Chapter 08

1233 Words
Ara menatap penuh selidik pada kedua putra kembarnya. Sudah seminggu lebih, Dhafin dan Dhafa tidur di apartemen tanpa pulang ke apartemen. Ara merasa curiga anaknya menyimpan wanita di apartemen, melihat pergaulan di negara sebebas ini tidak ada yang tau apa yang diperbuat oleh anak-anaknya.   Walau anak-anaknya sudah dewasa kelima orang, kecuali Pia yang masih kecil dan butuh kasih sayang, masih bermain dengan boneka, atau Pia lebih banyak menghabiskan nonton televisi dan belajar.   Masalahnya, putra kembar Ara yang tidak betah di rumah seminggu lebih ini. Malahan tidak pernah pulang, hanya mengabari kalau mereka tidur di apartemen ada urusan penting. Urusan penting apa? Sampai tidak pulang ke mansion.   "Kalian masih ingat jalan pulang?" Ara menyindir sinis kepada putra kembarnya.   Dhafin dan Dhafa mengaruk rambut mereka yang tidak gatal sama sekali. Ditatap tajam penuh selidik oleh Moma-nya, membuat mereka salah tingkah. Seharusnya mereka tidak berlarut-larut di apartemen. Sehingga Moma mereka mulai curiga kepada mereka berdua, bukannya mereka tidak mau pulang. Hanya saja, ada beberapa orang yang harus dimusnahkan.   "Kami sedang ada urusan penting, Moma." Dhafa menjawab, berusaha tenang ketika menghadapi Moma-nya, yang memiliki tingkat kepekaan lebih tinggi.   Ara menatap kedua putra kembarnya, merasa ada yang janggal dari anaknya ini. Apa yang disembunyikan oleh mereka?   Ara berusaha menerka-nerka dalam hati dan logikanya. Namun tetap saja tak bisa menemukan jawaban yang pasti. Dhafin dan Dhafa memang terkenal misterius, sering menyembunyikan sesuatu, tidak pernah bercerita, dan yang penting mereka selama ini diketahui tidak memiliki kekasih.   Atau jangan-jangan... kedua putranya... gay. Tapi tidak mungkin. Sangat tidak mungkin, Ara beberapa kali melihat kalau Dhafin dan Dhafa sering melihat video dewasa yang berpasangan perempuan dan lelaki. Bukan sesama jenis.   "Urusan apa?" Ara bertanya ketus.   "Urusan bisnis," Dhafin menjawab meyakinkan Moma-nya. Jangan sampai mereka ketahuan, kalau mereka adalah ketua organisasi pembunuh dan sering membunuh.   Nanti bisa-bisa Ibunda tercinta shock dan terkena penyakit jantung. Dhafin dan Dhafa sangat menyayangi sang Ibu, bagaimanapun kelakuan dunia gelap mereka. Mereka tetap menyayangi dan menghormati Ibunya dan juga keluarganya.   "Bisnis apa?" Ara kembali bertanya.   Bryan dan Kelvin yang berada di samping kanan dan kiri Ara, berusaha menenangkan istrinya. Jangan sampai kedua putranya merasa risih oleh ulah Ara.   "Ara, jangan bertanya macam-macam. Wajar saja mereka tidak pulang ke mansion, anak-anak kita itu sudah dewasa. Mengertilah keadaan mereka," Bryan memeluk istrinya dan mencium bibir istrinya sekilas. Menenangkan Ara, sangatlah mudah. Cukup dicium dan bernada lembut.   Kelvin juga memeluk istrinya, sudah lama sekali rasanya tidak bermesraan seperti sekarang. Pekerjaan masing-masing membuat mereka harus menelan untuk tidak bermesraan. Apalagi Pia seringkali tidur bersama mereka bertiga, sehingga waktu sekadar bercerita, bermesraan, dan berhubungan intim. Ditunda dulu.   Dhafin dan Dhafa menatap jengah pada orangtuanya. Lebih baik mereka segera pergi dari sini, daripada melihat adegan yang mengingatkan mereka berdua pada kenangan masa lalu.   Dhafin dan Dhafa berjalan ke arah kamar masing-masing, tanpa mengucapkan satu katapun. Mereka berkelana dengan pikiran sendiri tentang kejadian masa lalu, masa sekarang, dan juga tentang gadis bernama Moren.   Sudah seminggu lebih mereka mengikuti Moren. Namun belum berani menemui Moren kembali, dengan perasaan gugup, takut, berdebar, dan rasanya seperti pertama kali menatap orang dicinta masa lalu.   Apakah mereka jatuh cinta lagi?   Rasanya tidak mungkin. Dhafin dan Dhafa hanya mencinta gadis dari masa lalu mereka, tidak ada yang lain. Mereka berdua sering menekankan kalau perasaan terhadap Moren hanya sebuah penasaran, tidak lebih.   Dhafin yang lebih dulu memasuki kamar, mengambil ponsel cangihnya dan membuka kunci pada ponselnya. Ia mencari sebuah foto, yang menunjukkan foto seorang gadis dengan senyuman manis, rambut pirang panjang, gigi putih, mata bulat, dan keindahan lainnya.   Kelvin merasa sangat terpukul. Kalau seandainya ia bisa datang cepat. Sudah dipastikan Zaimor tidak meninggal dan mereka hidup bahagia sekarang.   Tapi... ia datang terlambat menyelamatkan Zaimor, gadis korban kekerasan dari segerombolan wanita-wanita jalang tidak tau diri.   Zaimor, tidak pernah menyakiti hati seseorang. Zaimor terlalu baik, bahkan sangat baik. Kenapa Zaimor bisa merasakan kekerasan? Semuanya salah Dhafin!   Dhafin tertawa miris. Seandainya ia tidak melakukan kesalahan itu. Pasti sekarang Zaimor masih berada di dekatnya.   Dhafin menghapus air matanya, menyimpan kembali ponselnya. Membaringkan tubuh dan tidur sejenak akan membuatnya tenang.   ***   "Kau ke mana saja?"   Dhafa memandang ke arah sampingnya. Terdapat Melody, gadis keturunan Indonesia ini menatap penuh selidik padanya.   "Tidak ke mana-mana," Dhafa berbohong. Dhafa tidak mungkin bercerita pada Melody, kalau dirinya sudah meniduri anak sahabat dari Melody sendiri.   Melody sering menanyakan kabar Bryan dan Sancan, padanya. Yang selalu dijawab dengan satu kata oleh Dhafa 'Baik'.   "Kau punya masalah? Jujurlah Dhafa, aku suka mengenalmu lama. Kau memang berbeda dengan Bryan, tapi kau adalah sahabatku yang sudah aku anggap anakku, mungkin." Melody tersenyum kecut. Seandainya ia masih hidup. Mungkin saja ia punya anak sekarang, walau dirinya termasuk seseorang mempunyai kekasih khayalan.   Namun tidak dipungkiri. Kalau Melody bermimpi memiliki anak dan keluarga harmonis.   "Aku-meniduri-Moren," Dhafa menjawab gugup.   Melody mengangkat sebelah alisnya. "Siapa Moren? Pacar barumu? Atau mainan barumu?" Melody memang tidak tau siapa itu Moren? Rasanya Dhafa tidak pernah bercerita.   Dhafa terkesiap. Baru sadar kalau Melody tidak mengenal Moren. Melody hanya bisa datang ke kamarnya dan danau. Tidak bisa ke tempat lain. Saat Dhafa bertanya, kenapa Melody tidak bisa terbang ke tempat lain. Melody menjawab tidak tau.   "Moren, adalah anak dari Sancan-Lee dan Andrew Chow. Kau pasti mengenalnya bukan?"   Melody terkesiap. Apa kata Dhafa? Anak dari Sancan? Astaga! Apa yang dilakukan oleh Dhafa? Sehingga meniduri Moren.   "Kenapa kau menidurinya? Aku tidak terima. Dia adalah anak sahabatku," Melody menatap tajam pada Dhafa.   Dhafa mengalihkan tatapannya ke arah lain. Merasa takut melihat tatapan tajam dari Melody, yang begitu menakutkan.   "Aku dan Dhafin tidak sengaja. Kami baru mengetahui beberapa hari yang lalu, kalau Moren adalah anak dari sancan-Lee." Dhafa berkilah tidak mau disalahkan begitu saja.   Dia dan Dhafin memang tidak mengetahui asal-usul Moren dulu. Apalagi mereka mengenal Moren di klub.   Sancan semakin marah, mendengar kalau Dhafin kakak kembar Dhafa juga meniduri Moren.   "Kalau dia hamil bagaimana? Siapa bertanggung jawab? Tidak mungkin kalian berdua," Melody tidak habis pikir dengan jalan pikiran anak muda sekarang.   Kebanyakan dari mereka hanya tau enak dan tidak tau akibat.   "Kenapa harus pusing? Kami akan menikahinya, kalau memang dia hamil." Dhafa menjawab santai, seolah tidak ada kesalahan dan beban sama sekali.   "Maksudmu, kau menikahi satu wanita dengan saudara kembarmu? Kau tidak berpikir! Itu akan berakibat dengan sebuah hujatan dari masyarakat," Melody menatap tidak percaya sekali lagi. Ia tidak tau apa yang dipikirkan oleh Dhafa sekarang, dengan mudahnya akan menikahi Moren bersama dengan saudara kembarnya.   "Aku sudah bilang! Kalau dia hamil, bukankah kehamilan bisa saja tidak terjadi. Aku tidak peduli dengan hujatan, perkataan orang-orang, atau sebuah komentar pedas pun aku tidak peduli. Mereka hanya perlu dibungkam sedikit dan semuanya beres."   "Kau bukan membungkam, tapi malah membunuh." Melody memang mengetahui perbuatan tercela dari Dhafa. Sebuh trauma, sakit hati, kesepian, membuat Dhafa menjadi pribadi yang buruk.   Dhafa tersenyum sinis, "Membunuh adalah hobiku," ujarnya sembari berdiri dari atas kasurnya.   "Mel, aku ingin sendiri. Kau bisa pergi? Tidak usah pikirkan tentang aku, Moren, ataupun Sierra. Aku hanya ingin sendiri sekarang." Dhafa berucap dengan nada pilunya. Sikap emosionalnya sudah kembali lagi, mengingat kenangannya dengan Sierra. Yang sekarang ntah di mana?   Melody mengangguk pelan. "Baiklah, aku harap kau akan berubah Dhafa," Melody langsung menghilang dari kamar Dhafa.   Dhafa tersenyum kecut, mendengar ucapan dari Melody barusan. Berubah? Dia tidak akan berubah! Sebelum bertemu dengan Sierra.   Dia sangat mencintai Sierra. Gadis yang menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikitpun.   "Sierra, kau membawaku pada dunia kegelapan ini. Seharusnya kau datang menyembuhkan luka dan rasa bersalah ini," Dhafa bergumam pilu.   Menghapus air mata untuk kesekian kali, hanya dengan mengenang sang kekasih hati.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD