya.
“Haaaah? Apa?” Valentina yang bagai tersentak karena tangannya disenggol Marvin, menggoyangkan kepalanya.
“Ya ampun, lagi-lagi deh!” keluh Valentina lirih.
Dia tak dapat membayangkan, gambaran apa lagi yang bakal terkirim kepadanya, kalau Marvin tidak mengejutkannya.
“Kamu kenapa Val? Kok bengong? Jangan bengong, lah! Jangan terlalu dipikirkan, apa yang aku sampaikan tadi, ya,” kata Marvin.
“Tante, jangan kebanyakan bengong ya!” perkataan Ivan terngiang kembali di telinga Valentina. Ciut hati Valentina karenanya.
“Enggak. Aku cuma..,” Valentina batal melanjutkan apa yang hendak disampaikannya.
“Cuma apa?” tanya Marvin sabar.
Valentina menggeleng cepat.
“Aku mau tanya satu hal lagi deh, Vin, dulunya di area food court ini pernah ada yang keracunan kerang dan pingsan?” tanya Valentina.
Marvin tidak segera menjawab. Seakan hendak menyampaikan sesuatu yang berat, dia meneguk dulu minumannya.
“Yang itu, aku hanya sempat mendengarnya dari orang lain. Itu sudah lama sekali. Sebelum tower ini resmi dibuka. Dan yang makan di food court sini jelas bukan orang dari tower ini. Yang jualan baru sedikit, waktu itu. Dan resto yang menjual sea food itu juga langsung tutup, nggak lama setelah kejadian itu,” jawab Marvin.
“Tapi Cewek itu ketolong, kan?” kejar Valentina.
Marvin diam. Dan diamnya Marvin itu sudah lebih dari satu jawaban bagi Valentina.
“Dia meninggal di tempat? Ngeri sekali,” Valentina setengah bergumam dan melayangkan pandangannya ke seantero area food court.
Marvin paham benar apa yang dirasakan Valentina.
“Enggak kok. Dia sempat dirawat beberapa hari, menurut cerita orang-orang itu. Tapi sudahlah, kamu jangan terlalu kepikiran,” kata Marvin.
“Vin, kamu tahu juga nggak, pernah terjadi peristiwa penusukan di tempat parkir?” enggan menyia-nyiakan momen yang dirasanya pas, Valentina menanyakan hal lainnya.
“Kamu tahu juga? Padahal kamu belum terlalu lama, tinggal di sini,” sahut Marvin.
“Siapa yang cerita ke kamu?” tanya Marvin kemudian.
‘Nggak ada yang cerita. Juga yang barusan aku tanya, soal orang yang keracunan. Bukannya tadi di awal aku sudah bertanya apakah kamu pernah dikasih lihat yang aneh-aneh? Tentunya kamu bisa menyimpulkan, dong. Aku melihatnya, Vin! Aku melihatnya secara langsung. Jadi aku bukan berhalusinasi, kan? Obat penenang nggak akan membantuku, kan?’ Valentina melemparkan kalimat retoris. Tentu saja dalam hati.
“Val, memang sih, bijak kalau kita mau tinggal di suatu tempat terus kita mencari informasi yang jelas. Tapi jangan untuk dijadikan beban pikiran,” kata Marvin.
“Informasi apaan Mas? Kok bisa jadi beban pikiran segala?” tanya Veranda, yang muncul tiba-tiba.
Keduanya serentak menoleh.
^* Lucy Liestiyo *^