Semilirnya angin malam menusuk ke celah pori-pori kulitku. Aku mengusap lenganku, karena hawa dingin semakin terasa. Sunyi dan senyap pun turut mengiringi langkahku menuju ke rumah Mbok Sanem. Jalan menuju rumah Mbok Sanem memang tidak di lalui angkutan umum. Beruntung tadi masih ada angkutan yang mau mengantarkan aku sampai di ujung jalan.
Tidak ada seseorang yang melewati jalan ini. Hanya aku, yang di temani rasa dingin dan suara hewan malam yang bersahutan. Sebenarnya aku tidak ingin pergi dari rumah Bibi. Tapi, bagaimana aku bisa bertahan di sana, bersama orang-orang yang selalu membuat aku ketakutan? Aku ingat waktu pertama masuk ke rumah bibi. Rasanya begitu tentram, bibi juga masih bersikap baik padaku. Namun, setelah paman yang bertingkah, bibi mengikutinya. Menjadi membenciku, dan menjadi tamak.
Bibi Ros sebenarnya wanita yang baik, lemah lembut, dan penyayang. Tapi, entah kenapa saat paman Daniel kepergok selingkuh dengan sekretarisnya, bibi menjadi kasar, pemarah, dan ingin sekali mengambil semua milikku. Aku tahu, bibi seperti itu karena pengaruh dari paman. Sifat tamak itu bibi peroleh dari paman Daniel. Dan, aku yakin itu. Bibi menjadi seperti itu karena paman yang medoktrinnya.
Rumah mbok Sanem sudah terlihat, rumah tua itu nampak bersih sekali. Halaman rumahnya juga sangat bersih, kursi-kursi di teras juga terlihat jauh dari debu. Walaupun Mbok Sanem tinggal sendiri, beliau tetap menjaga kebersihan rumahnya. Dan tentunya kebersihan makanan yang beliau jual di kantin. Anak-anak Mbok Sanem tinggal di kota, mereka semua sudah berkeluarga, dan pulang ke rumah ini hanya setahun sekali, kalau hari raya idulfitri saja.
Rumahnya terlihat sepi, sepertinya Mbok Sanem sedang pergi, mungkin mbok Sanem sedang pergi ke luar rumah. Karena aku sudah mengetuk pintunya sebanyak 3 kali belum juga ada sahutan dari dalam rumah Mbok Sanem. Tapi,ini sudah hampir jam 9 malam. Dan akhirnya aku mengetok pintu rumah mbok Sanem lagi.
"Tok….tok….tok…." Tiga kali lagi aku sudah mengetuk pintu rumah Mbok Sanem, dan hasilnya masih tetap saja, tidak ada sahutan dari dalam ruang Mbok Sanem.
Aku mendudukan diriku di kursi. Kuletakan tas jinjing ku di sebelahku, dan tas ranselku, aku pangku. Sambil menunggu mbok Sanem, aku membuka ponselku. Memandangi potret ku dulu sewaktu bersama keluargaku. Papah, mamah, dan Devan, mereka harta yang paling berharga dalam hidupku. Dan, kini mereka sudah tenang di surga bersama Tuhan.
"Semoga Tuhan memberikan kedamaian di surga, Mah, pah, Dev. Dewi di sini baik-baik saja, dan Dewi janji akan menjaga semua peninggalan papah, akan merebut kembali semua hak Dewi. Tapi, maaf. Malam ini Dewi sedikit menyerah, Dewi pergi dari rumah bibi, Pah. Dewi takut, jika tetap di sana Dewi bisa mepertahankan hak Dewi, tapi Dewi tidak bisa mempertahankan kehormatan Dewi sebagai perempuan, dan itu wasiat dari mamah, karena sebaik-baiknya perempuan, adalah perempuan yang bisa menjaga kehormatannya. Karena itu, Dewi pergi dari rumah bibi, pah, mah. Dewi janji akan mencari cara lain, agar Dewi bisa merebut hak Dewi kembali." Aku merenung, berkata dalam hati, dan mengingat semua tentang papah, mamah, dan adikku Devan.
Aku sendirian, kali ini aku benar-benar sendiri. Aku masih membuka potret dahulu di ponselku. Dan aku melihat pria tampan di sebuah potret. Pria itu adalah Mas Adrian. Pria yang aku kenal saat aku berada di kota kelahiranku. Villanya bersebelahan dengan Villa papah. Dan papahnya Mas Adrian sahabat papah. Tapi, aku lupa siapa nama orang tua Mas Adrian. Aku memang memanggilnya dengan sebutan Mas. Karena mamah yang mengajariku memanggil dia Mas.
Entah di mana dia sekarang, yang jelas nama Adrian masih melekat di hatiku hingga saat ini. Aku mengenalnya saat aku kelas 1 SMP. Mas Adrian waktu itu kelas 3 SMA. Saat berada di sana kami memang sedang liburan semester 1. Dua minggu kami bersama, saling mengenal, dan menjadi akrab selama 2 minggu itu. Mas Adrian orang yang baik, sangat tampan sekali. Dia selalu bersikap manis dengan ku, menjagaku, dan saat akan berpisah banyak sekali pesan yang ia katakan padaku.
Ya, saat itu, kami mengikat janji. Mas Adrian berjanji, jika di pertemukan kembali, dia berjanji akan menjadikanku sebagai permaisuri di kerajaannya. Dia mengatakan mencintaiku, dan akan selalu menunggu saat yang tepat untuk menjadikanku sebagai permaisurinya. Tapi, semua itu sudah berlalu.Bl Sekarang, sudah betahun-tahun aku tidak bertemu dengan dia. Aku tidak tahu dia di mana. Apakah dia masih ingat aku, dan masih ingat janjinya padaku? Aku tidak tahu semua itu lagi. Yang terpenting, aku masih setia menjaga janjiku, dan masih menjaga kehormatan ku hanya untuknya.
Aku menyadari lamunanku, aku melihat seseorang yang aku kenal, berjalan dengan membawa dua kantong plastik. Sepertinya orang tersebut baru saja berbelanja. Ya, orang itu adalah Mbok Sanem, beliau membawa dua kantong plastik dari toko sembako yang tak jauh dari rumahnya. Aku lega sekali bisa bertemu dengan Mbok Sanem malam ini.
"Mbok, syukurlah..aku kira Mbok sudah tidur." Aku berjalan dengan cepat menghampiri Mbok Sanem dan mengambil alih kantong plastik dari tangan Mbok Sanem.
"Non Dewi, non sedang apa malam-malam, di sini? Non habis nangis?" Mbok Sanem mengeluarkan beberapa pertanyaan padaku.
Aku hanya menundukan kepalaku saja dan tidak menjawab pertanyaan Mbok Sanem.
"Non, apa paman non Dewi macem-macem lagi dengan Non?"tanya Mbok Sanem lagi.
"Mbok, ceritanya panjang." Aku menghela napas dengan berat, beban hidupnku laki ini sungguh terasa semakin berat.
"Ya sudah, ayo masuk dulu," ajak Mbok Sanem.
Mbok Sanem mempersilahkan aku masuk dan duduk di ruang tamu. Rumah Mbok Sanem sederhana dan terlihat rapi sekali. Walaupun hanya mbok Sanem saja yang tinggal di rumahnya, tapi rumahnya terlihat sangat rapi sekali.
"Non mau minum apa?" tanya Mbok Sanem.
"Ak belum haus, Mbok. Mbok, Dewi malam ini mau merepotkan Mbok Sanem, bolehkah Dewi tinggal di sini, mbok? Sampai Dewi lulus sekolah. Dewi akan membayar sewa kamar di sini, Mbok. Dewi juga akan membantu mbok di kantin," ucapku dengan menundukkan kepala, sungguh aku tidak enak sekali harus merepotkan beliau.
"Non, dari dulu mbok selalu menyuruh non tingga di sini, tapi non tidak mau. Untuk apa menyewa kamar di sini? Mbok malah senang ada teman di rumah, Non. Tinggalah di sini, mbok juga resah kalau non tetap di rumah paman, non," ucap Mbok Sanem.
"Iya, mbok. Lebih baik Dewi kehilangan harta dan rumah Dewi, daripada Dewi harus kehilangan kehormatan Dewi sebagai wanita, mbok,"ucapku pada Mbok Sanem.
"Ya sudah, mbok siapkan kamar untuk non. Tapi kamarnya sempit, non. Tidak apa-apa, kan?" ucap Mbok Sanem.
"Iya mbok, sekali lagi terima kasih," ucapkhlu sambil ikut masuk ke kamar untuk membantu Mbok Sanem menatakan tempat tidur untukku.
Aku menata barang-barang bawaankh di kamar yang sudah di siapkan oleh Mbok Sanem. Meskipun kamarnya kecil, tapi begitu nyaman dan damai. Aku sudah tidak khawatir lagi tidur tanpa mengunci kamar, dan malam ini aku bisa tidur dengan nyenyak. Tanpa memikirkan ada seorang laki-laki yang aka menjamah tubuhku atau tidak malam ini.
^^^^^
Pagi hari, aku mendengar suara seseorang dari dapur. Suara kegiatan seperti orang yang sedang memasak. Aku regangkan otot-ototku yang kaku. Malam ini aku bisa tidur dengan pulas dan nyaman, walau di kamar yang kecil dan kasur seadanya. Aku mengambil sisir dan menyisir rambutku dan mengikat rambutku berbentuk bun. Aku keluar dari kamarku dan bersiap untuk membantu Mbok Sanem memasak. Aku melihat Mbok Sanem sudah sibuk memasak di dapur. Dapur yang kecil, tapi terlihat sangat rapi. Ya, Mbok Sanem sangat mencintai kebersihan. Di kantin pun terlihat sangat bersih tempat untuk masaknya.
"Mbok, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku pada Mbok Sanem.
"Non, tidak usah, ini sudah selesai, non. Non sarapan dulu, gih. Mbok sudah siapkan sarapan," titah Mbok Sanem.
"Mbok, aku pengen bantu mbok, maaf ya Mbok, aku merepotkan Mbok." Aku berdiri di samping Mbok Sanem yang baru saja mencuci sayuran hijau, yang aku yakin, sayuran itu akan di bawa ke kantin untuk campuran Mi Rebus, Mi Ayam, dan bakso.
"Non, jangan seperti itu, mbok malah senang ada Non di sini, mbok tidak kesepian lagi," ucap nya.
"Ayo sarapan, mbok sudah selesai, kita sarapan bersama," ajak Mbok Sanem.
Aku dan Mbok Sanem sarapan bersama. Aku merasa nyaman tinggal di rumah Mbok Sanem yang sederhana tapi menentramkan hati. Pagi ini, esok dan seterusnya Aku akan tinggal bersama Mbok Sanem, karena Mbok Sanem menginginkan Aky tetap berada di rumahnya.
^^^^^
Seusai sarapan, aku bersiap-siap ke sekolahan, aku sudah tidak merasa gugup dan pusing lagi mencari angkot atau taxi untuk ke sekolahanku. Sekarang hanya dengan berjalan kaki 10 menit aku sudah sampai di depan pintu gerbang sekolahanku. Aku berangkat dengan Mbok Sanem, aku membantu Mbok Sanem membawakan beberapa dagangannya yang akan di bawa ke kantin. Dengan sedikit cerita-cerita pada zaman dulu, di mana Mbok Sanem masih berkumpul bersama anak-anaknya. Senyum bahagia terlihat di wajah Mbok Sanem saat beliau bercerita tentang anak-anaknya yang sekarang hidup dengan suaminya.
Ternyata, seperti ini, jika orang tua sudah selesai tugasnya mengurus anak-anaknya. Dan, sekarang beliau tinggal sendiri. Anak-anaknya kini tinggal dengan suami di kota. Tanpa mereka tahu, Mbok Sanem di sini mengais rezeki sendiri. Aku semakin sadar, jika semua yang ada akan pergi. Entah itu akan kembali lagi atau tidak.
"Dewi…!" panggil seorang siswa laki-laki dari belakangku.
Aku menoleh ke belakang, aku melihat Faisal sedang mengendarai sepeda motornya. Faisal melambatkan sepeda motornya dan berjalan mengiringiku dan mbok Sanem.
"Kamu kok dengan Mbok Sanem?" tanya Faisal.
"Emmm…aku sekarang tinggal di rumah Mbok Sanem, Sal," jawabku.
"Di rumah Mbok Sanem?" tanya Faisal setengah tidak percaya.
"Iya," jawabku dengan tegas.
"Kok bisa?" tanya Faisal lagi.
"Ceritanya panjang, Sal," ucapku
Faisal mengiringiku yang sedang berjalan hingga masuk ke dalam sekolahan. Pak Indro si satpam garang menyambutku dengan senyuman ramah. Mungkin karena aku berangkat sekolah sepagi ini. Biasanya aku setiap hari pasti berangkat paling akhir. Itu semua karena angkot yang aku tumpangi kadang lama di pangkalan. Akhirnya aku terlambat dan berdebat dulu dengan Pak Indro kalau mau masuk ke dalam.