Chapter 11

1322 Words
Pernikahan Moren dengan dua pria sekaligus berjalan sangat lancar. Hari pertama Moren menikah dengan Dhafin dan langsung menyelenggarakan pesta pada malam harinya, sedangkan hari kedua Moren menikah dengan Dhafa tanpa ada resepsi malam harinya.   Sudah jelas Dhafa adalah suami siri-nya. Dan Dhafin adalah suami sah-nya. Moren sekarang tinggal di mansion keluarga Alsa dengan penuh canda tawa menghiasi mansion ini.   "Siniin remot tv-nya, aku mau nonton drama Korea terbaru." Dhafa merebut remot dari tangan Pia.   Sedari tadi Pia menguasai televisi dengan saluran kartun, yang menampilkan makhluk kuning berkotak-kotak. Dhafin maupun Dhafa lupa namanya.   "Nggak mau! Kakak biasanya jagain binatang, sekarang malah ganggu Pia." Pia bersedekap d**a, pipi gembulnya naik turun. Membuat semua orang gemas.   "Eleh, bilang aja Pia juga suka sama Korea. Apalagi sama Boyband-nya," Dhafin mecibir Adiknya itu.   Pia menggeleng, "Pia nggak suka Korea. Cuman dengerin lagunya," Pia memeletkan lidahnya ke arah Dhafin dan Dhafa.   Dhafin dan Dhafa saling melirik, menatap Adik mereka jengkel. Seandainya Pia bukan Adik kandung mereka, sudah dipastikan Pia hanya tinggal nama dan dagingnya menjadi santapan binatang kesayangan mereka.   "Ini Anak, kayak nggak diajar sopan santun sama yang lebih tua."   "Wah, Kakak-kakak merasa tua? Hati-hati nanti cepat mati karena marah-marah." Pia tertawa senang melihat wajah Kakak-kakaknya terlihat sangat kesal.   Dhafin dan Dhafa menghela napas mereka. Sabar. Orang sabar sering dikasih pahala, walau mereka sering berbuat dosa.   "Moren, kamu harus terbiasa dengan keluarga ini. Kebanyakan dari mereka memang sering bertengkar tapi, mereka semua baik dan akur." ucap Ara sembari mengambil duduk di samping menantunya.   Moren mengangguk. "Iya, Moma." Moren sudah cukup biasa memanggil Ara dengan sebutan Moma. Sedari seminggu yang lalu Moren sudah belajar memanggil Ara Moma.   Dhafin dan Dhafa mengalihkan tatapan mereka pada Moren. Rasanya mereka masih aneh memanggil Moren adalah istri mereka. Dalam hati mereka berdua, masih ada masa lalu bukan masa depan. Memiliki anak dan menikah tidak pernah terlintas oleh mereka dengan wanita lain bukan kekasih mereka.   "Moren, kau sudah meminum s**u hamilmu?" Dhafa bertanya lembut pada Moren. Dhafa sebagai Dokter umum di rumah sakitnya, sangat tau apa yang dirasakan oleh Moren sebagai Ibu hamil.   Dhafa lebih memilih sebagai Dokter umum. Daripada Dokter spesialis seperti Papa-nya. Dhafa lebih senang memeriksa pasien manapun dengan segala usia dan jenis kelamin. Dan juga tentunya, merasa senang membunuh pasiennya secara mudah.   Dokter umum adalah dokter yang fokus dalam mengobati penyakit yang muncul secara tiba-tiba (akut) dan menahun (kronis), juga dikenal sebagai dokter layanan pertama. Perbedaan dengan dokter spesialis adalah, dokter umum menyediakan pelayanan yang bersifat menyeluruh terhadap pasien. Dokter umum juga memegang peranan penting pada area kedokteran karena mereka seringkali menjadi orang yang pertama berhubungan dengan pasien. Dokter umum tidak terikat untuk mengobati bagian atau organ tubuh tertentu, sehingga mereka memiliki keahlian luas yang membantu mereka untuk menolong pasien pada segala usia, jenis kelamin dan dengan berbagai masalah kesehatan.   Dhafa memiliki peranan penting di rumah sakit miliknya. Tak jarang Dhafa sering diandalkan oleh Dokter-Dokter lainnya untuk melakukan periksaan pertama pada pasien.   "Sudah, aku sudah meminumnya." Moren menjawab pertanyaan dari Dhafa sambil memakan biskuit buatan dari Ara.   Semenjak hamil, nafsu makan Moren naik drastis. Tidak memikirkan lagi apa itu diet?   "Kak, kau punya obat putus cinta tidak?" Kanaya bertanya dan mengambil duduk di samping Dhafa.   Dhafa dan semuanya menatap pada Naya yang terlihat lesu. "Kau jatuh cinta? Pada siapa? Aku tidak pernah tau." Dhafa bertanya bertubi-tubi pada Adiknya ini.   "Naya nggak jatuh cinta. Cuman lagi sakit hati, karena sebelum menyatakan sudah ditolak duluan," ucap Naya dengan wajah sedihnya.   "Kau ditolak? Seumur-umur anggota keluarga Alsa tidak pernah ditolak oleh seseorang. Mungkin pesonamu kurang tajam," Dhafa mengejek Adiknya.   Selama ini keluarga Alsa memang terkenal dengan rupawan, memikat, dan kelebihan lainnya. Sehingga banyak pria-pria dan wanita-wanita luaran sana berlomba mendapatkan salah satu anak dari keluarga Alsa.   Kanaya cemberut. "Kilan bukannya nggak mau sama Naya. Tapi dia sudah mempunyai kekasih seorang lelaki, Naya nggak punya apa yang dimiliki oleh kekasih Kilan."   Semua keluarga Alsa tertawa mendengar ucapan dari Naya barusan. Kecuali Abra yang hanya geleng-geleng saja. Tidak menyangka Kakak perempuannya suka pada seorang lelaki gay. Gay memang memikat hati dengan sejuta pesona, tapi kalau melawan pacar lelaki gay sebagai perempuan Kanaya akan kalah.   "Ikhlas, Naya. Sebagai anak ketiga dari keluarga Alsa kau harus ikhlas dan mencari target baru. Jangan berlarut pada kesedihan semata," Bryan menyemangati anak perempuannya ini.   Dhafin, Dhafa, dan Abra menunduk. Merasa tersindir akan ucapan dari Papa mereka. Mereka terlalu berlarut-larut akan kesedihan, lupa rasanya menjalani hidup sebelum mengenal yang namanya cinta dan patah hati.   Abra sudah dua tahun lebih menjalani hidup dengan datar, dingin, dan lupa caranya tertawa lepas. Dirinya selalu mengingat mendiang kekasihnya yang kecelakaan dan meninggal dunia. Abra berusaha tertawa setiap kali ada yang lucu di hadapannya, namun ia tetap tidak bisa.   Dhafin dan Dhafa sudah terlalu nyaman pada dunia mereka. Untuk tertawa dan tersenyum memang topeng mereka, dibalik itu semua mereka adalah orang dengan sejuta kegelapan. Berteman dengan dosa-dosa sudah melekat pada hidup mereka berdua.   Bryan menyadari perubahan raut wajah dari Abra. Tapi tidak menyadari perubahan dari raut wajah Dhafin dan Dhafa yang sudah tertawa lagi bersama Pia.   "Abra, maafkan Papa. Bukan maksud Papa menyindir atau berbicara macam-macam. Papa tau kamu masih sangat menyayangi dia, belajarlah melupakan dan memulai hidup baru." Bryan memberi nasihat pada putra ketiganya ini.   Abra menanggapi ucapan dari Papa-nya dengan sebuah senyuman tulus. Semua keluarga Alsa memang menyayangi dirinya dan ingin dirinya bangkit.   "Maaf, Dhafa harus pergi ke belakang dulu." Dhafa beranjak dari tempat duduknya tanpa mendengar jawaban dari orang-orang di ruang tengah.   Moren memerhatikan suami keduanya yang terlihat gelisah dan buru-buru. Tadi juga Moren sempat melihat perubahan raut wajah dari kedua suaminya, sebenarnya apa yang terjadi?   Apakah kedua suaminya pernah patah hati?   Tapi rasanya tidak mungkin. Mertuanya mengakatakan kalau Dhafin dan Dhafa tidak memiliki kekasiha, bagaimana bisa mereka patah hati?   Moren mengenyahkan pikiran buruknya. Dan tersenyum manis pada Dhafin yang mengulurkan tangan pada Moren. Moren menyambut uluran tangan dari Dhafin mengikuti langkah Dhafin, yang membawanya menuju kamar Dhafin.   Malam ini Moren tidur bersama Dhafin. Sebenarnya malam ini Moren tidur bersama Dhafa tapi, Dhafa menolak secara halus dan menyuruh Moren untuk tidur bersama Dhafin.   Moren sempat kecewa mendengar penolakan halus dari Dhafa. Apakah Dhafa tidak menginginkan dirinya? Moren kembali menggeleng setiap berpikir Dhafa tidak menginginkan dirinya. Dhafa mengatakan kalau malam ini dia akan ke rumah sakit, untuk berjaga malam. Jadi, Moren harus berpikir positif.   ***   "Kau sudah menikah dengannya? Kenapa kau ke sini bukannya bersama Moren," Melody bertanya pada Dhafa.   Dhafa menghela napasnya secara panjang. "Aku merasa mengkhianati Sierra. Seharusnya aku mengikhlaskan Moren menikah dengan Dhafin seoang." ucap Dhafa tersenyum miris.   Kenapa dia baru berpikir seperti ini. Setelah melaksanakan upacara pernikahan dengan Moren, bukannya dari seminggu yang lalu.   "Aku sudah mengatakan, kau cari Sierra sampai ketemu. Semuanya tidak akan sesulit ini kalau Sierra berada di sini," Melody mengingatkan Dhafa akan ucapannya dahulu.   "Aku sedang mencarinya kembali, tapi masih saja Sierra tidak ditemukan. Apakah Sierra sangat marah?" Dhafa bertanya pada Melody. Kesalahannya memang begitu sangat fatal. Tetapi tak adakah maaf untuk dirinya?   "Dhafa, aku mengerti perasaaanmu. Masih sangat mencintai Sierra dan tidak bisa menggantikan Sierra. Sekarang kau sudah menjadi seorang suami, kau harus memikirkan perasaan dari Moren."   "Aku tidak mencintainya Mel!"   "Sekarang kau memang tidak mencintainya, tapi bagaimana nanti?" Melody menatap Dhafa menanti jawaban dari Dhafa. Cinta tidak tau kapan datang? Sehingga  Dhafa yang sekarang tidak mencintai Moren bisa saja nanti mencintai Moren.   Dhafa menggeleng. "Aku tidak tau, aku terkadang merasa takut kehilangan Moren dan kandungan dalam rahim Moren. Namun terkadang aku merasa bersalah pada Sierra," Dhafa menunduk.   Dhafa merasa dirinya menjadi manusia plin-plan dengan memiliki perasaan berubah-ubah setiap saatnya.   Melody menghela napasnya. "Kau sudah mulai tertarik dengan Moren. Sekarang semua keputusan ada di tanganmu," Melody menghilang setelah mengatakan hal tersebut.   Dhafa tertawa miris. "Lagi dan lagi, aku harus mengalami takdir lucu. Kapan takdir ini pergi? Aku lelah sekali," Dhafa beranjaj dari tempat duduknya. Berjalan dengan cepat menuju kamarnya, tadi pagi ia menolak Moren untuk tidur bersamanya dengan alasan ia akan ke rumah sakit. Padahal Dhafa tidak ke rumah sakit. Dhafa hanya ingin menenangkan pikirannya sejenak.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD