Tale 35

1805 Words
Rahima melongo melihatku membonceng Lumi keluar rumah. Skuter matic - ku jadi kelihatan kecil dinaiki kami berdua. Mengingat tinggi kami yang di atas rata - sata. Sama - sama 183 cm. Lumi berpegangan pada pinggangku. Aku sebenarnya risih, tapi sungkan mau memperingatkannya. Aku memakai helm retro warna cream, sementara Lumi aku pinjami helm lamaku INK hitam, yang pernah hits pada zamannya. Aku tak heran kenapa orang - orang menatap kami di sepanjang jalan. Terlebih saat kami berhenti di lampu merah. Penampilan kami memang mencolok mata, sih. Nasib orang terlalu tampan. "Masih jauh, Dek?" tanya Lumi, memecah kesunyian di antara kami. "Dikit lagi nyampek, kenapa?" jawabku. "Nggak kenapa - kenapa." Aku berusaha menatap Lumi dari kaca spion, tapi tidak kelihatan. Ah, bodo amat. Sesampai di Kediri Mall, aku segera memilih tempat parkir paling strategis. Lumi melepas helm, meletakannya di jok bagian belakang. Wajahnya yang pucat dibasahi keringat sana - sini. Duh ... dia tidak akan pingsan, kan? Bisa bikin heboh nanti kalau betulan pingsan. Lagian siapa suruh ikut? "Ayo ...." Aku mendahuluinya berjalan memasuki mall. Ia membuntut di belakangku. Hawa dingin mall segera menyambut. Sejuknya. Adem sekali. Lumi berusaha menyamai langkahku. Kuhargai usahanya. Aku jadi kasihan juga, sih, padanya. Aku agak memperlambat langkah, sehingga kami bisa berjalan beriringan. Biasanya aku akan memilih naik eskalator rusak yang menghubungkan lantai dasar dan lantai dua, juga lantai dua dan lantai tiga. Tapi karena aku bersama Lumi, kali ini naik lift saja. Agar langsung sampai di food court yang berada di lantai 5. Teman - temanku riuh menyambut kedatangan kami. Mereka bersorak seperti sedang nonton pertunjukan. Sampai - sampai menyedot perhatian semua orang. Padahal food court ini luas sekali. Bikin malu! "Wah ... Elio - nya ada dua!" "Lo bawa siapa, nih? Kok nggak pernah bilang lo kembar?" "Tahu Elio ada dua, nggak bakal pada ribut, deh, tuh fans - fans fanatik lo di kampus!" "Kenalin, dong, kenalin!" Aduh ... kupingku rasanya panas. Menyebalkan dan norak sekali mereka itu. "Ini Lumi, kakak gue," jawabku akhirnya. Lumi mengulurkan tangan, bersalaman dengan orang - orang gesrek itu satu per satu. "Damar." "Eka." "Jimmy." "Nakula." "Roger." Mereka pun memperkenalkan diri satu per satu. Aku dan Lumi akhirnya bisa duduk santai. Kami duduk bersebelahan. Kulihat muka Lumi bertampah pucat. Sepertinya ia kedingingan. Tapi tetap berkeringat. Di bagian belakang kemeja abu - abunya sampai tercetak bulat - bulat basah keringat. Kami semua mulai memesan makanan. Kecuali Lumi, karena ia bawa bekal makanan dan minuman sendiri. "Kalian kok mirip banget, ya. Padahal kakak adek!" "Mirip apanya?" sahutku sewot. Lumi pun menggeleng. "Elio lebih ganteng." Tanpa sadar aku tersenyum. Ternyata Lumi cukup pintar dan suka benar saat bicara. *** "Kenapa Mas Lumi bawa bekal?" Damar mewakili pertanyaan para anak - anak gemblung. Aku melirik Lumi. Memastikan ia mau menjawab sendiri, atau kuwakili. "Karena aku sakit. Kata Mama nggak boleh makan di luar sembarangan." Ternyata ia jawab sendiri. "Sakit apa?" Roger kali ini. "Salah satu jenis lupus, penyakit auto imun. Harus jaga kesehatan ekstra, biar bisa lanjut hidup." Lumi mengakhiri ucapannya dengan tersenyum. Sejenak suasana jadi canggung. Anak - anak gemblung kini mengerti kenapa mereka baru tahu aku punya Kakak. Karena kakakku harus dipingit seumur hidup berkat penyakitnya. "Eh, lo pada jadi makan apa, nggak? Makanan dari tadi pada dianggurin!" Aku berusaha memecah suasana. Wangi nasi goreng di hadapanku sungguh menggoda. Juga makanan - makanan mereka yang beraneka ragam. Kami pun akhirnya mulai makan. Termasuk Lumi. Ia membuka kotak bento yang entah berisi apa. Wah ... ternyata chicken katsu buatan Mama. Seperti apa rasanya kira - kira? Uhm ... jujur aku belum pernah makan masakan Mama. Mama selalu hanya memasak untuk Lumi. Sementara untuk anggota keluarga lain — termasuk aku — Mama serahkan semuanya pada Mbok Nah. Nah, mungkin itu salah satu hal yang membuat aku dan Lumi tidak akrab. Karena kami beda ibu. Dia anak Mama, aku anaknya Mbok Nah. "Makan, Dek ...." Lumi menyerahkan sekotak chicken katsu - nya padaku. Termasuk nasi putihnya. Aku terperangah tentu saja. Apa maksudnya? Aku semakin cepat mengunyah nasi goreng yang masih belum aku telan. Karena aku hendak menuntut penjelasan darinya. Eh, ia sudah menjelaskan duluan. "Kamu pengin nyobain masakan Mama sekali - sekali pasti, kan? Tuh, makan aja. Tenang, Mama nggak bakal tahu. Jadi kamu nggak bakal dimarahin." Ia lagi - lagi tersenyum. Sial ... jangan bilang, Lumi ikut aku tadi hanya karena memberiku kesempatan untuk mencoba masakan Mama! Mungkin Lumi sering memergokiku menelan ludah saat ia makan masakan Mama. Apa aku harus terharu? "Terus lo makan apa, dong?" Aku bingung harus bereaksi bagaimana. Itu lah output - nya. "Kamu pengin rasain masakan Mama sesekali. Jadi, aku juga pengin rasain masakan orang lain sesekali. Sini ... nasi goreng kamu biar aku yang makan!" Ia menggeser nasi goreng di hadapanku dengan cepat. "T - tapi itu, kan, nggak steril!" Aku berusaha mencegahnya. "Pengin sekali - sekali, lah, Dek. Mumpung aku masih hidup!" "T - tapi ... kalo nanti dimarahin Mama gimana?" "Mama nggak akan marah kalau nggak tahu. Kesimpulannya, kita berdua harus tutup mulut." "T - tapi ...." "Udah, Dek .... Ayo makan!" Lumi menyendok nasi goreng bekasku dengan bahagia. Ia menutup mata saat mengunyah. Begitu nenikmati tiap sentuhan MSG yang membumbui keseluruhannya. Duh ... kalau nanti dia kenapa - kenapa bagaimana? Duh ... tapi perutku lapar. "Buruan makan, El!" seru Nakula. Aku meringis. Ya sudah, deh. Aku makan. Chicken katsu buatan Mama, ternyata rasanya biasa saja. Bahkan cenderung tidak ada rasa. Ya iya lah. Lhawong bumbunya hanya bawang putih. Diberi garam pun jarang. Mendadak aku jadi prihatin pada Lumi. Seumur hidup ia harus makan makanan tak berasa seperti ini. Pasti rasanya suram. *** Lumi semakin gencar mendekatiku. Dulu setiap kali aku mencuci motor, dia sibuk menyapu atau melakukan hal lain. Tapi sekarang, ia selalu membantuku mencuci motor. "Nggak usah, udah mau selesai ini!" Aku merebut kembali selang yang direbutnya. "Kenapa? Aku bantu nggak boleh?" Ia bertanya seperti balita. "Jangan main air! Nanti lo sakit. Ntar gue diomelin Mama lagi kayak waktu itu!" Aku kembali membahas nasib nahasku sepulang dari mall. Lumi demam tinggi karena terpapar sinar matahari, komplikasi dengan dinginnya AC mall, komplikasi lagi dengan nasi goreng ber - MSG, dan komplikasi juga dengan es capucino. Mama marah besar. Katanya aku mengajari Lumi banyak hal tidak benar. Padahal Lumi sendiri yang mau, kan? "Kan bentar aja main airnya. Udah mau kelar juga ini. Nggak bakal sakit, lah!" Lumi tetap ngeyel. "Kalo ternyata sakit?" "Ya dirasain!" Ia terbahak seperti orang kesetanan. "Terus gue diomelin Mama!" "Nggak. Kan aku yang mau!" "Waktu itu gue diomelin, lo lupa?" Habis sudah kesabaranku. Lumi menatapku beberapa saat. Tatapannya ... entah lah ... menyesal mungkin. "Aku jamin kali ini Mama nggak akan marah. Karena aku nggak bakal sakit!" Ia tersenyum. Aku tahu itu bukan senyum tulus. Tapi ya sudah lah. *** Lumi semakin gencar mendekatiku. Ia datang saat aku main gitar, datang juga saat aku main PUBG, pun datang saat aku leyeh - leyeh di karpet. "Lo sebenernya kenapa, sih?" Aku benar - benar sudah gedek. Ia berbaring santai di sebelahku. "Aku ngerasa kita terlalu asing sebagai sepasang kakak beradik. Makanya aku ingin kita lebih dekat." "Tapi aneh aja gitu." "Awal - awal pasti terasa aneh. Tapi lama - lama akan terbiasa." Aku menatapnya sengit. "Terserah, deh. Tapi gue nggak bisa bersikap baik. Sifat gue ya gini. Nggak bisa diubah." "Aku nggak mau ngubah kamu kok. Tetep jadi Elio yang apa adanya." "Terserah lo, deh. Semoga lo nggak nyesel udah ambil keputusan deket - deket sama gue!" "Nggak akan nyesel!" *** "Eh, Lumi. Katanya pengen akrab sama gue lo. Sini bantuin gue bersihin kandang Momo! Jangan males - males lo!" Aku mengomelinya. Momo adalah kucing peliharaanku. Lagian si Lumi, sudah tahu aku sibuk, bukannya membantu. Malah enak - enakan tidur. "Aduh ... bersihin kotoran Momo?" Ia beranjak dengan ogah - ogahan. "Cepetan sini!" Ia menghampiri kami sembari menutup hidung. Aku menyeringai. Haha. Salah sendiri sok - sok ingin mendekatkan diri. Enak, kan, dikerjain! Aku jadi senang memanfaatkan situasi ini. Ternyat sangat menyenangkan mengerjai Lumi. Aku tidak berdosa. Toh Lumi sendiri yang mau. Lama - lama aku jadi terbiasa dengan kehadirannya di sekitarku. Sekarang di mana pun ada aku, selalu ada Lumi. Itu rumus baru. Tiap Lumi tak ada di sekitarku saat aku membutuhkannya, aku tak akan ragu mencarinya. Kami selalu berdua, sampai si Rahima kehabisan topik untuk maido aku. Suatu hari, Lumi tak kunjung keluar kamar. Karena penasaran, aku masuk ke kamarnya. Bau antiseptik segera menyeruak. Kamarnya memang sudah mirip rumah sakit. Sangat steril. Aku mencari keberadaannya. Sampai aku menemukannya tergeletak di lantai kamar mandi. *** Aku, Mama, dan Papa menunggu dalam diam di luar UGD. Lumi masih ditangani di dalam sana. Aku merasa, Lumi sakit karena aku. Aku terlalu asyik memanfaatkan momen pendekatannya denganku. Hingga aku lupa fakta tengang antibodinya yang lemah. Terlebih kali ini Mama sama sekali tak marah padaku. Jika Mama marah, akan membuatku jengkel. Sehingga aku akan sedikit melupakan rasa bersalahku. Tapi ... sekarang aku justru tenggelam dalam rasa bersalah itu. "Elio ...," gumam Mama. "Iya, Ma?" Mama tersenyum di balik wajah sembabnya. "Mama seneng akhir - akhir ini kamu dan Lumi semakin akrab. Terima kasih sudah mau dekat dengan Lumi. Terima kasih sudah bikin senyum kakakmu semakin lepas." Aku menunduk. Kuakui aku mulai nyaman berada bersama Lumi. Hanya saja, tetap ... tujuan awal kedekatanku dengannya adalah karena aku ingin mengerjainya. Dokter keluar dari UGD. Kami mengerumuninya. Dokter bilang, Lumi butuh diisolasi sampai keadaannya membaik. Dan mungkin itu tak akan sebentar. "Semoga Lumi bisa melewati masa kritisnya. Kalau tidak, fatal akibatnya," ucap dokter itu, seraya melenggang pergi. Selanjutnya hari - hariku berkutat antara rumah dan rumah sakit. Aku memeriksa kondisi Lumi. Sudah kah ia sadar, atau masih tidur? Jujur, aku merindukan kebersamaan kami — yang singkat itu. Aku rindu kakakku. Kusadari, Lumi mendekatiku karena ingin membangun bonding kakak beradik di antara kami. Yang justru aku manfaatkan. Lumi tak pernah marah dengan sikap tak sopanku, karena ia merasa bersalah telah merebut perhatian kedua orang tua kami. Ia yang sakit bisa berusaha untukku. Tapi aku yang sehat, justru sangat jahat padanya. Aku berdoa setiap hari, agar Lumi diberi kesembuhan. Tapi apa yang kudapat? Semakin hari, keadaan Lumi justru semakin buruk. Aku melangkah pelan memasuki ruang isolasi. Aku mengenakan jubah, masker, dan penutup kepala. Kutatap wajah kakakku yang nampak damai dalam tidurnya. "Lumi .... maafin gue," ucapku. "Gue adik yang nggak guna. Gue adik yang kurang ajar. Gue banyak jahat dan nggak sopan sama lo. Sekarang gue baru sadar, lo berharga banget buat hidup gue. Tolong bangun. Kalo lo bangun, gue janji akan jadi adek yang manis buat lo." Kugenggam tangan Lumi. Sangat dingin. Aku terperanjat kala merasakan sebuah pergerakan. Jemari Lumi bergerak. Matanya juga berkedut, seperti akan terbuka. "Lumi ...," panggilku. Perlahan matanya terbuka. Ia mengernyit karena silau lampu yang sebenarnya tak terlalu terang. "E - Elio ...." Ia terbata. "Iya ini aku." Lumi kemudian tersenyum. Tanpa sadar, aku secara refleks membalas senyumnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD