Chapter 10

1684 Words
Moren salah tingkah, ditatap sangat intens oleh Dhafin dan Dhafa. Moren tidak tau bagaimana memulai pembicaraan tentang kehamilannya, lidahnya terasa kelu tidak mampu berbicara sepatah katapun.   "Jadi, kau ingin mengatakan apa?" Dhafin memulai pembicaraan, menanyakan pada Moren, ada apa gerangan dengan gadis ini. Dhafin dan Dhafa tau kalau Moren ingin mengatakan sesuatu.   Moren memandang ke arah lain, tak berani menatap Dhafin dan Dhafa yang duduk di depannya.   "Ada apa Moren? Katakan saja, kami tidak akan marah." Dhafa tersenyum manis pada Moren.   Moren menghela napasnya, ia merasa gugup, gelisah, dan resah. Tidak bisa dibayangkan kalau nanti kedua pria kembar ini menolak kehadiran anaknya. Atau salah satu dari mereka tidak ada yang mau bertanggung jawab.   "Aku—hamil." ujar Moren bernada pelan.   Moren menundukkan kepalanya tidak mampu untuk melihat ke arah Dhafin dan Dhafa. Merasa malu karena dirinya hamil, walau perbuatan itu juga ulah dari kedua pria ini.   "Kau hamil?!"   Bukan Dhafin dan Dhafa yang berteriak tetapi Amaranda Almalik. Moma dari Dhafin dan Dhafa yang sedang berdiri.di belakamg Moren sambil memegang napan.   Dhafin, Dhafa, dan Moren menoleh ke arah tempat Ara berdiri. Moren merasa takut, bila Ara mengatakan dirinya bukan gadis baik-baik hamil di luar pernikahan. Sedangkan Dhafin dan Dhafa meringis pelan, alamat mereka akan kena ceramah tujuha hari tujuh malam.   "Siapa yang hamil?" Sancan dan yang lain melangkah menuju tempat Ara, Moren, Dhafin, dan Dhafa.   Sancan dan yang lainnya, kaget mendengar teriakan dari Ara. Mereka langsung berlari menuju halaman belakang, takut terjadi sesutau pada Ara, Moren, Dhafin, dan Dhafa.   Tapi mereka bertiga kelihatan baik-baik saja di mata Sancan dan yang lainnya. Tapi mereka masih penasaran, siapa yang hamil?   Moren semakin ketakutan menatap Ibunya yang memberikan tatapan penasaran pada Ara. Jangan sampai Ibunya tau kalau dirinya hamil dan tidak tau siapa Ayah bayinya sebenarnya. Moren tidak ingin mengecewakan orangtuanya, dengan kondisinya yang hamil di luar nikah akibat ONS.   Ara menghela napasnya, "Aluna Morenlia Chow, putrimu." Ara menatap Sancan penuh prihatin. Ara merasakan kalau dirinya ada diposisi Sancan pasti akan kecewa dan terpukul.   Anak hamil di luar nikah, sangat menyakitkan bagi orangtua yang merasa gagal mendidik seorang anak.   Sancan dan Andrew menatap ke arah Moren meminta kepastian dari ucapan Ara barusan. Mereka merasa kecewa melihat anggukan kepala dari putrinya ini. Jovan ikut kecewa pada sang Kakak, yang selama ini selalu berprilaku baik tak pernah menyimpang.   "Moren, kau hamil oleh siapa?" Andrew bertanya, menatap anaknya penuh kekecewaan.   Moren menunduk, merasa gagal menjadi seorang anak. Dahulunya ia selalu memegang prinsip yang begitu kuat. Namun diingkari dengan hanya sebuah patah hati karena Davin.   "Moren tidak tau ini anak siapa sebenarnya..." Moren menjawab pelan, takut semakin mengecewakan orangtuanya.   Sancan menggeleng, "Kau melakukannya lebih dari satu pria?" Sancan berusaha sabar dan tenang, air mata sudah mengenang di pelupuk matanya. Namun ia tahan demi mendengarkan penjelasan dari putrinya, tidak ingin tersulut emosi yang membuat situasi semakin runyam.   Bryan yang berada di belakang Sancan, mengelus pelan bahu sahabatnya itu. Menenangkan Sancan agar tidak tersulut emosi.   Moren menatap ke arah Dhafin dan Dhafa. "Dhafin dan Dhafa melakukannya secara bersamaan. Dan Moren tidak tau siapa Ayah biologis anak ini,"   Semuany merasa kaget kecuali Dhafin dan Dhafa sudah menebak kalau Moren hamil. Tapi mereka ingin Moren mengatakan langsung kepada mereka berdua.   "Kau hamil?! Dan tidak tau kalau anak ini anaknya Dhafin atau Dhafa? Astaga, apa dosaku sehingga Tuhan menghukumku," Andrew mengusap wajahnya frustrasi.   Anak perempuan satu-satunya hamil dan tidak tau siapa Ayah biologis dari janin yang berada dalam perut Moren. Andrew merasa Tuhan sedang menghukum dirinya, dengan memberikan sebuah cobaan yang tak pernah diduganya selama ini.   "Bagaimana ini?" Andrew bertanya menatap secara bergantian Bryan, Ara, dan Kelvin.   Kelvin dan Bryan menggeleng, mereka memang Ayah dari Dhafin dan Dhafa. Tapi keputusan berada di tangan anak-anaknya tidak ingin memghakimi anak-anaknya lebih lanjut, walau Dhafin dan Dhafa sangat bersalah.   Ara menatap tajam kedua anak kembarnya. "Kalian?! Tidak pernah berpikir selalu berbuat. Moma selalu mengatakan hormati seoramg wanita, jangan melecehkannya apalagi membuatnya hamil. Moma tidak pernah mengajarkan kalian berbuat hal keji seperti ini." Ara merasa kecewa sungguh kecewa. Putra kembar kebangaan-nya harus membuatnya kecewa dengan menghamili anak dari sahabatnya.   Dhafin dan Dhafa menunduk. Ibunya memang tidak pernah mengajarkan membuat hal seperti ini. Tapi masa lalu yang kelam dan menimbulkan kepribadian yang baru membuat keduanya berubah.   "Maaf, kami akan bertanggung jawab pada Moren," Dhafa dan Dhafin membuka suaranya bersamaan.   Lagi dan lagi, semuanya kaget mendengar penuturan dari pria kembar itu.   "Maksud kalian? Kalian ingin menikahi Moren bersamaan?" Sancan bertanya pada Dhafin dan Dhafa. Ntah, apa yang dirasakan Sancan sekarang? Sudah mendengar fakta anak hamil di luar nikah dan ditambah lagi dua pria ini ingin menikahi anaknya secara bersamaan. Gila.   Dhafin dan Dhafa mengangguk. "Iya, apa salahnya kami menikahi Moren? Lagian Moren juga tidak tau Ayah biologis dari anaknya, lebih baik kami berdua tanggung jawab." ucap Dhafin berusaha tenang. Walau Ibunya menikah dengan dua pria, tapi ini kasusnya lain dengan yang dialami oleh Ibunya yang memang sudah dijodohkan bukan hamil.   "Aku tidak mau!!" Moren berteriak nyaring. Moren tidak mau menikah dengan dua pria sekaligus.   "Kenapa?" tanya Dhafa menatap Moren meminta penjelasan. Bagi Dhafa dan Dhafin tidak ada masalah dengan berbagi seorang istri. Mereka juga sering berbagi teman tidur, jadi tidak masalah berbagi istri.   "Aku tidak ingin menikah dengan dua pria sekaligus. Apa kata masyarakat? Mereka akan menghina, menghujat, dan menganggap diriku wanita murahan."   "Kau masih memikirkan perkataan orang-orang? Hidup kita yang jalani bukan orang lain, tidak usah memikirkan perkataan orang lain."   "Tapi—" Moren ingin menyangah kembali namun sudah dipotong oleh Dhafin.   "Tidak usah tapi-tapian, kami bertanggung jawab atas anak dalam kandunganmu itu. Dan tidak usah memikirkan perkataan orang lain," Dhafa menatap tajam pada Moren. Tatapan yang sering Dhafa gunakan untuk mengancam dan menakuti musuhnya.   Moren takut. Takut melihat tatapan tajam dari Dhafa, tatapan yang belum pernah dilihatnya sama sekali.   "Aku tidak mau dihujat dan dihina," bisik Moren melemah. Moren menatap ke arah orangtuanya meminta pertolongan, namun Andrew dan Sancan menggeleng. Kalau Moren tidak menikahi kedua pria itu. Maka anak dalam perut Moren akan terlahir sebagai anak haram.   "Moren, ini memang sangat gila. Pria kembar saling berbagi istri dengan ikhlas tanpa paksaan. Kalau kamu tidak menuruti keinginan mereka, anakmu akan terlahir sebagai anak haram dan diejek oleh masyarakat." Sancan memberi pengertian pada putrinya.   Moren menatap Sancan pilu. Situasi tersulit seperti ini, Ibunya masih menyayangi dirinya dan menganggap Moren sebagai putri kebangaan-nya tanpa menghakimi Moren.   "Moren, kami berdua tidak akan menyakiti dirimu. Percayalah, kami akan sepenuhnya bertanggung jawab atas anak itu. Perkataan orang-orang di luar sana kau tidak perlu khawatir, mereka akan kami bungkam dan tidak berani berkomentar pedas padamu." ucap Dhafin menenangkan kegelisahan dari Moren.   "Kau tau? Momaku sering dihujat, dihina, dan dipandang sebelah mata. Tapi yang tau semuanya hanya kita bukan para masyarakat, yang tidak tau bagaimana kehidupan diri kita sendiri. Abaikan mereka. Mereka hanya bisa berkomentar tanpa memahami," lanjut Dhafa.   Moren menatap Dhafin dan Dhafa secara bergantian. "Aku mau menikah dengan kalian, tapi pernikahan ini dirahasiakan dari publik." Moren berharap Dhafin dan Dhafa mau menuruti keinginannya. Yang ingin merahasiakan pernikahan ini dari publik.   "Tidak bisa. Kau sedang hamil. Bagaimana mungkin kita menrahasiakan pernikahan kita dari publik?" Dhafin menaikkan nada bicaranya satu oktaf. Menghadapi Moren sangat membuat kepalanya sakit. Lain dengan menghadapi Zaimor dahulunya, yang selalu mendengarkan Dhafin.   Moren menunduk. "Aku tidak mau pernikahan ini diketahui oleh publik,"   Ara dan yang lainnya menghela napas mereka. Moren sangat takut dihina, dihujat, atau dikatakan jalang oleh orang-orang.   "Siapa yang mengoyak keperawananmu?" Ara bertanya pada Moren.   Moren tersipu malu ditanya hal pribadi seperti itu. "Dhafin," Moren menjawab pelan.   Ara tersenyum manis pada Moren. Dia mempunyai solusi pada situasi ini. Kalau Moren tidak ingin diketahui oleh publik menikahi dua pria. Kenapa tidak beritahu publik Moren menikahi satu pria? Walau pada kenyataannya Moren tetap menikahi dua pria bersaudara kembar.   "Dhafin, kau nikahi Moren dengan secara sah. Sedangkan Dhafa kau menikahi Moren secara siri." ucap Ara, membuat Dhafin dan Dhafa membelalak kaget.   "Kenapa tidak sah saja keduanya?" Dhafa tidak terima dirinya menjadi suami siri dari Moren. Walau Dhafa tidak mencintai Moren tapi, dia masih ingin menjadi suami sah dan diketahui oleh khalayak publik.   "Dhafa, kau tau? Perasaan Ibu hamil sangat sensitif. Bisa saja nanti banyak orang menghujat dan menghinanya membuat Moren stres dan berakibat pada janinnya. Lebih kau mengalah sebagai suami kedua sekaligus suami siri," Ara memberi pengertian pada putranya ini. Dalam lubuk hatinya Ara merasa iba dan kasihan pada Dhafa. Tapi mau bagaimana lagi?   "Baiklah," Dhafa mengalah saja.   Sancan dan yang lainnya tersenyum senang menemukan solusi paling tepat. Ara memang seorang Ibu yang sangat pengertian.   "Tapi kalian berdua masih harus dihukum. Semua binatang buas di mansion ini kembalikan pada habitatnya, sangat tidak bermutu memelihara binatang buas seperti itu." Ara mengomel membayangkan peliharaan Dhafin dan Dhafa tidak ada imut-imutnya sama sekali. Malahan sangat amit-amit.   Dhafin dan Dhafa lebih kaget mendengar ucapan Moma-nya yang ingin membuang semua binatang kesayang mereka. Kesayang yang telah banyak memakan daging manusia yang dibunuh oleh mereka.   "Kenapa mereka kena imbas? Mereka itu kesayangan kami berdua." ucap Dhafa diangguki oleh Dhafin.   "Cih! Kalau kalian tidak mau membuangnya, maka kalian tidak usah menikahi Moren. Biar saja anak kalian diejek anak haram nantinya,"   Dhafin dan Dhafa menggeleng cepat. "Buang saja Moma. Lebih tepatnya kami akan membuat kandang khusus untuk mereka di tempat lain," ujar Dhafa.   Ara mengedikkan bahunya. "Terserah kalian, yang penting mansion ini bebas dari binatang buas."   Moren yang menatap interaksi antara Ibu dan anak ini. Tersenyum manis, jarang sekali Ibu dan anak akur di zaman sekarang. Apalagi Ara sebagai Ibu pengertian.   Ara menatap ke arah Moren. "Kau setelah menikah tinggal di sini. Aku tidak mau mereka berdua menyusahkanmu atau membuat ulah." Moren mengangguk. Ingin menentang percuma saja. Lebih baik dia menuruti kemauan dari calon Ibu mertuanya, yang sudah memberikan solusi dengan menjadikan Dhafin sebagai suaminya sah-nya di hadapan publik.   Bukannya Moren tidak ingin Dhafa menjadi suami sah-nya. Tapi kembali lagi dengan Moren yang takut dihujat dan dihina.   "Pernikahan kalian akan dilangsungkan seminggu lagi. Untuk resepsi kau dan Dhafin hanya diadakan secara sederhana. Aku memikirkan perasaan Dhafa," Ara menatap Dhafa dengan senyuman manisnya. Anaknya sudah sangat dewasa.   Moren mengangguk. "Baiklah, aku juga tidak ingin pesta besar."   "Aku harap kalian akan bahagia," Sancan angkat bicara. Yang langsung di-amin-kan oleh yang lain, kecuali Dhafa. Dhafa masih bergelut dalam pikirannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD