Tale 34

1002 Words
Terlepas dari cerita yang lagi - lagi mengerikan dan membuat seluruh bulu di tubuhnya berdiri, Garlanda begitu lega ketika ia tiba - tiba sudah berada di tubuh lain. Ya, tentu ia masih memikirkan kenapa ia lagi - lagi tak mampir ke tubuhnya terlebih dahulu. Namun dengan sudah berpindah seperti ini, ia sudah cukup lega. Sungguh. Rasa sakitnya masih membekas dalam ingatan. Garlanda sudah beberapa kali mengalami kesakitan karena kasus yang sama sebelumnya, tapi tetap belum beradaptasi dengan rasa sakitnya. Kali ini ia berada dalam tubuh pemuda tampan bernama Elio. Elio bisa dibilang seumuran dengannya dalam dunia nyata. Elio memiliki seorang kakak bernama Lumi. Sama - sama laki - laki, dan memiliki kenampakan fisik yang sangat mirip pula. Lumi 3 tahun lebih tua dari Elio. Namun Elio tidak pernah akrab dengan kakaknya sejauh ini. *** Namanya Lumiero. Dia kakakku. Orang - orang biasa memanggilnya Lumi. Aku pun sama. Aku memanggilnya Lumi saja, tanpa embel - embel kakak atau mas. Usia kami terpaut tiga tahun. Lumi akan genap 22 tahun. Aku akan genap 19 tahun. Karena sebuah hal, Lumi jauh lebih menarik perhatian dibanding aku. Dulu aku kesal. Tapi sekarang memilih cuek. Karena hatiku sudah menciptakan anti bodi bernama anti sirik. Sudah kebal. Karena sudah biasa. Tidak kok. Lumi mencuri perhatian bukan karena lebih ganteng, lebih keren, atau pun lebih pintar. Kalau menurutku, sih, aku jauh lebih ganteng, lebih keren, dan lebih pintar darinya. Lantas karena apa Lumi menjadi pusat perhatian? Karena dia tidak sehat. Dia selalu sakit. Sehari dia sehat. Tiga hari dia sakit. Lumi sampai harus sekolah di rumah seumur hidupnya karena kondisi itu. Sedangkan aku bebas. Aku menikmati dunia luar dan bersenang - senang. Uhm ... sebenarnya terlalu menikmati dunia luar, dan terlalu bersenang - senang. Hehe .... Memangnya kenapa? Toh tidak ada yang memarahiku. Sudah aku bilang, aku ini bebas! "Lio ... Elio ...." Seseorang memanggilku. Itu tetanggaku si Rahima. Anak seumuranku yang suka maido alias menghakimi. "Kenape?" tanggapku malas - malasan. "Kamu mau ke mana?" "Kepo!" jawabku sembari terus membersihkan setiap inci motorku dengan kemoceng. "Main melulu kamu, ya. Lihat itu, Mas Lumi aja rajin!" Tuh, kan .... Memang begitu tabiat si Rahima. Aku melirik Lumi yang sedang menyapu teras. Pergerakannya lambat karena kondisinya yang lemah. Kulitnya yang pucat nampak bersinar karena terpaan sinar matahari. "Emangnya kenapa? Dia nyapu karena dia yang mau. Bukan karena gue males!" jawabku tanpa menatap Rahima, dan dengan suara agak keras. Aku yakin Lumi juga mendengar ucapanku. Terbukti, dia menghentikan aktivitas menyapunya. Menatapku dengan pandangan melankolis dan matanya yang sayu. Aku hanya menatapnya sekilas. Ya mau bagaimana lagi, aku dan Lumi memang tak pernah akrab sejak dulu. Uhm ... bukan berarti saling membenci, lho, ya. Tapi entah lah, kami jarang bisa berkomunikasi dengan baik. Rasanya sangat canggung. Lumi melangkah mendekatiku. Ingin rasanya aku menghindar. Tapi bukan kah akan lebih canggung jika aku langsung menghindarinya secara terang - terangan? "Mau ke mana, Dek?" tanyanya. Suaranya yang rendah dan dalam terdengar amat parau. "Jalan - jalan!" Aku menjawab tanpa menatapnya. Aku terus membersihkan motor, padahal motorku sudah mengkilap. "Jalan - jalan ke mana?" Duh ... tumben - tumbennya si Lumi bertanya banyak. Biasanya dia hanya bertanya sekali, dan berhenti bicara setelah aku jawab. "Ngumpul sama anak - anak di food court!" "Food court itu di mana?" "Di sawah." Lumi manggut - manggut. "Oh ... di sawah." Daguku menganga sampai jatuh ke tanah rasanya. Lumi percaya begitu saja dengan jawaban asalku. "Food court ya di mall, lah. Ya kali di sawah!" koreksiku. "Oh, di mall." Lumi tersenyum tipis. "Jualan apa di sana?" "Jualan batu bara!" Sebelum Lumi menanggapi, aku sudah menyela lagi, sebelum dia kembali salah paham. "Namanya aja food court, ya jual makanan, lah." "Oh ... jualan makanan." Lumi manggut - manggut lagi. Aku menatapnya tajam. Well, dia tidak pernah keluar rumah. Tapi jangan bego juga. Merasa sudah cukup bercakap - cakap dan membersihkan motor, aku hendak melangkah masuk rumah. Mau siap - siap. "Dek ...." Lumi memanggilku lagi. Aku berbalik. "Kenapa lagi?" "Aku ikut ya?" Aku menganga sekali lagi. Kenapa tiba - tiba sekali? Maksudnya ... ini terlalu mendadak. Jiwaku tidak disiapkan untuk hal ini. *** Sepanjang bersiap - siap di kamar, pikiranku tak lepas dari Lumi. Pakaian macam apa yang akan ia kenakan nanti? Duh ... dia sama sekali tak tahu dunia luar kecuali rumah sakit. Bagaimana kalau seandainya nanti dia memakai baju koko? Aku tidak bisa membayangkan. Pasti mukaku akan hilang di depan teman - temanku berkat Lumi. Kupandang refleksiku dalam cermin. Wah ... gantengnya aku .... Sudah tinggi, semampai, rupawan, keren, bening. Apa, sih, kurangnya aku? Kusemprotkan parfum beraroma maskulin di d**a, leher, siku dalam, dan pergelangan tangan. Kupakai kemeja warna putih yang sudah kusetrika licin. Pas sekali berpadu dengan skinny jeans hitam yang sudah kupakai dari tadi. Terakhir aku mengenakan beanie yang berwarna senada dengan celanaku. Sempurna. Sayang, hatiku masih was - was memikirkan penampilan Lumi nanti. Ingin rasanya aku mendandaninya. Tapi mana mungkin. Dipikir dia batita yang urusan baju saja masih harus dipilihkan dan dipakaikan? Aku melenggang keluar kamar. Aku melirik pintu kamar Lumi yang masih tertutup. Aku cuek, lanjut melangkah. Berniat menunggunya di bawah, sembari melihat perkembangan apakah teman - temanku sudah berangkat. "Dek ...." Langkahku terhenti. Aku otomatis berbalik mengikuti arah suara yang memanggilku. Lumi sudah selesai ternyata. Penampilannya ... wah ... aku agak terkejut. Dia terlihat ... lumayan. Sama sekali tidak buruk. "Kenapa, Dek? Aneh, ya?" Ia nampak khawatir. "Aku tadi nyontoh gaya cowok hits yang aku lihat di internet. Apa gaya ini nggak cocok sama aku?" Aku menggeleng. "Nggak apa - apa. Udah gitu aja. Lumayan kok," kataku jujur. Eh, tidak sepenuhnya jujur, sih. Kalau mau lebih jujur, Lumi nampak sangat berbeda. Ia terlihat cukup keren. Sebagai orang yang lebih keren, aku mengakuinya keren, berarti kerennya bukan kaleng - kaleng. Meskipun komentarku tak jujur 100%, namun Lumi sudah cukup puas dengan jawabanku. Buktinya ia terlihat bahagia. Ia tertawa lebar dan penuh kebanggaan. Ck ... kelakuannya benar-benar kekanak-kanakan. "Kalo gitu aku ambil obat sama bekal dulu, ya," pamitnya. "Hooh," jawabku seraya lanjut melangkah ke lantai dasar. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD