Selepas selesai menyiapkan bekal makan siang untuk Ethan, Reyn berjalan menuju garasi untuk mengeluarkan mobil. Walaupun ia senang karena Ethan dengan baik hati bersedia meminjamkan mobil untuknya. Tetapi di satu sisi ia juga merasa tidak enak hati. Karena mobil yang dipinjamkan Ethan bukanlah mobil sembarangan. Semua koleksi mobil Ethan di garasi adalah mobil mewah yang memiliki harga fantastis. Itulah kenapa ia sedikit cemas dan gelisah saat ingin memakainya. Karena ia takut jika sampai menggores mobil tersebut.
Reyn menarik napas panjang dan membuangnya perlahan setelah masuk ke dalam mobil. Dia kemudian memakai sabuk pengaman dan berusaha menenangkan diri agar tidak terlalu gugup saat mengendarai mobil Ethan. Setelah merasa dirinya cukup tenang, Reyn akhirnya mulai menyalakan mobil dan melajukannya dengan hati-hati.
Setelah cukup lama menghabiskan waktu di perjalanan, akhirnya Reyn tiba di kantor Ethan. Dia keluar dari mobil dan melangkah memasuki kantor. Lalu menghampiri meja resepsionis dan menanyakan ruang kerja Ethan.
Resepsionis itu pun menjawabnya dengan ramah. Reyn tersenyum dan mengucapkan 'Terima kasih' sebelum naik ke dalam lift menuju ruangan Ethan.
Reyn mengetuk pintu dengan sopan saat berada di depan pintu ruang kerja Ethan. Lalu dia menekan ganggang pintu dan mendorongnya pelan setelah mendengar sahutan dari dalam. Reyn masuk dan mendapati Ethan tengah sibuk dengan layar komputernya.
"Bekalnya saya taruh di meja sini ya, Pak?" ujar Reyn sopan sembari meletakkan bekal di atas meja kaca yang berada di ruang kerja Ethan.
Ethan seketika mengalihkan pandangannya ke arah Reyn. "Kamu hanya bawa satu?" tukasnya singkat saat melihat Reyn hanya membawa satu paket tempat makan.
"Iya," jawab Reyn sedikit merasa bingung.
"Kamu tidak bawa bekal untuk kamu sendiri?"
"Ah, saya makannya nanti setelah pulang dari sini," sahut Reyn ringan.
"Lain kali bawa bekal untuk kamu juga. Jadi kamu bisa makan di sini dan tidak perlu menunggu sampai pulang. Memang terlihat sepele, tapi nyatanya justru banyak orang yang mengalami masalah perut karena sering terlambat makan," pungkas Ethan dengan raut wajah tenang sembari beranjak dari kursi kebesarannya dan berjalan menuju sofa setelah mematikan komputer.
Reyn terdiam sejenak menatap Ethan yang tampak seperti seorang kakak yang peduli dengan adiknya. Tanpa sadar seutas senyuman terpatri di bibir Reyn bersamaan dengan hatinya yang menghangat saat mendapatkan perhatian kecil dari Ethan.
"Duduk," suruh Ethan ringan sembari menyilangkan kaki.
Reyn menuruti ucapan pria itu untuk duduk di sofa yang tepat berada di depan Ethan.
Ethan kemudian mengambil sebatang rokok dan memasukkan ujung rokok ke dalam mulutnya. Lalu dia menyalakan korek api elektrik untuk membakar ujung rokok tersebut.
Setelah itu, dia mengapit batang rokok dengan jari dan mulai menghisapnya.
Reyn tampak terdiam sejenak dengan raut wajah tidak percaya saat melihat Ethan merokok. Wanita itu mengira jika Ethan bukanlah seorang perokok. Mengingat pola hidup pria itu yang sangat teratur dan disiplin. Ditambah lagi, Ethan terlihat sangat menjaga kesehatannya dan begitu memperhatikan makanan yang akan dia konsumsi. Karena itu, Reyn sama sekali tidak mengira jika pria yang sangat peduli dengan kesehatannya ternyata justru merokok.
"Kamu tidak keberatan kan kalau saya merokok?" tukas Ethan dengan wajah dinginnya.
"Tidak, silahkan," sahut Reyn memaksakan senyumnya.
Ethan sama sekali tidak mengajak Reyn berbicara. Dia masih menghisap rokok dan menikmatinya sembari bersandar di punggung sofa dengan santai.
"Uhuk!"
"Uhukk!!"
Reyn sudah tidak bisa menahan asap rokok yang menganggu pernafasannya.
Ethan hanya melirik sekilas ke arah Reyn yang terbatuk-batuk karena menghirup asap rokok miliknya. Dia kemudian meletakkan rokoknya di sebuah asbak dan menekan ujung batang rokok tersebut sembari menggesek-gesekannya perlahan.
Kemudian Ethan beranjak dari sofa dan berjalan menuju meja kerja. Lalu dia menekan sebuah tombol di telepon duduk untuk memanggil seseorang. "Bawakan dua gelas air minum ke ruangan saya," ujar Ethan lugas, dan langsung menutup telepon.
Setelah itu, dia kembali duduk di sofa dan membuka bekal makan siangnya.
"Pak, apa saya boleh pergi sekarang?" tanya Reyn yang sudah mulai merasa tidak nyaman duduk di depan Ethan yang tengah menyantap makan siangnya. Ditambah lagi, ia merasa tertekan saat hanya berdua dengan pria itu.
"Tunggu minumnya datang," pungkas Ethan singkat tanpa menoleh ke arah Reyn.
Tidak lama kemudian, ada seseorang yang mengetuk pintu ruang kerja Ethan.
"Masuk," sahut Ethan lugas dari dalam.
Wanita itu membuka pintu dan masuk ke dalam sembari membawa minuman yang diminta oleh Ethan. Lalu dia menyapa Ethan dengan hormat sebelum meletakkan dua gelas air minum di atas meja. "Apa ada lagi yang Bapak butuhkan?" tanyanya sopan.
"Tidak, terima kasih," sahut Ethan ringan.
"Sekarang kamu boleh pergi dan lanjutkan pekerjaan kamu," imbuhnya.
Office girl tersebut mengangguk dan pamit keluar dari ruangan Ethan.
"Minum dulu, baru kamu boleh pulang," ujar Ethan datar.
Reyn yang memang merasa tenggorokannya kering segera meminum air tersebut.
"Malam ini kamu tidak perlu masak, karena nanti malam saya harus datang ke pesta pernikahan klien saya," ungkap Ethan.
"Baik, saya mengerti," sahut Reyn ringan.
"Malam nanti kamu ada acara atau tidak?" tanya Ethan tiba-tiba.
Reyn menggeleng. "Tidak ada."
"Kalau begitu, kamu bisa temenin saya pergi ke pesta?"
Reyn mengernyitkan dahi bingung. "Emm, saya tentu saja bisa. Tapi kenapa harus saya?"
"Jawab saja, bisa atau tidak?" tukas Ethan tegas.
"Iya, saya bisa," jawab Reyn asal karena merasa seperti terdesak
Ethan mengangguk. "Nanti saya akan suruh orang untuk kirim gaun buat kamu."
"Apa itu tidak terlalu berlebihan?" tanya Reyn.
Ethan menatap Reyn dengan tatapan lurus. "Bukankah kita harus menghargai tuan rumah dengan berpenampilan sebaik mungkin?"
"Ah, iya. Saya mengerti," sahut Reyn pelan.
Setelah berbincang sejenak, Reyn kemudian pamit pulang setelah menghabiskan minuman yang berada di atas meja.
*****
Setelah pulang kerja, Ethan membersihan diri dan bersiap-siap untuk pergi ke pesta. Setelah memastikan dirinya sudah rapi, Ethan kemudian keluar dari kamar dengan memakai tuxedo berwarna hitam yang melekat dengan indah di tubuh kekarnya. Tetapi saat membuka pintu, Ethan tiba-tiba terdiam ketika mendapati Reyn berada di depan pintu dengan gaun berwarna putih panjang yang membalut tubuh wanita itu yang tinggi.
Reyn membalik tubuh ke belakang saat mendengar suara pintu yang terbuka. "Pak Ethan?" panggilnya heran saat melihat Ethan hanya berdiam diri di tengah pintu.
Ethan seketika tersadar dan berdehem sejenak. "Ayo berangkat," ajaknya dengan nada suara datar seperti biasanya sembari berjalan menuju pintu utama.
Suasana di dalam mobil begitu hening karena tidak ada salah satu dari mereka yang mencoba untuk memulai pembicaraan. Sampai akhirnya, mereka telah tiba di gedung pernikahan.
Ethan dan Reyn turun dari mobil dan berjalan memasuki gedung secara bersamaan. Ethan memberikan undangan kepada penjaga yang berada di depan. Lalu dia mengisi daftar tamu undangan sebelum masuk ke dalam. Begitupula dengan Reyn yang juga ikut mengisinya.
Saat beberapa langkah berjalan, tiba-tiba langkah Reyn terhenti saat pandangannya tertuju ke arah seorang laki-laki yang saat ini juga tengah menatap ke arahnya dengan tatapan yang tidak bisa ditebak. Kemudian pandangan Reyn beralih ke arah tangan seorang wanita yang memeluk lengan pria itu dengan mesra.
Ethan menoleh ke arah Reyn dan mengikuti arah pandang wanita itu. Dia kemudian merengkuh pinggang Reyn dan mendekatkan wajahnya tepat di telinga Reyn. "Ayo pergi," bisiknya dengan suara berat, lalu membawa Reyn pergi dari pandangan seorang pria yang berada di ujung sana.
Juna mengepalkan tangan erat dengan rahang yang mengeras. Hatinya bergemuruh saat melihat tangan Ethan yang melingkar erat di pinggang Reyn.
TBC.