10. HAI GIANA !

1763 Words
Erlan menggeliat saat alarm ponselnya berbunyi. Dalam kondisi mata yang masih tertutup, tangannya menggapai nakas untuk mengambil ponsel. Setelah berhasil, Erlan segera mematikan alarm ponselnya. Ia memegang kepalanya yang terasa berdenyut hebat akibat minuman yang ia teguk semalam. Hati-hati Erlan mengambil posisi duduk, mencoba mengingat apa saja yang terjadi semalam. “Argh! Semalam aku minum berapa banyak sampai sakit kepala begini,” gumamnya sambil mengacak rambutnya. “Masih jam enam, syukurlah nggak telat bangun.” Erlan beranjak dari tempat tidur dan memutuskan ke bawah untuk mengambil air putih. Tenggorokannya terasa terbakar akibat terlalu banyak minum minuman beralkohol. “Brownies, kamu di mana?” panggil Erlan ketika sampai di dapur. Sambil meneguk air putih, Erlan memperhatikan sekitar, namun tidak menemukan kucing cantik miliknya, bahkan ia juga tidak melihat kandang milik Brownies. “Brownies ke mana ya? Kok kandangnya nggak ada?” Erlan bingung sekaligus panik, bahkan mengecek ke semua sudut ruangan tapi tidak ada. Pelan-pelan, Erlan mencoba mengingat keberadaan kucing lucu itu. Ketika ingatannya kembali, Erlan terdiam dengan mulut sedikit terbuka. bagaimana ia bisa lupa kalau kucingnya sedang di rumah Giana. “Ahhs s**t! Aku lupa kalau Giana yang bawa Brownies.” Ucapnya dengan sedikit lega. Erlan benar-benar takut jika kucingnya hilang. Ariel dan Regina bisa ngamuk jika sampai kucing kesayangannya hilang. Namun rasa leganya hanya bertahan sebentar, berganti dengan rasa cemas. Bayangan kejadian tadi malam kembali muncul ke permukaan. Erlan diserang rasa bersalah ketika ingat semalam ia mengabaikan Giana atau lebih tepatnya bersikap dingin pada wanita itu. “Argh! Cari perkara aja sih. Bisa-bisa Giana jadiin aku sarapan pagi kalau begini ceritanya.” Gumamnya ngeri. Tidak mau membuang waktu, Erlan bergegas kembali ke atas untuk mandi dan siap-siap. Ia tidak ingin bertemu Giana dengan bau alkohol serta rokok yang nyengat. Setidaknya ia harus kembali menjadi manusia normal dalam menghadapi Giana yang super sensitif. “Ma, aku titip si kucing lucu ini ya.” Ucap Giana saat sarapan bersama Maria. Maria menatap kucing yang tengah bermanja-manja di kaki Giana. “Semalam bukannya kamu mau balikin sama Erlan, sekarang kenapa masih di sini? Brownies nolak untuk pulang?” “Semalam, kayaknya Erlan lagi mabuk jadi batal aku balikin si Brownies.” “Mabuk?” “Iya Ma, sekarang Mama tau kan kalau Erlan bukan cuma suka ganti-ganti temen wanita tapi dia juga suka minum. Aku juga sempat liat dia ngerokok. Jadi tolong, Mama jangan coba-coba jodohin aku sama dia.” “Berapa kali kamu pernah liat dia mabuk atau minum-minum?” “Sekali,” jawabnya. “Berarti jangan menyimpulkan Erlan suka minum, Giana. Laki-laki, kalau ngumpul sama teman-temannya ya pasti minum atau ngerokok. Kita sebagai perempuan kalau ngumpul sama teman, pasti ngerumpi, iya kan?” Giana mendesah pelan. Maria selalu punya cara untuk membela Erlan. “Yayaya, Giana bilang Erlan suka ngompol juga Mama selalu punya pembelaan.” “Ya nggak gitu juga kali, Giana. Mama cuma mau menyikapi dari dua sisi, bukan hanya menghakimi.” “Giana..!” Suara teriakan dari luar membuat Giana dan Maria menghentikan perdebatan mereka. “Itu kayaknya Erlan, sampirin dulu sana.” Giana mendesah malas. “Duh apa lagi sih si tetangga pagi-pagi udah manggil.” “Hus! Nggak boleh ngomong begitu, siapa tau penting.” Dengan malas, Giana beranjak dari duduknya untuk menghampiri Erlan di depan rumahnya. Raut wajah jutek, wanita itu berjalan mendekati Erlan yang sudah rapi dengan tampilan pergi bekerja. “Ada apa?” tanya Giana sambil membuka pagar rumahnya. “Soal semalam, aku mau minta maaf. Pasti sikapku bikin kamu kesel ya.” Giana menggeleng. “Nggak, biasa aja.” “Biasa aja tapi mukanya kenapa jutek begitu.” “Lain kali, kalau habis minum dan ngerasa udah nggak stabil, mending kamu jangan bawa mobil deh. Bahaya tau, kalau sampai kenapa-kenapa, kamu bisa bikin Tante Eva sama Om Rudi khawatir.” “Iya maaf, aku emang salah.” Ucap Erlan penuh sesal. “Tapi makasih karena kamu udah perhatian sama aku.” “Ih, siapa yang perhatian? Kalau kamu kenapa-kenapa, aku juga yang repot.” “Kamu nggak mau direpotin sama aku ya?” “Kalau bisa sih ya jangan ngerepotin orang lain.” Erlan mengangguk. “Ya sudah, sekali lagi aku minta maaf ya.” “Iya.” “Brownies, nyusahin kamu ya?” “Oh iya, tunggu biar aku ambil si Brownies.” Giana kembali masuk ke rumah untuk mengambil hewan peliharaan yang bulunya cukup lebat. Tidak lama, sosok cantik itu kembali bersama dengan kucing lucu milik Erlan lengkap dengan kandangnya. “Makasih sudah kasih pinjem Brownies.” “Sama-sama. Kalau kamu mau, Brownies bisa kamu bawa kok.” Giana menggeleng. “Nggak, kalau pingin aku ambil. Tapi kalau terus-terusan, aku nggak enak sama kakak dan keponakan kamu.” “Santai aja, mereka baik kok.” Jawabnya. “Kamu mau berangkat sekarang?” Giana melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Wah udah siang nih. Aku berangkat dulu ya.” “Mau aku antar?” “Nggak usah, aku bawa mobil sendiri kok.” “Ya sudah, hati-hati di jalan ya.” Giana tersenyum mendengar ucapan Erlan. “Kamu juga.” *** Hari ini, Giana tidak bekerja di kitchen melainkan sibuk di depan laptop miliknya. Sedari pagi, ia sudah dihadapkan dengan laporan bulanan yang sudah disiapkan oleh bagian akunting. Giana harus memeriksa kembali laporan keuangan tokonya. Bahkan jam makan siang sudah terlewati karena Giana sudah makan cake sebagai cemilan untuk mengganjal perutnya. “Mbak Giana, ada tamu.” Alisa muncul dari balik pintu. “Katanya mau ketemu Mbak Giana.” “Tamu? Siapa?” “Tadi sih bilang namanya Indra.” Mendengar nama yang disebutkan Alisa, sontak membuat Giana terdiam. Nama yang tidak asing di telanganya. Nama yang selalu menemani hari-harinya selama lima tahun dan menghilang selama dua tahun. “Antar ke sini saja.” “Baik Mbak, sekarang saya ajak ke sini.” Giana memejamkan matanya sejenak, berusaha mengatur napasnya. Bahkan ia berusaha menenangkan diri agar tangannya tidak gemetar. Jantungnya berdegup kencang ketika semua memori bersama pria itu, muncul kembali ke permukaan. “Oke, tenang Giana. Hanya sebuah pertemuan yang tujuannya mungkin untuk bertegur sapa.” Giana berusaha menenangkan diri ketika akan berhadapan dengan mantan pacarnya bernama Indra Hernino berusia dua puluh sembilan tahun. “Hai Giana!” Suara yang sudah Giana lupakan selama dua tahun kebelakang, kini kembali menyapa indera pendengarannya. Giana tersenyum ramah pada pria dengan kepribadian tenang yang kini tengah berjalan ke arahnya. Giana beranjak dari duduknya, lalu menghampiri Indra. “Hai, apa kabar?” “Baik, kamu keliatannya juga baik.” “Iya, aku baik dan sangat baik.” Jawab Giana penuh keyakinan. “Silakan duduk, maaf ruanganku agak sempit.” “Terima kasih, Giana.” Indra menatap Giana yang jauh semakin cantik. Perpisahan dua tahun lalu membuat keduanya memutuskan untuk tidak saling menghubungi dan menghindari pertemuan di antara mereka. Tapi kini Indra mengingkari kesepakatan itu, dan Giana juga menerima ketika Indra mengingkari janji mereka. “Maaf kalau aku ganggu kamu.” “Nggak apa-apa. Tunggu ya, biar karyawan aku bawa minum ke sini.” “Nggak perlu Giana, aku cuma sebentar.” Giana mengurungkan niatnya yang ingin menelepon salah satu karyawannya. “Ya sudah kalau begitu.” “Toko kamu semakin terkenal, semakin maju dan aku ikut bangga dengan keberhasilan kamu.” “Terima kasih, aku masih perlu belajar banyak. Oh iya, usaha kamu gimana? Lancar kan?” Indra mengangguk pelan. “Semua baik dan berjalan lancar.” Giana kembali berusaha menenangkan perasaannya dan tidak mau terlalu kelihatan gugup di hadapan Indra. “Kamu ke sini ada keperluan apa, Ndra?” “Aku kangen sama kamu.” jawab Indra dengan penuh keyakinan. “Aneh memang tapi jujur, aku kangen banget sama kamu.” Jawaban Indra berhasil membuat jantung Giana berdetak semakin kencang. Ia tidak munafik, bagaimanapun ia dan Indra pernah berbagi suka dan duka bersama. Tidak mungkin ia tidak merasakan debaran ketika pria yang pernah ia cintai mengatakan rindu kepadanya. Perpisahan secara baik-baik membuat Giana tidak bisa membenci sosok Indra. Pria dengan pembawaan tenang, baik, dan selalu berhasil membuat Giana merasa menjadi wanita paling beruntung ketika menjalin hubungan dengan Indra. Giana tersenyum canggung dengan pengakuan Indra. “Jangan bercanda, nanti istri kamu marah.” “Aku belum menikah, Giana. Aku masih sendiri dan itu sebabnya aku berani menemui kamu lagi.” “Belum menikah?” pandangan Giana tertuju pada tangan Indra dan memang tidak ada cincin yang tersemat di jari pria tersebut. “Bukannya kamu sudah dijodohkan sama orang tua kamu.” “Ceritanya panjang, Giana. Aku ke sini hanya mau menyapa kamu. Kalau ada waktu, aku mau ajak kamu keluar dan aku akan ceritakan semuanya sama kamu.” “Maaf Ndra, aku agak bingung dengan berita ini.” “Aku yang harusnya minta maaf karena tiba-tiba datang ke sini dan bikin kamu terkejut.” “Nggak apa-apa kok.” Indra beranjak dari duduknya. “Aku nggak lama karena kita sama-sama sibuk. Ini kartu namaku, hubungi aku kapanpun kamu mau. Apa aku boleh minta kartu nama kamu? Atau nomor ponsel kamu, masih sama dengan yang dulu?” Tangan Giana membuka laci mejanya, lalu mengambil kotak transparan dan mengeluarkan kartu nama miliknya. “Ini kartu namaku dan nomor ponselnya juga sudah ganti kok.” “Baiklah, kalau begitu aku permisi ya. Sampai ketemu di lain waktu, Giana.” “Tunggu.” “Iya Giana?” “Apa sebaiknya kita jangan bertemu lagi. Selama dua tahun ini kita sudah saling melupakan dan itu tidak mudah. Tapi kalau kita bertemu lagi, rasanya apa yang sudah kita lakukan dua tahun ke belakang jadi terasa sia-sia.” Indra mendekati Giana yang berdiri di hadapannya, lalu tangannya menggenggam tangan Giana dengan lembut. “Aku tau tapi kamu harus tau cerita yang sebenarnya. Kasih aku kesempatan untuk menceritakan semuanya agar kamu nggak berpikir kalau aku memiliki niat buruk sama kamu.” “Aku nggak nuduh kamu berniat buruk, aku hanya mengingatkan tentang janji dan kesepakatan kita.” “Dengarkan ceritaku dan setelah itu kamu bebas mau mengambil keputusan seperti apa,” jelas Indra dengan tatapan mata yang mampu membuat Giana terdiam. Giana hanya bisa mengangguk pelan dan mengalah dengan Indra. Pria yang selalu berhasil meredam argumennya dan membuatnya diam. “Aku pergi ya, Giana.” “Iya, hati-hati.” Selepas kepergian Indra, Giana duduk sambil memandang kartu nama pria tersebut. Tatapannya kosong, pikirannya membawa dirinya pada kenangan masa lalu bersama Indra. Hal-hal manis bahkan yang paling menyakitkan juga Giana ingat. Sekilas ia tersenyum, namun senyum itu disusul air mata yang menetes dari sudut matanya. “Bisa-bisanya dia muncul lagi. Susah payah aku bangkit dan meyakinkan diri bahwa aku berhak bahagia tapi nyatanya takdir sedang mencoba bermain-main lagi denganku.” Gumam Giana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD