Sejak kemunculan Indra kembali ke kehidupan Giana, membuat wanita itu sedikit merasakan kebimbangan. Ingin mengabaikan tapi ia tidak tega ketika pria itu ingin menjelaskan semuanya yang terjadi. Giana juga penasaran, apa yang terjadi pada pria itu setelah berpisah dengannya. Harusnya, Indra sudah menikah dan mungkin memiliki anak yang lucu bersama dengan istri pilihan ibunya.
Seminggu ini, Indra begitu rajin menghubunginya sekadar untuk memberi kabar padanya. Tapi, entah kenapa Giana juga tetap meladeni padahal ia sudah menutup hati untuk pria lain, termasuk Indra. Bahkan hari ini, Giana menyanggupi ajakan Indra untuk pergi sepulang mereka bekerja.
“Pagi-pagi nonton apa sih?” Giana mendapati Maria sudah menyalakan tv dengan suara yang cukup keras.
“Mama kira kamu nggak ke toko. Mama lagi nonton acara pertunangan salah satu artis terkenal yang main sinetron Cinta di Ujung Gang. Dia tunangan sama pengusaha kaya dan kamu tau kalau dia pakai WO dari Erlan.”
“Oh iya?” Giana tidak nampak antusias, bahkan ia bicara sambil mengoleskan selai pada rotinya.
“Iya Giana, pantas saja beberapa hari ini Mama jarang liat Erlan di rumahnya. Mungkin dia sibuk turun tangan sama acara besar yang tamunya luar biasa banyak.”
Giana baru sadar kalau seminggu ini tidak bertemu dengan Erlan. Bahkan pertemuan terakhir mereka terjadi ketika mengembalikan Brownies. Pria itu juga tidak pernah menghubunginya selama beberapa hari.
“Erlan sempat hubungi kamu?”
“Nggak Ma, buat apa juga dia hubungi aku. Nggak ada kepentingan bagi kami berdua.”
Maria mendesah pelan. “Susah banget bikin anak perawan ini dekat sama Erlan.”
Samar-samar Giana mendengar gumaman ibunya. “Aku dengar lho.”
“Bagus kalau kamu denger, Mama nggak susah-susah kasih tau.”
Giana mencebikkan bibirnya ke arah Maria. “Ckck. Erlan lagi Erlan lagi. Udah tau anaknya nggak mau deket sama cowok, masih juga dipaksa-paksa.”
“Giana, Mama kasih tau ya. Kenapa kamu harus seperti itu karena laki-laki di masa lalu? Kamu menyia-nyiakan hidup yang singkat ini. Mereka hidup bahagia sedangkan kamu masih hidup dalam trauma.”
“Ma…”
“Mama kesel sama sikap kamu. Sudah berlalu cukup lama, tapi kamu belum juga bisa membuka lembaran baru. Mama juga mau kayak teman-teman Mama yang udah pada gendong cucu terus banggain menantunya. Cukup Mama saja yang sendiri tanpa pasangan tapi kamu jangan.”
Giana beranjak dari duduknya, dan meninggalkan sepotong roti yang belum habis ia makan. “Aku berangkat dulu dan kayaknya pulang malam.”
“Iya hati-hati.” Ucap Maria sedikit ketus.
Maria dan Giana sama-sama tahu bagaimana sifat masing-masing. Jika salah satu sudah tersulut emosi, maka mereka paham harus menyendiri untuk menghindari perdebatan yang akan semakin panjang.
Giana mendesah lemah ketika mobil yang ia kendarai sudah melaju meninggalkan komplek perumahan.
“Aku hanya belum siap, Ma. Jangan paksa aku kalau hatiku sendiri belum mau menerima orang lain.” Gumam Giana.
***
Giana, Riska serta karyawan lain sedang menikmati makan siang bersama. Sisanya masih bertugas dan gantian untuk istirahat makan siang. Giana nampak lelah karena sejak tadi full di kitchen demi menghindari lembur.
“Wah, kucing siapa ini, Mbak?” tanpa sengaja Riska melihat wallpaper ponsel milik Giana. “Lucu banget.”
“Oh, ini punya tetanggaku. Namanya Brownies, dan dia memang lucu banget.”
“Tetangga Mbak Giana? Maksudnya Mas Flowers?”
Giana mengangguk. “Iya kucing ini milik Erlan.”
“Mau dong jadi kucingnya yang dielus tiap hari,” gumam Riska sambil tersenyum malu.
“Lo mau jadi kucing ketimbang jadi manusia?” sindir Bayu.
Riska menatap Bayu sinis. “Iri aja sih.”
Giana menggeleng melihat Riska dan Bayu yang sangat jarang bisa akur. “Kalian ini, kayak Tom and Jerry, susah akur.”
“Dia demen banget protes sama apa yang aku lakuin, Mbak.”
“Ngadu aja sih lo.”
“Sudah-sudah, mau makan apa mau debat?”
Riska memilih untuk mengabaikan Bayu. “Mbak Gi, deket sama Mas Flowers ya?”
“Maksudnyanya deket?”
“Deket sebagai lawan jenis gitu?”
Giana menggeleng. “Nggak kok, cuma sekadar tetangga aja.”
“Oh begitu, padahal kalau deket sama Mbak Gi, cocok banget. Mas Flowers orangnya friendly, pas untuk Mbak Giana yang ramah tapi agak jutek sedikit.”
Giana berdecis. “Kamu ada-ada saja.”
“Atau Mbak Giana deket sama cowok yang beberapa hari ke sini.” Celetuk Bayu.
Riska menoleh, meminta kejelasan siapa pria yang dimaksud. “Siapa sih?”
“Itu yang pakaiannya rapi, kalem, dan agak pendiam. Masa nggak inget sih?”
“Oh Mas yang itu,” seru Riska. “Jadi sama yang itu ya, Mbak?”
“Maksud kamu Indra? Nggak kok, cuma temen juga. Kalian bergosip tentang aku?”
“Nah, rasakan kamu, Ris.” Ucap Bayu menakut-nakuti Riska. “Saya permisi ya Mbak Gi, saya sudah beres makan siang.”
“Bay, nggak tanggung jawab banget sih,” Riska menatap Giana takut-takut. “Mbak, kita nggak bergosip kok. Kami kaget aja soalnya selama kerja di sini, baru kali ini liat Mbak Gi ada tamu cowok yang bukan klien. Jadi kami senang dan berharap Mbak Giana cepet dapat pasangan.”
“Nggak apa-apa kok, nggak perlu mengkhawatirkan aku soal pasangan.” Sahut Giana.
Tidak ada yang tahu soal Indra yang merupakan mantan pacar dari Giana. Karyawan lama yang mengenal Indra memang sudah resign semua dan saat ia putus kebetulan masuk karyawan baru dan jumlahnya semakin bertambah seiring berkembangnya toko kue Giana.
“Mbak Giana nggak marah kan?”
“Nggak Ris, tapi aku memang nggak ada hubungan sama Erlan atau sama Indra. Mereka hanya teman saja jadi kalian jangan bergosip lagi ya.”
“Baik Mbak.”
“Oh iya, nanti saya pulang cepat. Kamu cek semua sebelum pulang ya.”
“Siap Mbak, nanti saya hubungi kalau semua sudah beres.”
***
Saat ini, Giana sudah berada di dalam mobil yang dikendarai oleh Indra. Pria itu menjemput Giana ke toko, padahal ia sudah meminta agar bertemu di lokasi saja. Tapi, Indra menolak dan ngotot untuk menjemput dan alhasil, karyawan Giana kembali heboh karena tahu atasannya pergi dengan seorang pria.
“Karyawan kamu pada heboh ya waktu tau aku jemput kamu.” ucap Indra sambil pandangannya fokus ke depan.
Giana tersenyum canggung. “Selama ini mereka tau aku nggak pernah punya teman cowok, jadi ya reaksinya berlebihan.”
“Kamu nggak pernah pacaran sejak kita putus?” Indra sedikit terkejut.
“Iya, selama dua tahun ini aku sendiri.”
“Karena aku?”
Wanita itu menggeleng cepat. “Bukan-bukan, jangan salah paham atau merasa bersalah. Aku masih mau fokus ngembangin toko jadi kalau harus ada hubungan dengan orang lain, rasanya akan merepotkan.”
Indra mengangguk pelan. “Oh, aku kira karena hubungan kita dulu.”
“Nggak kok, santai saja.”
“Selama ini, kamu ngapain aja?”
“Masih sama seperti dulu, fokus sama toko. Kamu sendiri?”
“Aku? Aku sibuk merenungkan semua yang terjadi dalam hidupku.”
“Merenung?”
“Nanti aku cerita, biar aku fokus nyetir dulu ya.”
Tidak lama, keduanya sudah sampai di restoran yang merupakan tempat makan kesukaan Giana ketika masih menjalin hubungan dengan Indra. Namun, sejak putus dengan pria itu, Giana tidak pernah menginjakkan kaki lagi di restoran Jepang tersebut.
Sebelumnya, Indra sudah melakukan reservasi terlebih dahulu. Jadi, ketika mereka sampai, waitress langsung membawa ke meja yang sudah disiapkan. Hal ini selalu Indra lakukan ketika dulu akan mengajak Giana makan malam romantis. Kali ini, Giana kembali merasakan perlakuan spesial dari mantan pacarnya.
“Indra, gimana kabar orang tua kamu? Sehat kan?”
Indra menampakkan senyum, tapi senyum itu terlihat sedih. “Mama sudah meninggal dan aku hanya tinggal sama Papa.”
Giana terdiam ketika Indra mengatakan hal yang mengejutkan baginya. Wanita yang menolaknya untuk menjadikan menantu, kini telah tiada.
“Aku turut berduka dan maaf aku sudah membuat kamu mengingat hal yang menyedihkan.” Ucap Giana tidak enak.
“Aku baik-baik aja kok, Gia. Mama meninggal karena sakit beberapa waktu yang lalu.”
“Jadi itu yang membuat kamu nggak jadi menikah?”
Indra menggeleng pelan. “Sejak awal, kamu sudah tau kalau aku menolak perjodohan itu. sampai akhirnya kamu menyerah dan membiarkan aku dengan wanita pilihan Mama. Tapi aku nggak pernah merasakan kecocokan sama dia, sikapnya terlalu cuek, tidak hangat seperti kamu dan kami nggak bisa sama-sama. Akhirnya aku memutuskan untuk pisah dan membatalkan rencana pernikahan ketika Mama sudah pergi.”
“Indra…”
“Jangan khawatir dan jangan kasian sama aku, Giana. Justru saat ini aku bahagia walaupun aku sendiri tanpa pasangan. Sejak kita pisah, aku nggak pernah bisa melupakan kamu. segala kenangan kita selalu membuatku ingin mencari kamu. Tapi, aku masih berusaha untuk menghargai keputusan kamu yang rela kalau aku dengan wanita pilihan Mama. Akhirnya, tiga bulan kebelakang, aku menyerah, Giana. Aku menyerah untuk tidak lagi menepis bayanganmu, tidak mau lagi melupakan semua kenangan tentang kita dan aku bertekad untuk menemui kamu. Sekadar untuk melepas rindu, rindu yang kadang membuat aku merasakan sakit.”
Penjelasan Indra berhasil membuat Giana kelimpungan. Apa yang Indra katakan membuatnya terkejut sekaligus bingung harus menanggapi seperti apa. Baginya ini terlalu tiba-tiba dan sangat mengganggu perasaannya.
“Harusnya kamu tetap usaha untuk mencoba dengan pilihan mama kamu, Ndra. Jangan malah memunculkan bayanganku lagi karena itu membuat aku merasa bersalah sama wanita pilihan mama kamu. Kita sudah sepakat mengakhiri semuanya dengan baik-baik, harusnya kamu jangan temui aku lagi. Apa kamu nggak merasa bersalah sama mama kamu yang sudah tenang di tempatnya sekarang karena kembali menemui aku?”
“Aku tau kalau aku salah. Tapi aku akan semakin bersalah kalau menikah tanpa cinta sama sekali dan di hatiku masih ada kamu. Jadi biarkan aku kembali, biarkan aku menjadi teman kamu, Giana. Aku mau agar kita bisa bertemu tanpa ada rasa canggung dan bisa bersikap layaknya teman lama. Aku juga tidak merusak hubungan orang lain karena kamu sendiri bilang lagi sendiri. Kamu nggak dekat sama siapa-siapa kan?”
Pertanyaan Indra membuat Giana tiba-tiba mengingat sosok Erlan. Ia merasa aneh, kenapa wajah pria itu muncul dalam ingatannya ketika Indra melontarkan pertanyaan yang harusnya bisa ia jawab dengan mudah. Keberadaan Erlan akhir-akhir ini memang membawa hal yang aneh pada Giana. Belum lagi setiap kontak fisik yang terjadi dengan Erlan, selalu berhasil membuat jantungnya berdegup dengan cepat. Giana berusaha menghalau bayangan Erlan dan kembali fokus dengan pria di hadapannya.
“Aku nggak deket sama siapa-siapa kok. Tapi, sebaiknya kita jangan membahas hal yang terlalu personal. Kita bisa ceritakan hal yang sama-sama membuat hati menjadi nyaman. Kalau kamu butuh teman cerita, aku siap mendengarkan.” Ucap Giana dengan penuh penekanan.