Sore hari di kediaman paman ku. Aku termenung di dalam kamar. Ya, malam ini aku sendirian, bibi dan paman masih berada di luar kota. Aku berpikir sejanak, untuk memikirkan cara bagaimana mengambil hak ku kembali. Aku segera mencari cara untuk mencari sertifikat rumah, villa, dan perkebunan teh milik orang tuaku.
Pukul 8 malam, aku jalankan aksiku. Aku mengendap berjalan menuju ke ruang kerja Pamanku. Aku mencari di setiap lemari, tidak aku temukan apa-apa di sana. Aku beralih ke kamar bibi Ros, mataku langsung tertuju pada lemari jati yang kokoh dan klasik itu. Aku buka dan aku cari sertifikat rumahku.
"Tidak ada," ucap ku lirih.
Aku terus mencarinya, hingga aku melihat lemari kecil yang ada di samping tempat tidur bibi. Aku buka dan ku lihat. Hanya ada dokumen-dokumen arsip perusahaan paman, dan tidak ada sertifikat di dalamnya.
"Di mana mereka menyimpannya? Atau jangan-jangan mereka sudah menjual rumah papah?" Aku berkata lirih sambil mengacak-acak lemari dokumen tersebut.
Aku merasa ada seseorang yang masuk ke dalam kamar bibi Ros. Aku terperanjat, melihta dua orang sudah berada di depanku dengan tatapan tajam dan hendak menikamku.
"Oh, rupanya ada maling pah di rumah kita," ucap seorang wanita di ambang pintu kamar.
Aku berdiri dan memberanikan diri menatap orang itu, yang tak lain adalah bibi Ros dan paman Danie. Aku memberanikan diri untuk berbicara pada paman dan bibi, kedua orang yang tamak dan kejam itu.
"Di mana kalian sembunyikan hak ku! Di mana sertifikat rumah, villa, dan tanah perkebunan milik Papah!" Aku berkata seru dan marah di depan mereka.
Aku memberanikan diri berkata kasar kepada mereka. Tiga tahun lamanya akubikut mereka. Tidak ada sedikitpun mereka berbuat baik padaku. Dia hanya memberiku uang secukupnya saja untuk sekolah dan uang saku. Kadang juga tidak cukup untuk sebulan. Beruntung aku memiliki Alleta dan Rosa yang menyayangiku.
"Katakan di mana hak ku!" Aku berkata dengan keras lagi pada mereka.
"Cih, dasar bocah tengik! Kau pikir aku akan memberikan hak kamu, hah? Jangan mimpi bocah kecil, semua aset kekayaanmu milik Rosmerry, adik semata wayang Rhanu, papah kamu yang sangat menyayangimu," kelekar bibi Ros dengan senyuman liciknya di hadapanku.
Bibi Ros mendekatiku, dia terlihat membawa map hijau, dengan langkah tegapnya dia berjalan angkuh mendekatiku. Bibi Ros sebenarnya bibi yang baik sekali, aku tahu, dia terpengaruh dengan Daniel, suaminya yang licik itu. Iya, paman Daniel, dia orang yang sangat tamak, gila harta, dan gila jabatan. Padahal papah sudah memberikan 1 perusahaannya pada Bibi Ros untuk topangan hidupnya. Tapi, karena sifat tamaknya, mereka menjadi seperti ini. Lupa siapa aku, aku anak dari kakak kesayangannya, tapi aku di sia-sia olehnya. Padahal papah sangat menyayangi Bibi Ros. Bibi Ros menunjukan map berwarna hijau yang bertuliskan sertifikat.
"Kamu mau ini, hah!" Tukas bibi sambil menunjukan map berwarna hijau bertuliskan sertifikat kepadamu.
"Kembalikan, milik Dewi, Bibi!" Aku hendak menyahut map itu, tapi bibi Ros langsung menggapit pipiku dengan tangannya.
"Langkahi mayatku dulu, Dewi! Kalau kamu mau ini!" Bibi semakin keras menggapit pipiku, hingga rahangku sakit.
"Bibi, ini hak Dewi!" ucapku sambil menahan sakit rahangku yang masih di cengekeram keras oleh Bibi Ros.
"Anak manis, kalau mau ini, cari tau siapa yang menghandle perusahaanmu itu, karena hingga saat ini masih berjaya," ucap Bibi Ros dan masih menggapit kasar kedua pipiku sambil mencengkeram pipi ku.
"Lepaskan!" Aku menangkis tangan Bibi Ros.
"Oh…rupanya kau sudah berani, bocah tengik!" sarkas bibi Ros di hadapanku.
"Aku tidak akan pernah memberitahu siapa yang di suruh papah menghandle perusahaan papah, Aku tidak peduli, Aku tak peduli kalau bibi mau menjual rumahku, asal tidak mengalihkan perusahaan papah atas nama, Bibi!" ucapku dengan lantang di depan bibi.
"Oh…kamu mau menantang Rosmery, hah?" kelekar bibi ros sambil mencengkeram wajahku kembali.
"Lepaskan! Kita lihat saja nanti, siapa yang akan menag, aku atau bibi!" Aku menangkis kasar tangan Bibi Ros, dan pergi dari kamar Bibi.
Usahaku malam ini sia-sia belaka. Ternyata bibi dan paman sudah kembali, dan dia selalu membawa sertifikat ruamhku ke mana mereka pergi. Aku kembali ke kamar, aku menutup pintu dengan kasar. Aku merebahakan tubuh dan memijit dahiku, rasanya kepala ini mau pecah sekali. Baru kali ini aku marah melampaui batasku. Dan, aku tidak pernah sekadar ini pada orang. Aku sangat kesal dengan perlakuan bibi yang semena-mena, andai saja papah dan mamah masih ada, aku tidak akan menderita seperti sekarang in.
"Papah, siapa sebenarnya yang menghandle perusahaan, papah? Inikah nasib Dewi ,pah? Papah tau? Bibi dan paman memperlakukan Dewi seperti ini, pah. Terlebih Paman Daniel, dia sering melakukan pelecehan seksual pada Dewi. Dewi harus bagaimana, pah, mah?" gumamku sambil memejamkan matanya.
Suara pintu kamarku berderit lirh, aku menoleh ke arah pintu kamarku, ada seseorang yang membuka pintu kamarku. Lagi-lagi aku lupa mengunci pintu kamar. Seorang laki-laki bertubuh kekar masuk ke dalam kamarku dan mengunci pintu kamarku
"Paman! Mau apa paman ke kamar Dewi!" Aku berjingkat dan bangun dari tempat tidurku. Aku menjauh dari paman yang terus mendekatiku.
Paman Daniel mendekatiku, kini dia sudah berada di depanku, menatap wajahku dengan penuh nafsu dan menghempaskan tubuhku, sehingga akh jatuh ke tempat tidur lagi. Paman Daniel langsung menindih tubuhku yang mungil. Aku meronta memukul d**a Paman Danie dengan keras, tapi usahaku sia-sia karena Daniel mencengkram kuat tanganku. Aku janya bisa menangis mendapat perlakuan menjijikan dari pamannya itu.
Paman sudah membuka kancing piyamaku. Dengan sarkasnya, tangan paman menyusup ke dalam bra ku. Aku tidak bisa apa-apa, tangan paman satunya memegang erat kedua tanganku. Aku hanya bisa pasrah dia bermain d**a sintalku. Aku merasakan darahku berdesir, tubuhku semakin menggeliat menahan rasa yang semakin panas menjalar di tubuhku. Jari jemari paman Daniel bermain putingku, memelintir dan sesekali lidahnya menjilat lembut dan bibirnya menyecap payudaraku.
"Ahhh....Lepaskan Dewi, paman!"pekik ku lirih.
"Nikamti saja, sayang, hmmm…slrruupph…" Paman kembali menyantap payudaraku dengan rakus.
"Kita bermain dulu, sayang. Apa kamu mau sertifikat rumahmu itu? Kalau mau, jadilah milikku malam ini, dan sertifikat rumahmu akan kembali ke tanganmu lagi, sayang," ucap paman Daniel dengan lembut sambil membelai pipiku yang mulus itu.
Aku merasa jijik sekali mendapat perlakuan seperti itu dari pamannya. Aku mengumpulkan tenaganya untuk memberontak perlakuan pamannya yang semakin menjadi. Aku tidak bisa seperti ini. Aku tidak boleh lemah.
"Hentikan, paman. Dewi mohon!" Aku meronta saat tangan Daniel sudah mulai bergerilya di tubuhku lagi.
"Aku akan serahkan sertifikat rumah kamu, sayang. Kalau kamu mau melakukan ini dengan cara halus, kita nikmati bersama, Dewi," ucap Paman Danil dengan lembut.
"Lebih baik aku kehilangan harta dan rumah papah, dari pada aku kehilangan mahkotaku,"gumamku dalam hati.
Entah apa yang ada di pikiranku saat itu, hingga aku berani meludahi Paman Daniel saat itu. Paman Daniel melepaskanku karena air ludahku masuk ke dalam matanya. Aku menendang keras kemaluan paman lagi. Tanpa aba-aba Paman Daniel langsung pergi dari kamarku.
"Sialan! Awas kau bocah tengik! aku akan memberi pelajaran kamu yang lebih sakit lagi!" umpat Paman Daniel sambil berlalu pergi dari kamarkj.
Aku menutup pintu kamar rapat-rapat dan mengunci pintunya. Aku menangis histeris mengingat perlakuan paman tadi. Aku merasa jijik dengan diriku sendiri. Dua gundukan sintalku sudah berhasil paman kuasai tadi. Aku menangis, mengerang, dan menjambak rambutku dengan keras. Aku takut, sangat takut. Aku lebih baik kehilangan seluruh hartaku, daripada kehilangan mahkotaku sebagai wanita.
"Malam ini aku harus pergi dari sini, aku tak peduli lagi soal sertifikat rumah, aku takut paman semakin menggila. Daripada mahkota yang aku jaga ini hilang, aku akan pergi dari sini,"gumam ku.
Aku mengambil ponselkh dan menghubungi Angel, dia meminta Angel mencarikan kost-kostan yang dekat dengan sekolahannya. Tapi, aku mengurungkan niatku, karena aku tidak mungkin bisa membayar uang kost.
"Ah…bagaimana aku bayar kost? tabunganku saja sedikit, ini hanya cukup untuk aku bayar sekolah dan makan saja, apa aku harus bekerja?" Aku memikirkan lagu, harus bagaimana malam ini, dan aku harus pergi ke mana. Aku tidak tahu.
Aku mengurungkan niatku untuk menelepon Angel, aku memilih pergi ke sekolahan, untuk menemui seseorang yang dekat denganku, dan sering sekali aku curhat dengan orang tersebut. Mbok Sanem, pemilik kantin di sekolahanku, yang sering sekali mengajakku berbicara, bahkan aku sering sekali curhat dengannya mengenai masalah kehidupanku
"Iya, aku lebih baik ikut Mbok Sanem, beliau yang selalu mengerti aku, aku harus ke sana, menemuinya," ucapku lirih.
Aku segera menata baju-bajun dan buku-buku ku. Hanya Mbok Sanem satu-satunya harapanku saat ini. Sebenarnya Mbok Sanem sudah menyuruh aku untuk tinggal di rumahnya. Namun, aku tidak enak kalau merepotkan beliau. Karena beliau sudah tua, jadi aku tidak enak ikut dengannya dan menolaknya.
Mbok Sanem tinggal sendirian di rumah kecil dekat sekolahanku. Dia memiliki kantin yang cukup ramai, dan memiliki satu orang pelayan yaitu Bi Noni. Anak-anak Mbok Sanem ikut suaminya semua di luar kota. Dan suami Mbok Sanem sudah meninggal 5 tahun yang lalu. Aku keluar dari kamarku, aku berjalan mengendap. Saat di rasa sudah aman, aku segera keluar lewat pintu belakang.