Chapter 6

1037 Words
"Pak Ethan, saya pergi ke toilet sebentar, ya?" pamit Reyn dengan nada suara rendah ketika Ethan tengah berbincang-bincang dengan klien kerjanya yang juga hadir di pesta tersebut. Ethan menoleh ke arah Reyn, dan mengangguk kecil tanpa mengatakan apa pun. Dan setelah Reyn pergi, Ethan menoleh ke arah Reyn dan memperhatikannya sampai punggung Reyn sudah tidak terlihat lagi. Setelah selesai buang air kecil dan mencuci tangan, Reyn kemudian keluar dan berjalan menuju aula pesta. Tetapi baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba ada seseorang yang menarik tangannya kasar dan memojokkannya ke dinding. "Akh!" pekik Reyn meringis kesakitan saat kepala dan punggung belakangnya membentur dinding cukup keras. "Kamu ngapain datang ke sini dengan laki-laki itu?" tukas Juna tajam. Reyn tersenyum getir sembari menatap Juna dengan tatapan lurus ke depan. "Apa aku juga tidak pantas datang ke pesta mewah seperti ini?" balasnya dengan raut wajah yang tidak bisa ditebak. "Kamu tau di sini banyak orang," desis Juna dingin. "Terus apa hubungannya? Kenapa Kakak sangat khawatir? Kalau Kakak malu mengakui aku sebagai saudara, cukup abaikan aku saja. Kakak hanya perlu berpura-pura tidak mengenal aku, dan menganggap aku sebagai orang asing seperti yang selama ini Kakak lakukan," pungkas Reyn. Meskipun Reyn tampak tegar, tetapi sorot matanya tidak bisa berbohong. Ada kesedihan di dalamnya yang tidak bisa dia tutupi. Sedangkan Juna hanya diam menatap Reyn dengan tatapan lurus. "Tanpa perlu dikasih tau, aku sudah tau posisi aku di mana. Dan aku juga sadar kalau aku tidak pantas jadi saudara Kakak. Jadi Kakak tidak perlu cemas aku akan mengganggu hidup Kakak," ujar Reyn. "Bukan itu maksud—" "Tenang saja, aku akan menjaga nama baik Kakak. Aku tidak akan bilang kepada siapa pun kalau kita saudara," potong Reyn dingin dan berlalu pergi meninggalkan Juna. "Reyn ...." Reyn terus berjalan menjauh dari Juna dengan perasaan yang bercampur aduk. Tidak peduli berapa kali Juna memanggilnya, Reyn tetap tidak menoleh ke belakang. ***** "Kamu kenal dengan laki-laki itu?" tanya Ethan tenang sembari melirik ke arah Juna yang sedari tadi terus memperhatikan Reyn. "Dia kakak tiri saya," sahut Reyn pelan sembari menunduk. "Kalau begitu, kenapa kalian berdua tidak saling menyapa?" tanya Ethan lagi. "Hubungan kami tidak terlalu baik," jawab Reyn ringan dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. "Ah, i see," balas Ethan singkat seakan dari awal sudah mengetahui jika hubungan Reyn dengan kakak tirinya tidak terlalu baik. "Ternyata itu yang membuat kamu kelihatan tidak nyaman," imbuhnya ringan. Reyn menoleh ke arah Ethan. "Saya benar, kan?" tukas Ethan tersenyum tipis saat bisa mengetahui isi hati Reyn. Sedangkan Reyn hanya menunduk. Ethan kemudian melirik ke arah jam tangan. "Ayo pulang," ajaknya ringan. "Sekarang?" tanya Reyn polos. "Kenapa? Kamu masih ingin di sini?" tukas Ethan balik. Reyn menggeleng pelan. "Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayo pulang." "Tapi sepertinya di sini masih banyak tamu yang ingin mengobrol dengan Anda," ujar Reyn dengan nada suara rendah. "Biarkan saja, lagipula mereka hanya membicarakan hal yang tidak berguna," pungkas Ethan tak peduli. "Aku juga sudah bosan, jadi lebih baik kita pulang saja. Ditambah lagi, kamu juga kelihatan tidak menikmati pesta. Jadi untuk apa kita tetap berada di sini?" imbuhnya. Reyn hanya diam dan tidak membalas ucapan Ethan. "Ayo," Ethan menggandeng tangan Reyn dan membawa Reyn keluar dari gedung pernikahan sembari tersenyum miring ke arah Juna yang juga tengah menatap ke arahnya dengan tatapan tajam. Ethan memang sengaja menggandeng tangan Reyn karena ingin mengetes Juna. Hanya dengan melihatnya saja, ia sudah bisa mengetahui jika pria itu memiliki perasaan terhadap Reyn. Dan hal itu semakin diperkuat dengan reaksi Juna yang tampak tidak suka saat melihat Reyn bersama dengan dirinya. Sesampainya di tempat parkir, Ethan melepaskan tangan Reyn dan masuk ke dalam mobil lebih dulu. Sedangkan Reyn tampak terdiam ketika Ethan tiba-tiba melepaskan tangannya begitu saja. Seperti ada perasaan aneh yang bergelenyar di sudut hati Reyn. Dia kemudian melirik ke arah telapak tangannya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Kamu tidak ingin masuk?" tukas Ethan dari dalam mobil saat mendapati Reyn hanya berdiam diri di luar. Reyn seketika tersadar dan langsung masuk ke dalam mobil saat mendengar suara Ethan. "Apa yang kamu pikirkan sampai melamun begitu?" pungkas Ethan ringan sembari menyalakan mobil setelah Reyn memakai sabuk pengaman. "Emm, bukan apa-apa," sahut Reyn. "Apa itu ada hubungannya dengan kakak tiri kamu?" tanya Ethan. Reyn menoleh ke arah Ethan sembari mengernyitkan dahi heran. "Kenapa Anda tiba-tiba membahas tentang dia?" "Karena kamu berubah menjadi sangat pendiam dan aneh setelah bertemu dengan kakak tiri kamu. Jadi saya kira itu yang mengganggu pikiran kamu sampai membuat kamu melamun," jawab Ethan tenang. "Tidak, saya tidak sedang memikirkan dia," tutur Reyn dengan nada suara rendah. "Oh," gumam Ethan. "Apa hubungan kalian berdua memang seburuk itu?" sambungnya. Reyn terdiam untuk beberapa saat. "Lupakan saja, kamu tidak harus menjawab pertanyaan saya," kata Ethan ringan saat menyadari Reyn tampak kesulitan menjawab pertanyaan darinya. "Sejak awal hubungan kami memang sudah sangat buruk. Bahkan sekarang menjadi jauh lebih buruk setelah ibu dan ayah tiri saya meninggal," ungkap Reyn tanpa ekspresi. "Walaupun saya sudah berusaha mengakrabkan diri dan bersikap baik dengan dia, tapi dia tidak pernah menganggap saya sebagai keluarganya," imbuhnya. "Jadi itu yang membuat kamu selalu berubah murung setiap kali membicarakan tentang dia?" tukas Ethan. Tatapan Reyn tiba-tiba melemah. "Mungkin karena dulu saya berharap kami bisa dekat sebagai saudara. Tapi ternyata kenyataan berkata tidak. Jadi itu yang membuat saya sedikit merasa sensitif setiap kali membicarakan tentang kakak tiri saya. Karena hal itu semakin mengingatkan saya tentang hubungan kami yang sekarang justru semakin merenggang." "Mungkin suatu saat nanti hubungan kalian berdua bisa membaik," ujar Ethan dengan nada suara tenang. Reyn menggelengkan kepala pelan sembari tersenyum getir. "Sampai kapan pun itu tidak akan pernah terjadi. Karena dari awal dia tidak pernah menyukai keberadaan saya. Dan saya hanyalah orang asing bagi dia," pungkasnya dengan tatapan menerawang jauh ke depan. "Tidak ada yang tidak mungkin. Bisa saja kedepannya kalian berdua menjadi dekat," sahut Ethan. "Tapi itu terdengar mustahil," sanggah Reyn. "Mungkin dia butuh waktu untuk menerima kamu," kata Ethan. "Entahlah, saya rasa seratus tahun pun tidak akan bisa membuat dia menerima kehadiran saya. Karena dari awal dia tidak pernah mengharapkan saya masuk ke dalam keluarganya," pungkas Reyn miris. "Kamu tidak tau isi hati seseorang. Walaupun sekarang dia menolak kamu, bisa saja nanti perasaannya berubah," ucap Ethan. Reyn hanya tersenyum kecut dan tidak membalas ucapan Ethan. TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD