5. Menjauh

1060 Words
“Mas Varo, maaf, ini kita pulangnya kalau mampir dulu ke masjid yang kemarin bagaimana mas? Sekalian bertemu dengan Ustad Ridho. Kata beliau waktu itu kan biar tuntas, diperlukan beberapa kali ruqiyah.”  Varo yang sedang melamunkan entah apa, akhirnya memusatkan perhatian pada Pak Tegar. Dia hanya mengangguk saja, tidak mau menjawab. Ditolehnya leher ke sisi kiri jendela. Tampak jalanan yang semakin mengoyak memorinya. Perlahan namun pasti, kepingan memori itu hadir, menguasai pikirannya.  Bapak… bapak…. gendong… Bapak gendong aku!! Suara jeritan anak kecil kembali terdengar. Varo menggelengkan kepalanya. Kilasan-kilasan memori singkat kembali bersliweran di kepalanya. Varo melihat siluet seorang anak perempuan yang berlari menuju ke arahnya dan minta digendong dengan manja. Di belakang anak perempuan itu, ada seorang perempuan muda yang tersenyum lembut menyambut kedatangannya.  “Aaargh…” Varo memegang kepalanya yang mendadak kembali berputar. Rekaman adegan demi adegan seperti berebut ingin menguasai otaknya.  Apa yang terjadi padaku? Kenapa sungguh sulit aku mengingat masa laluku? Varo menjambak rambutnya, frustasi karena pusing yang mendera dan keinginan untuk segera tahu apa yang terjadi padanya.  “Mas Varo, kenapa?” Sang supir bertanya sopan walau terlihat kepanikan padanya.  “Aah gak papa pak, segera saja kita ke masjid itu. Saya ingin segera menuntaskan ruqyah ini pak. Jadi saya bisa segera bertemu istri dan anak saya. Bertemu Padma dan Yasmin.” Pungkas Varo dengan kepala masih terasa sangat pusing.  Pak Tegar, si supir kepercayaan segera melajukan mobil sedan mewah itu ke arah masjid yang mereka kunjungi kemarin.  “Apakah Mas Varo ingat g**g kecil di sebelah masjid?” Tanya Pak Tegar, sesaat setelah dia memarkirkan sedan itu. Telunjuknya menunjuk ke g**g kecil sebelah masjid. Varo melihat ke arah g**g kecil itu. Sekilas, kilatan akan masa lalu kembali hadir menyergap.  Varo diam saja, merasa ragu. Ingat tapi tidak. Tidak ingat tapi terasa familier.  “Dulu, sebelum Mas Varo tinggal di rumah besar itu, Mas dan Mbak Padma serta Yasmin, tinggal di rumah kontrakan di belakang masjid ini. Masuk melalui g**g ini Mas, melewati tukang bakso dan warung Mpok Mimin.” Jelas Pak Tegar, dia belum mematikan mesin mobil sedan itu.  Dilihatnya dari spion tengah, mata Varo yang mulai berubah merah. Tubuhnya sudah bergerak gelisah, bahkan Pak Tegar tahu, Varo mencengkeram erat jok mobil mahal itu, hingga menimbulkan kerutan di jok berbahan kulit asli itu. Bulir keringat sebesar jagung sudah membasahi wajah tampan bos mudanya, wajah dan mata yang memerah, membuat Varo terlihat sungguh berbeda dari biasanya.  “Mas Varo, sebentar lagi adzan magrib berkumandang. Mas Varo mau menunggu di mobil atau mau ikut saya sholat berjamaah di masjid?” Tanya Pak Tegar dengan nada yang sangat halus. Tapi nyatanya dia mendapatkan balasan desisan, yang bahkan sempat membuatnya beristighfar.  “Astagfirullah… Mas Varo, sadar Mas, sadar!” Pak Tegar berusaha mengembalikan kesadaran Varo. Lelaki muda tampan di depannya sungguh sangat berubah sekarang. Tak mau kehilangan kesempatan, segera Pak Tegar keluar mobil dan berlari mencari keberadaan Ustad Ridho. Bersyukur dia tadi sempat menelpon Pak Ustad memberi kabar bahwa dia akan mampir. Nyatanya, tidak mudah mencari keberadaan Pak Ustad, butuh waktu baginya hingga bisa bertemu dan membawanya untuk menemui Varo.  “Hei… hei… Ada apa ini ribut-ribut?” Tanya Ustad Ridho melihat kerumunan orang di halaman depan masjid.  Pak Tegar segera menyeruak kerumunan yang ada, demi melihat sosok lelaki yang menjadi tontonan adalah si bos.   “Sudah-sudah bubar! Sebentar lagi adzan magrib berkumandang, cepat kalian ambil wudhu dan bersiap sholat magrib berjamaah. Bubar!! Hus… hus.…” Ustad Ridho seperti mengusir kucing nakal yang hendak mencuri ikan. Tangannya melakukan gerakan mengusir.  “Eeh… kecuali kalian, Hasan dan Agus, tunggu di sini! Bantu bapak untuk sebentar.”  Kemudian segera mereka berempat mengelilingi Varo. Varo sendiri memasang kuda-kuda bak petarung dengan jurus harimau. Ustad Ridho hanya dapat menggelengkan kepalanya. Dari bibirnya segera saja terlantun ayat suci Al Qur’an. Ustad Ridho berjalan perlahan mendekati Varo, tentu saja Varo menggeram marah. Tidak sudi didekati oleh si ustad. Ternyata tujuan Ustad Ridho hanyalah menyentuh pundak Varo saja. Sedikit ditekan, tapi Varo merasakan kesakitan yang luar biasa.  Varo menggeram, berteriak marah dan kesal. Tapi entah kenapa dia tidak mampu untuk menghindari Ustad Ridho.  “Sebentar lagi adzan magrib. Kalau kamu belum bisa sholat berjamaah bersama kami, tunggulah di sini dengan tenang. Jangan ke mana-mana! Mengerti?!” Suara pelan namun tegas dari sang ustad membuat Varo terpaku.  Ustad Ridho melihat perubahan warna mata lelaki muda tampan di depannya itu. Saat ini lelaki itu mengangguk, dan warna matanya laiknya orang norma pada umumnya, hanya tampak sayu. Tapi tak lama kemudian, mata itu memerah, dan mulai menggeram marah. Tiada kata yang terucap dari mulut Varo, hanya geraman dan desis-an saja. Terutama saat muadzin mulai mengumandangkan suara merdunya, melafazkan adzan magrib, sebagai penanda agar umat muslim menjalankan kewajibannya, sholat magrib berjamaah.  Hasan dan Agus memegang erat tangan kanan dan kirim Varo, sesaat setelah Ustad Ridho memberi kode pada mereka. Varo berusaha menarik tangannya yang dipegang erat dua pemuda itu. Dia ingin menutup telinganya agar tidak perlu mendengar suara merdu dan lantang sang muadzin yang masih saja mengumandangkan adzan.  “Hhhh… hhhh…. leee….. passss!!!” Tapi apa daya, Varo semakin tidak mampu menarik tangannya, saat Ustad Ridho kembali menekan pundaknya, memintanya untuk tenang.  “Nak Varo, adzan sedang berkumandang, mari kita dengarkan dulu. Kalau lupa doa menjawab adzan, lebih baik diam dan dengarkan! Terutama untuk kalian yang ada di dalam tubuh Varo! Diam dan dengarkan adzan itu!”  Brruuugh… tubuh Varo terduduk lunglai di pelataran masjid. Adzan sudah usai berkumandang. Matanya sudah kembali normal, dia sangat lemas, bingung dengan apa yang terjadi padanya.  “Gimana Mas Varo, apa yang tadi Mas rasakan?” Tanya Ustad Ridho sembari menunggu iqomah berkumandang.  “Aaagh entahlah Pak Ustad, sesuatuuu… sesuatu dari tubuh saya seperti ingin keluar, memaksa untuk keluar dan menantang Pak Ustad berkelahi. Apa itu Pak Ustad? Saya tidak gila kan?” Tanya Varo lemah. Diterimanya handuk kecil yang diberikan Pak Tegar padanya.  “Tidak nak, tapi kamu harus bersabar ya. Semua butuh proses, apalagi yang ada di dalam jiwa dan raga Mas Varo itu, tidak hanya satu, tapi ada beberapa. Jadi semakin lama proses untuk membuang mereka semua Mas.” Jelas Ustad Ridho dengan senyum terkembang.  “Beberapa? Maksud bapak apa dengan beberapa?” Varo heran. “Iya, tubuh Mas Varo menjadi sarang bagi beberapa makhluk yang seharusnya tidak berada di situ. Maaf Mas Varo, iqomah sudah berkumandang. Saatnya bagi kami untuk sholat berjamaah. Mas Varo silakan menunggu dulu ya, kita akan mengobrol lagi nanti.” Kemudian Ustad Ridho, Hasan, Agus dan Pak Tegar, meninggalkan Varo dan beranjak menuju masjid untuk sholat magrib berjamaah.  Varo menatap nanar sekelilingnya. Tentu saja tubuh, terutama kepalanya terasa panas dan akan semakin merasa panas jika tetap memutuskan berada di situ. Hingga kemudian dia berdiri, kakinya melangkah ke luar masjid, kemanapun itu dia tidak peduli. Asalkan menjauh dari rumah Tuhan ini! Itu yang terutama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD