Moren menatap sedih, pada sebuah benda kecil yang menentukan nasibnya mulai sekarang. Benda yang sering membuat wanita bahagia dan bersedih. Bersedih karena tidak mengharapkan sebuah kehidupan muncul dalam perut mereka.
Moren menyentuh perutnya. Kehidupan baru ada di dalam perutnya. Anak siapa ini? Apakah anak Dhafa atau Dhafin? Atau bisa jadi keduanya. Moren menggeleng, tidak mungkin anaknya memiliki dua Ayah.
Pasti salah satu dari pria kembar itu Ayah biologis anaknya. Moren melempar benda yang sering disebut dengan tespack ini. Benda laknat yang membuat hidupnya semakin hancur.
"Kenapa kau ada?! Kenapa kau tumbuh?! Kenapa kau harus hidup?!" Moren meracau sambil memukul perutnya.
Janin yang tidak pernah diharapkan olehnya. Sekarang tumbuh dalam perutnya dan berkembang. Moren merasa curiga beberapa hari ini, dengan nafsu makannya naik, sering merasa mual, pusing, dan gejala Ibu hamil lainnya.
Moren mengerang frustrasi. Bagaimana dia minta pertanggungjawaban? Sedangkan Moren tidak pernah berjumpa lagi dengan dua pria kembar itu selama sebulan lebih ini.
Dan pada siapa ia minta tanggung jawab? Apakah pada Dhafin atau Dhafa? Atau keduanya?
Moren menggeleng. Tidak! Tidak mungkin dirinya menikahi dua pria sekaligus, apalagi pria bersaudara kembar. Bisa-bisa dirinya menjadi bahan hujatan, hinaan, dari para netizen. Walau negara ini orang-orang akan menanggapi dengan hal wajar atau tidak berarti sama sekali.
Namun ada segelintir orang-orang yang akan memberikan sebuah komentar pedas berujung pada hujatan, hinaan, dan membuat ia depresi dan takut dihakimi oleh netizen.
Moren tidak ingin publik menganggap dirinya adalah gadis jalang, murahan, atau sebagainya.
"Apa yang harus aku lakukan?" Moren bertanya lirih. Ia meringkuk di atas ranjang dengan kepala di benamkan pada bantal.
"Anak ini tidak mungkin lahir tanpa seorang Ayah," Moren berucap penuh kesedihan. Memikirkan anaknya lahir tanpa seorang Ayah, dihina dengan sebutan anak haram.
Moren menggeleng. Anaknya bukan anak haram. Moren harus meminta tanggung jawab salah satu dari pria kembar itu. Moren mengangguk senang dan percaya diri. Dirinya akan minta pertanggungjawaban dari Dhafin atau Dhafa.
Walaupun Moren tidak bisa menerima kehamilannya sekarang. Tapi tidak mungkin dirinya tega membunuh seorang janin yang menjadi titipan Tuhan. Yang bersalah adalah dirinya bukan janin ini.
Moren turun dari ranjang mengambil tas, kunci mobil, dan membenarkan rambutnya sedikit. Moren melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul tujuh malam, berarti dia bisa menemui Dhafin dan Dhafa di apartemen pria kembar itu.
Mudahan saja mereka ada di apartemen.
Moren membuka pintu kamarnya, yang terdapat Eomma-nya berdiri di depan pintu kamar yang hendak berbicara melalui remot.
Sancan tersenyum pada Moren, tidak jadi berbicara melalui remot. Rencananya Sancan ingin berbicara pada putrinya, karena malam ini Sancan ada janji temu dengan keluarga sahabatnya.
"Kau mau ke mana?" Sancan bertanya, menatap penampilan anaknya lumayan rapi.
Moren salah tingkah. "Ada urusan sebentar," Moren menjawab dengan nad suara sesantai mungkin.
"Bisakah besok malam saja? Malam ini kita akan ke rumah sahabat Eomma, yang kebetulan sekali mereka ajak makan malam dan mengenalkan dirimu pada mereka." ucap Sancan penuh harap, agar putrinya mau membatalkan acaranya malam ini.
Moren terkesiap dan membalikkan kembali ekspresi wajahnya. "Ke mana? Apakah ke rumah keluarga Alsa?" Moren bertanya, dengan harapan kalau mereka tidak ke rumah keluarga Alsa.
Moren sering mendengar orangtuanya menyebut keluarga Alsa. Untuk keluarga Dhafin dan Dhafa, dibanding keluarga Alganta dan Angkasa.
Sancan mengangguk, "Iya, Ara malam ini ingin berkumpul bersama. Sudah lama sekali kita tidak berkumpul," Sancan menjawab dengan senyuman manisnya.
Moren menghela napasnya secara kasar. Bagaimana caranya Moren menghindar? Memang tujuan Moren ingin menemui Dhafin dan Dhafa malam ini, tapi tidak dengan bertemu dengan keluarga pria kembar itu.
Tidak mungkin Moren berbicara blak-blakan dengan mengatakan dirinya hamil. Hamil anak dari Dhafin atau Dhafa. Bisa-bisa keluarganya dan keluarga Alsa shock.
"Kau bisa kan? Eomma ingin kita semua pergi malam ini," ucap Sancan, berharap anak perempuannya bisa ikut.
Moren menghela napasnya secara berat. "Baiklah, tunggu sebentar. Moren ingin mengganti pakaian dulu," Moren kembali masuk ke dalam kamarnya.
Tidak enak rasanya memakai celana dn kaos saja ke rumah sahabat orangtuanya. Walau dengan berat hati Moren, menuruti keinginan dari Ibunya. Namun mau bagaimana lagi? Moren selama ini tidak pernah melanggar perintah Ibunya kecuali tentang Davin dahulu.
Satu jam kemudian.
Keluarga Chow tiba di kediaman keluarga Alsa. Sancan menampilkan senyuman cerahnya, melihat Bryan menyambut dirinya di depan pintu mansion.
"Sancan," Bryan berlari kecil dan langsung memeluk sahabat kesayangannya itu.
Sancan membalas pelukan Bryan, penuh kerinduan mendalam. Sudah hampir dua tahun mereka tidak bertemu.
"Kau apa kabar?" Bryan bertanya sambil melepaskan pelukannnya.
"Baik, malahan sangat baik." jawab Sancan.
Bryan mengangguk dan memeluk Andrew, Jovan, dan Moren bergantian. Bryan tersenyum manis pada Moren yang baru berjumpa dengannya. Selama ini Moren tinggal di Korea dan tidak pernah berjumpa dengan keluarga Alsa.
"Sancan, Andrew. Ayo masuk!" teriak Ara dari dalam.
Sancan dan Andrew mengangguk, berjalan memasuki rumah bersama Bryan dan diikuti oleh kedua anaknya.
"Padahal kita masih satu negara dan satu kota, tapi jarang sekali bertemu." ujar Ara bercipika-cipiki dengan Sancan dan Moren.
"Aku jarang di New York, lebih sering pulang ke China dan Korea menjenguk orangtuaku dan orangtua Andrew." jelas Sancan pada Ara.
Ara mengangguk, memaklumi kalau Sancan dan orangtua dan mertuanya beda negara. Beda dengan dirinya hanya butuh waktu puluhan menit saja, kalau ingin mengunjungi orangtua dan mertua-mertuanya.
"Mari duduk, anak-anakku sedang berada dalam kamar masing-masing." Ara mempersilakan para tamunya untuk duduk.
"Makasih," ucap Andrew setelah duduk bersama keluarganya.
Moren asik dengan dunianya, memerhatikan seluruh isi mansion yang terlihat megah nan mewah ini. Luas mnsion keluarga Alsa dua kali lipat dari masnionnya.
"Jovan semakin tampan saja," ucap Ara dan tersenyum pada Jovan.
Jovan memang sudah beberapa kali berjumpa dengan keluarga Alsa. Makanya dirinya tidak canggung lagi saat dipuji oleh Ara.
"Auntie bisa saja," Jovan tertawa renyah.
"Ini pasti Moren, kamu sangat cantik sekali." Ara memuji Moren dengan tulus. Anak dari Sancan memang tampan dan cantik.
Moren tersenyum canggung dan tidak membalas pujian dari Ara.
"Kelvin mana?" Andrew bertanya tidak melihat Kelvin sedari tadi. Hanya Bryan dan Ara saja, biasanya mereka bertiga selalu bersama tak terpisahkan.
Ara, Kelvin, dan Bryan selalu bersama. Sehingga banyak orang yang iri dan akan menghujat Ara. Ara yang sangat disayangi oleh kedua suaminya, membuat wanita-wanita luaran sana merasa iri mendapat dua pria kaya di Amerika.
"Kelvin sedang berada dalam kamar, tadi dia baru pulang bersama Dhafin dan Dhafa dari rumah Mama dan Papa Kelvin." jawab Ara.
Moren yang mendengar nama Dhafin dan Dhafa disebut, merasakan detakan jantungnya berpacu begitu hebat. Pengaruh dua pria tampan itu sungguh sangat luar biasa sekali.
Moren memegang dadanya dan berusaha menetralkan detak jantungnya. Moren berdoa dalam hatinya, agar ia tidak gugup atau membuat kesalahan malam ini.
"Tunggu sebentar aku panggil dulu," Ara beranjak dari tempat duduknya berjalan dengan langkah anggunnya, menuju mikrofon yang menghubungkan kesetiap kamar di mansion.
Bryan sedari tadi asik berbincang dengan Sancan melupakan orang-orang yang tinggal. Mereka berdua mengenang masa sekolah dan kuliah dahulu.
"Dulu kau sering mengikuti Ara secara diam-diam," Sancan tertawa bersama Bryan mengingat masa lalu.
"Nah, itu mereka." Ara sudah kembali duduk kembali dan menunjuk ke arah suami dan anak-anaknya yang berjalan menuju ruang tengah.
"Moma... Kak Dhafin dan Kak Dhafa kasih Pia ular," Pia berlari menuju Moma-nya dengan rengekan manjanya.
Ara langsung menggendong tubuh gempal Pia. Ara menatap tajam pada kedua putra kembarnya, seringkali Dhafin dan Dhafa menjahili Adik-adiknya sehingga membuat mereka mengadu pada Ara.
"Moma, kami tidak memberi ular. Malahan kami memberi kue yang berbentuk ular." ucap Dhafa mengambil duduk di samping Kelvin yang sudah lebih dulu duduk di samping kanan Ara.
Moren memerhatikan Dhafin dan Dhafa secara bergantian. Pemuda berwajah sama itu sangat terlihat bahagia dan selalu tertawa. Apakah Moren bisa mengatakan hal sebenarnya pada mereka?
Moren mulai bimbang. Bagaimana ia bisa mengatakan hal sebenarnya pada Dhafin dan Dhafa, apakah nanti mereka akan marah pada dirinya? Atau Moren tidak diterima baik di keluarga unik nan harmonis ini.
"Tidak, tadi Kak Dhafin dan Dhafa beneran bawa ular sungguhan. Kata mereka peliharaan baru," adu Pia pada Moma dan kedua Ayahnya.
Ara menatap tajam pada Dhafin dan Dhafa. "Tidak cukup memelihara Buaya, Singa, dan Harimau? Masih saja menambah spesies yang berbahaya lagi," omel Ara.
"C'mon! Mereka itu sangat jinak... kepada kami saja," Dhafin dan Dhafa tertawa keras.
Moren yang sedari diam memerhatikan, merasa senang melihat tawa lepas dari Dhafin dan Dhafa. Apa yang dirasakan olehnya? Tidak mungkin dia jatuh hati kepada dua pria sekaligus.
"Hush, jangan keras-keras tertawanya. Malu sama tamu kita," Ara memperingati anak kembarnya ini.
Dhafin dan Dhafa menghentikan tawanya, gadis itu? Dhafin dan Dhafa mengenal dengan jelas wajah dan lekuk tubuh gadis yang ditemui oleh mereka sebulan yang lalu. Gadis yang sampai sekarang masih mereka ikuti dari orang kepercayaan mereka. Ternyata malam ini keluarga Alsa mengundang keluarga Andrew untuk makan malam bersama, tapi sebelum makan malam mereka lebih memilih berbincang terdahulu.
"Hai," Dhafin dan Dhafa menyapa Moren bersamaan.
Para orangtua dan saudara-saudara Dhafin dan Dhafa, juga Adik Moren menatap penasaran pada ketiga manusia yang sepertinya sudah saling kenal.
"Hai," Moren membalas canggung.
Sancan dan Ara menatap penuh selidik pada anak-anak mereka. "Kalian saling kenal?" Sancan bertanya penasaran.
Dhafin dan Dhafa mengangguk antusias. "Kami mengenal Moren sebulan lebih yang lalu," jawab Dhafin seramah mungkin.
"Di mana?" sekarang Ara yang bertanya.
"Ra-ha-sia." Dhafa menjawab dengan senyuman jenakanya. Ara menatap kesal putranya ini.
"Moma bunuh peliharaan kalian baru tau rasa!" Ara mengancam Dhafin dan Dhafa.
Bukannya takut malahan merek berdua tertawa kencang. "Coba saja, mendekatinya saja tidak berani apalagi membunuhnya." ucap Dhafin enteng.
Ara memberengut kesal. "Anak sialan!" umpat Ara.
Dhafin dan Dhafa mengedikkan bahu mereka. Tidak peduli dengan umpatan sang Ibu, mereka lebih memerhatikan gelagat dari Moren yang gelisah dan seperti menyimpan sesuatu.
Apakah Moren sedang ingin berbicara pada Mereka? Sepertinya iya. Dhafin dan Dhafa bisa melihat dengan cara tatapan dan gerakan tubuh Moren. Selama mereka mengenal dunia gelap, mereka selalu bisa membaca gerakan dan tatapan setiap orang.
"Permisi semuanya, apakah boleh kami berbicara sebentar dengan Moren." Dhafa meminta izin pada orangtuanya dan orangtua Moren.
Sancan dan Andrew mengangguk, mempersilakan Dhafin dan Dhafa yang ingin berbicara sesuatu dengan putri mereka. Sedangkan Ara menatap penuh selidik pada putra kembarnya. Ara seperti mencium bau-bau cinta segitiga. Tapi tak urung Ara mempersilakan putra kembarnya membawa Moren ke halaman belakang mansion.
Dhafin dan Dhafa mengucapkan terima kasih. Dan mulai berjalan ke halaman belakang mansion diikuti oleh Moren dari belakang.