Hari ini, hari Jumat dan Giana mengambil libur sehari karena beberapa hari bekerja dengan begitu giat sampai badannya terasa remuk. Ia tidak akan pergi ke mana-mana, hanya ingin berdiam diri di rumah. Namun, tiba-tiba ia menemukan sebuah ide untuk mengajak Brownies ke rumahnya. Giana bergegas menghabiskan sarapan sereal agar bisa ke rumah Erlan sebelum pria itu berangkat kerja.
“Mau ke mana?” tanya Maria begitu melihat Giana berjalan ke pintu keluar.
“Aku mau ke rumah Erlan sebentar.”
“Tumben, kalian lagi pendekatan?”
Giana menggeleng cepat. “Jangan salah paham, Ma. Aku ke sana mau pinjem kucingnya, mumpung aku libur.”
“Berawal pinjem kucing, nanti saling pinjem hati,” goda Maria sambil tertawa. “Mama suka nih perkembangannya.”
“Terserah Mama, masih aja ngarep aku deket sama Erlan. Mending aku cari cowok lain daripada deket sama playboy kayak Erlan.”
“Mama yakin kalau dia bisa sama kamu, pasti dia bakalan tobat.”
Giana menggeleng tidak percaya karena Maria sama sekali tidak peduli dengan keadaan Erlan yang gonta ganti pasangan. “Udah ah, Mama makin ngawur. Bukannya dijauhkan dari cowok gendeng, ini malah disodorin dengan semangat.”
Setelah berdebat dengan Maria, Giana segera pergi ke rumah Erlan. Sungguh dalam hati dan pikirannya, tidak ada niat untuk dekat dengan tetangga yang selama ini membuatnya terganggu. Ia hanya ingin bermain dengan Brownies untuk menamani liburnya hari ini.
“Erlan..” panggil Giana. “Erlan, ini aku Giana.”
Tidak lama, pria itu muncul dengan tampilan formal namun tetap terlihat modis dan santai. Seperti biasa, senyum manis pria itu selalu tersaji ketika bertemu dengan Giana.
“Morning,” sapa Erlan ramah. “Ada apa, Giana?”
Giana langsung masuk begitu pagar di buka. “Pagi, aku mau pinjem Brownies.”
“Pinjam Brownies? Maksudnya?”
“Hari ini aku libur, jadi aku mau ajak Brownies ke rumahku. Boleh nggak?”
“Boleh, bawa aja. Nggak sekalian ngajak yang punya ke rumah kamu?” goda Erlan.
“Jangan mulai! Mana Brownies?”
“Ada di dalam, nggak mau masuk dulu? Kamu sudah sarapan?”
Giana mengangguk. “Sudah.”
“Aku lagi sarapan, kalau mau gabung biar aku buatin Mate Tea. Gimana?”
“Hhmm, boleh deh.”
Tidak ada yang salah dengan tawaran Erlan sehingga Giana tidak perlu menolak. Tidak suka dengan kebiasaannya berganti-ganti perempuan, bukan berarti tidak suka juga dengan niat baiknya. Begitulah Giana mencoba berpikir tentang pria yang kini tengah sibuk membuatkannya teh.
“Aku sering dengar soal Contento dan beberapa kali klien kalian pesan wedding cake sama aku. Tapi aku nggak sangka kalau itu milik kamu.” kata Giana pada Erlan.
“Aku juga nggak tau kalau kamu pemilik toko wedding cake terkenal itu.”
“Kamu senang dengan pekerjaan sekarang?”
“Harus senang karena apa yang aku miliki sekarang adalah buah dari kerja kerasku sama Regina.”
Giana mengangguk sambil menggendong Brownies. “Kamu jarang makan di rumah ya?”
“Iya, aku lebih sering makan di luar. Di sini cuma numpang tidur saja.”
“Di luar? Sama teman wanita kamu?”
“Kadang iya kadang juga sama temen-temen kuliahku dulu,” sahut Erlan santai sambil membawa satu cangkir teh ke meja makan. “Silakan diminum.”
“Makasih.”
“Aku sambil makan roti ya.”
“Iya santai aja.”
“Kok tumben liburnya nggak di hari minggu?” tanya Erlan sambil mengunyah roti.
“Iya karena beberapa hari ini aku lembur terus jadi aku mau istirahat.”
“Terus, mau istirahat kenapa ngambil si Brownies? Yang ada kamu nggak bisa istirahat.”
“Nggak masalah kok, toh dia nggak akan nangis kalau lapar, nggak nangis minta jajan, nggak marah kalau ngantuk.”
Erlan tersenyum. “Kamu lucu ya, aku selalu ketawa kalau sama kamu.”
“Memangnya aku pelawak suka bikin ketawa.”
“Bukan begitu, wanita yang dekat sama aku selalu ngomongin hal-hal yang membosankan. Ngomongin shopping, salon baru, tempat makan enak, atau ngomongin penampilan. Nggak asik dan bikin bosen.”
“Kalau nggak asik kenapa masih sering gonta ganti cewek?” tanya Giana sambil menyesap teh miliknya.
“Aku nggak gonta ganti, mereka yang datang dan mereka yang suka salah paham.”
“Salah paham?”
Erlan mengangguk. “Mereka salah paham sama sikap baikku.”
“Jelas mereka salah paham, kamu kan memperlakukan mereka lebih dari teman.” Sindir Giana.
“Kamu juga termasuk orang yang salah paham sama sikapku?” Erlan menatap Giana dengan tatapan jail.
“Ckck. Aku nggak akan termakan omongan dari mulut buaya seperti kamu. Aku ini lebih berpengalaman soal itu.”
“Aku lupa kalau kamu lebih tua.” Celetuk Erlan.
Giana menatap kesal. “Nggak usah bawa-bawa tua atau muda.”
“Sori, tapi kenyataan.”
“Erlan!”
“Bercanda, Giana.”
Setelah perdebatan konyol, keduanya hanya diam. Giana fokus bersama Brownies sedangkan Erlan hanya tersenyum sambil memandang Giana yang duduk di hadapannya. Tidak ada interaksi lagi sampai Erlan selesai dengan sarapannya.
“Kalau kamu sudah pulang, aku kembalikan si Brownies,” ucapnya saat keluar dari rumah Erlan sambil membawa kucing beserta kandangnya.
“Iya santai saja. Dikembalikan besok juga nggak apa-apa. Kamu bawa seminggu juga boleh kok.”
“Iya aku cuma pinjam sehari saja. Udah ya, aku balik dulu.”
“Iya Giana, semoga harinya menyenangkan.”
“Kamu juga.”
***
Erlan sedang fokus dengan beberapa laporan yang sudah tersusun rapi di atas mejanya. Satu-satu ia perikasa dengan teliti agar tidak ada yang terlewati. Sejak sampai di kantor, ia begitu semangat melakukan pekerjaannya. Entah karena perutnya yang kenyang setelah sarapan atau karena sarapannya sambil memandang wajah cantik Giana.
“Permisi Mas.” Dara muncul dari balik pintu.
“Kenapa Dar?” Erlan fokus tanpa menatap Dara.
“Mas, jangan lupa nanti siang kita ketemu sama vendor yang baru di kafe Delta.”
Erlan mengangkat wajahnya lalu menatap Dara dengan serius. “Untung kamu ingetin saya, kalau nggak bisa lupa.”
“Nggak akan lupa Mas, kan saya juga ikut ke sana.”
“Oke, biar saya bereskan dulu laporan ini. Semoga sebelum jam makan siang sudah selesai.”
“Semangat ya, Mas. Hari ini kok kayaknya semangatnya nambah berlipat-lipat.”
“Pagi ini teh saya manisnya pas dan bikin saya senang.”
Dara mengerutkan dahinya. “Mas Erlan emang ajaib, perkara teh manisnya pas aja bisa bikin good mood ya.”
Pria itu tertawa karena ucapan karyawannya. “Begitulah, hidup terkadang hanya perlu dibawa santai jadi kita juga happy, kan?”
“Benar, manusia mengeluh hidupnya ruwet padahal dia sendiri menciptakan semuanya ruwet. Oke deh Mas, saya balik kerja dulu.”
“Dara, tunggu!” seru Erlan.
“Iya Mas?”
“Dara, apa kamu nggak tertarik kerja sama dengan Giana Cake and Pastry?”
“Kerja sama? Maksudnya semua klien kita arahkan pakai wedding cake di sana?”
“Benar, pasti klien suka dan dia juga untung kan?”
“Tapi denger-denger dari WO lain, yang punya nggak mau terikat kontrak, Mas. Jadi kayaknya sia-sia juga mau menawarkan kerja sama.”
“Kamu tau alasannya?”
Dara menggeleng. “Saya sih nggak nanya karena nggak ada kepentingan.”
“Tapi coba pertimbangkan lagi, ini kan bagian dari meningkatkan kualitas dari pelayanan kita.”
“Tapi kenapa harus dengan Giana Cake and Pasrty, Mas? Selama ini kita selalu kasih klien pilih wedding cake mereka dan kita hanya perlu memfasilitasi pas hari H”
“Saya pernah coba cake-nya dan rasanya enak. Selain itu, Giana memiliki nama yang sudah cukup terkenal dengan hasil karyanya yang berkualitas bahkan namanya diperhitungkan dalam bidang bisnis wedding cake. Saya bahkan sempat membaca artikel yang memuat kesuksesannya. Ini bisa jadi daya tarik bagi WO kita dan pihak dia juga pasti mendapat untung besar dengan kerja sama kita.”
Dara mengangguk paham dengan penjelasan atasannya. “Oke Mas, nanti saya coba cari tau kenapa pihak Giana tidak pernah mau kerja sama dan kita akan manfaatkan kelemahan kontrak dari WO yang pernah mengajukan kontrak dengan Giana.”
“Bagus, kamu memang karyawan sekaligus asisten saya yang paling mengerti keinginan saya.”
“Asal bonusnya nambah ya, Mas.”
“Gampang, nanti saya tambah bonus untuk kamu.”
“Serius Mas?” tanya Dara dengan mata berbinar.
“Saya tambah lima ribu perak.”
Dara mendesah pelan. “Harusnya saya tidak terlalu berharap.”
“Jangan begitu, saya terdengar seperti atasan yang kejam.”
Dara tersenyum lebar. “Nggaklah, Mas Erlan bos paling the best.”
“Saya tau dan itu sudah jadi rahasia umum.”
“Astaga, narsis sekali. Kalau begitu saya balik dulu, Mas.”
“Oke, makasih ya Dara.”
“Sama-sama, Mas.”
***
Giana benar-benar menikmati waktu liburnya dengan baik. Bahkan Maria sama sekali tidak protes ketika wanita itu bermalas-malasan bersama dengan kucing cokelat itu.
“Lucu banget sih,” Giana gemas dengan kucing milik Erlan. “Beda sama pemiliknya yang suka nyebelin.”
Ponsel milik Giana berdering singkat, pertanda sebuah pesan masuk. Giana segera meraih ponsel di sebelahnya, lalu melihat siapa yang mengirim pesan.
“Erlan?”
Tetangga menyebalkan : brownies mana?”
Giana : ada, lagi main sama aku. Kenapa?
Tetangga menyebalkan : coba foto
Giana : send picture
Tetangga menyebalkan : kenapa nggak foto sama kamu juga?
Tetangga menyebalkan : dia nyusahin nggak?
Giana : takut nanti fotoku di jampi-jampi sama kamu.
Giana : nggak kok. Udah kerja sana, nggak usah mikirin brownies.
Tetangga menyebalkan : hahahaha, baiklah. Bye Giana.
Giana : bye.
“Semacam bapak-bapak yang khawatir sama anaknya yang lagi dititip di day care,” gerutu Giana.
***
Erlan baru kembali ke kantor bersama Dara setelah meeting dengan vendor baru yang akan bekerja sama dengannya. Suasana kantor nampak ramai karena masih dalam waktu istirahat makan siang. Namun, ada yang aneh dengan penglihatan Erlan ketika menu makan siang karyawannya semua sama.
“Wah, ada yang ulang tahun nih?” tanya Erlan santai. “Buat saya mana?”
“Ah Mas Erlan bisa saja. Makasih banyak kiriman makanannya, menunya enak.” Ucap Tini.
“Mas Erlan traktir kami makan?” bisik Dara.
“Ah, iya anggap saja begitu.” Jawabnya. “Silakan nikmati makan siang kalian, saya ke ruangan dulu.”
“Makasih banyak, Mas Erlan,” seru karyawan yang lain.
Erlan merasa ada yang tidak beres, lalu segera mengambil ponselnya ketika sudah sampai di ruangannya. Ada pesan masuk dan beberapa panggilan telepon dari orang yang sama. Raut wajah pria itu merah padam, tangan kirinya mengepal dan nyaris membanting ponsel miliknya sendiri.
“Kenapa nggak pernah sadar diri? Masih saja usaha padahal aku sangat tidak suka cara seperti ini! Benar-benar membuatku muak!” ucap Erlan emosi.
***
Sudah pukul sepuluh malam dan Giana masih menunggu kepulangan Erlan. Ia sudah menghubungi pria itu tapi tidak ada jawaban. Bisa saja Giana mengembalikan Brownies besok tapi karena ia masih terjaga jadi ia memutuskan untuk menunggu sambil menonton tv sedniri, karena Maria sudah tidur.
Tiba-tiba, ia mendengar suara deru mobil di depan rumahnya dan ia yakin itu pasti Erlan. Cepat-cepat ia berlari ke depan, untuk memastikan keyakinannya. Benar saja, Erlan sudah pulang dan Giana segera keluar dari rumahnya sambil membawa Brownies dalam kandang.
“Erlan!” panggil Giana.
Erlan yang turun dari mobil untuk membuka pagar rumah, menatap Giana dengan dingin. Giana merasa aneh karena baru kali ini melihat Erlan tanpa senyum.
“Kenapa pulang malam?”
“Ada apa?” Erlan datar.
“Aku mau balikin Brownies.”
“Oh, iya sini bawa.” Saat meminta kucingnya, tubuhnya nampak tidak seimbang dan hampir saja jatuh.
“Kamu kenapa?” Giana curiga.
“Nggak apa-apa.” jawabnya ketus. “Aku mau masuk, mana Brownies?”
Giana bisa mencium aroma alkohol yang menyengat dari tubuh Erlan. Ia sangat yakin kalau pria ini habis minum dan sekarang dalam kondisi mabuk.
“Kamu mabuk, ya?”
“Kamu cerewet.”
Wanita itu mendengkus sebal. “Brownies aku kembalikan besok saja. Kalau mabuk jangan bawa mobil sendiri, yang ada nanti kamu celaka.” Sindir Giana.
Erlan tidak peduli dengan ucapan Giana dan memilih kembali ke dalam mobil. Pria itu meninggalkan Giana yang tengah menatap kesal ke arahnya.
“Dasar cowok aneh, kenapa sikapnya berubah hanya karena mabuk?” gerutunya lalu kembali ke rumah bersama kucing lucu itu.
Giana memutuskan ke kamar dan beristirahat. Ia masih tidak percaya dengan sikap Erlan yang dingin dan ketus. Iseng-iseng ia membuka tirai pintu menuju balkon. Ia penasaran apakah Erlan sedang ada di sana atau tidak. Giana ingin tahu apa yang terjadi dengan pria itu.
Hati-hati Giana membuka tirai tersebut dan benar saja, Erlan sedang duduk di sana. Giana mencoba melihat dengan jelas lagi. Erlan sedang merokok dan satu tangannya memegang gelas dan itu pasti minuman beralkohon.
“Dia kenapa sih? Habis putus cinta atau berantem sama ceweknya? Emang ceweknya yang mana?” gumam Giana bingung sambil tetap mengintip pria di seberang. “Kenapa aku ngerasa Erlan ini pria yang misterius ya? Dia selalu terlihat baik-baik saja tapi nyatanya sikapnya bisa ketus dan dingin.”
Tidak ingin dipusingkan oleh urusan tetangga, Giana memutuskan untuk kembali ke tempat tidur dan menikmati malam ini dengan istirahat yang nyaman. Walaupun ia masih penasaran dengan Erlan, Giana berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya.
“Tidur Giana, jangan kepo sama masalah orang.” Ucapnya pada diri sendiri.