“Kalian tenang saja, saya bisa buatkan wedding cake sesuai dengan budget kalian. Teman saya juga sudah cerita kok soal kondisi kalian, jadi tenang saja. Saya pasti buatkan wedding cake yang cantik untuk pesta pernikahan kalian.”
“Terima kasih Mbak Giana. Saya nggak tau harus ngomong apa lagi selain terima kasih dan semoga Tuhan membalas kebaikan Mbak Giana dan teman-temannya.” Ucap calon mempelai wanita.
“Saya berdoa semoga usaha Mbak Giana sukses dan Mbak juga dipertemukan dengan orang-orang yang baik.”
“Amin, terima kasih untuk doanya.” Ucap Giana ramah. “Nanti biar Dara yang menghubungi pihak WO kalian jadi semuanya saya pastikan berjalan lancar.”
“Baik Mbak Giana, kalau begitu kami pamit permisi.”
Giana beranjak dari duduknya lalu mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. “Terima kasih sudah mempercayakan wedding cake kalian kepada kami dan semoga acara pernikahan kalian berjalan lancar.”
“Sama-sama Mbak Giana.”
Beres dengan klien, Giana kembali bersiap untuk melakukan pekerjaan utamanya. Saat sibuk mengikat rambut, ponsel yang ditinggalkan di atas meja berdering nyaring. Giana kembali ke meja kerjanya dan melihat siapa yang tengah menghubunginya.
“Nomor baru?” gumamnya. “Halo, selamat siang.”
“Hai Giana.”
Kening Giana mengkerut mendengar suara dari seberang sana. “Iya, maaf ini dengan siapa?”
“Tetangga kamu yang paling ganteng dan manis.”
Giana langsung menghela napas saat tau siapa yang kini berbicara dengannya di telepon. “Iya ada apa? Dapet nomorku dari siapa?”
“Dari Tante Maria, siapa lagi. Kamu sibuk ya?”
“Jelas, ini kan jam kerja.”
“Kalau jam makan siang, sibuk nggak?”
“Ada apa sih, Erlan? To the poin aja karena aku ada kerjaan.”
“Aku mau minta tolong kamu temenin aku ke pet shop. Beli perlengkapan untuk EG.”
“Astaga, kenapa nggak sendiri aja?”
“Bisa sih sendiri aja, tapi kalau kamu mau nemenin dan bantu aku pilih kandang yang baru, aku bakalan seneng banget.”
Giana mendengkus sebal karena gemas dengan sikap Erlan. “Nanti aku hubungi kalau kerjaan aku udah beres.”
“Oke, bye Giana.”
Giana tidak membalas salam terakhir dari Erlan. Ia meletakkan ponselnya begitu saja di atas meja lalu pergi dari ruangannya.
“Tetangga nyebelin, suka ganggu. Kayak nggak ada kerjaan, ada aja yang hal yang dibuat-buat untuk melibatkanku,” gerutunya.
***
“Kenapa lo senyum-senyum?” Wahyu curiga dengan temannya yang duduk di hadapannya. “Habis dapet mangsa baru?”
Erlan tersenyum sambil menggeleng, tangannya dengan santai menggapai cangkir berisi kopi lalu menyesapnya pelan. “Gue nggak lagi mancing tapi gue lagi tertantang sama satu cewek yang sikapnya beda jauh sama cewek yang selama ini dekat sama gue.”
“Siapa?” Wahyu curiga. Teman sekaligus rekan bisnisnya ini nampak tidak biasa ketika membicarakan seorang wanita.
“Tetangga gue. Lo ingat kan kalau gue sudah pindah dan tinggal di komplek perumahan. Nah sebelah rumah gue, tinggal cewek sama ibunya. Asli galak banget, udah kayak macan mau nerkam mangsa. Oh ada lagi, ngalahin emak-emak yang ditegur karna salah belok.”
“Serius? Ada yang berani begitu sama seorang Erlan yang bisa dapat cewek mana pun yang lo mau?”
Erlan terkekeh. “Gue nggak pernah sombong soal omongan lo barusan. Lo aja yang sering bilang gue gampang dapat cewek. Tapi ini serius, gue penasaran banget sama dia.”
“Lo suka?”
Pria itu mengangkat kedua bahunya. “Nggak juga, tapi gue tertarik buat bikin dia ngeliat gue.”
“Emang nggak cantik?”
“Cantik tapi bukan itu poinnya. Ada yang berbeda dan gue penasaran sama dia.” Jawab Erlan.
Wahyu mendesah pelan. “Hati-hati, lo penasaran malah jadi demen beneran. Atau jangan pernah ngerusak cewek baik-baik, kasian.”
“Gue nggak pernah ngerusak cewek, mereka aja yang selalu salah paham sama sikap baik gue.” Elak erlan.
“Terserah elo deh, yang penting gue udah kasih tau elo. Bukan demi gue tapi demi kebaikan elo sendiri.”
***
Giana baru rehat setelah berkutat di kitchen bersama dengan karyawannya. Ia kembali ke ruangan dan duduk santai di kursi kerjanya. Tubuhnya terasa pegal karena harus berdiri berjam-jam. Tangannya meraih ponsel di atas meja, untuk mengecek siapa yang menghubunginya. Beberapa pesan dari Maria dan sisanya dari kliennya.
Matanya tertuju pada jam yang tersedia di ponsel. Waktu sudah menunjukkan pukul setelah dua belas siang dan tiba-tiba ia teringat dengan Erlan. Permintaan pria itu kembali mengusiknya dan membuat Giana tidak enak hati.
“Ck. Paling nggak bisa kalau kayak gini. Males banget pergi sama dia tapi kalau aku cuekin malah kepikiran dan nggak enak. Nasib jadi orang baik hati dan perasa, ya begini.” Gumamnya.
Jarinya bergerak untuk mencari nomor ponsel Erlan yang belum tersimpan. Giana berbesar hati menghubungi pria itu dan bersedia menemaninya ke pet shop demi kucing lucu milik Erlan.
“Halo,” sapa Giana.
“Hai, kenapa Giana? Oh, sudah punya jawaban kalau kamu jadi mau nemenin aku ke pet shop?”
“Iya tapi jangan geer, aku mau karena si kucing, bukan karena kamu.”
“Namanya EG, kamu lupa?”
“Iya pokoknya itulah, lagian aku kurang nyaman dengan nama kucing itu. Biar aku ganti dengan nama yang keren.”
“Iya deh, terserah kamu. Jadi jam berapa aku bisa jemput kamu?”
“Nanti sore aja, pulang kerja.”
“Jam berapa biar aku nggak salah?”
“Jam lima sore sudah bisa kok.”
“Oke, nanti aku jemput. Makasih Giana.”
“Iya sama-sama.” Jawabnya ketus.
Giana menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi. “Sejak aku kenal Erlan, perasaan gampang banget marah-marah. Sikapnya baik tapi ganjen terus mesumnya bikin aku kesel.”
***
Mobil hitam milik Erlan sudah terparkir rapi di depan toko milik Giana. Sesuai pesan wanita itu, ia tidak diizinkan turun dari mobil karena takut menimbulkan kehebohan pengunjung tokonya yang ramai ketika jam pulang kerja. Sambil memainkan ponselnya, ia santai menunggu Giana datang. Ketika sosok yang ditunggu muncul, senyum pria itu langsung mengembang.
“Sori kalau nunggu lama, tadi ada hal penting yang harus aku kerjakan.” Ucap Giana begitu membuka pintu mobil Erlan.
“Nggak masalah kok, aku bisa nunggu.”
Giana sudah duduk, tidak lupa mengenakan sabuk pengaman demi keselamatan selama berkendara. Wajah wanita itu terlihat lebih tenang dan tidak menunjukkan rasa kesal pada Erlan.
“Kita berangkat sekarang?”
Giana mengangguk. “Boleh. Kita pergi ke pet shop yang di mana?”
“Kita ke pet shop yang ada di mall, kata Regina di sana semua keperluan hewan peliharaan cukup lengkap.”
“Regina?”
“Regina itu kakak perempuanku yang sudah menikah,” jawab Erlan sambil fokus mengemudikan mobilnya.
“Maksudnya Mamanya Ariel?”
“Iya, kakakku cuma satu dan dia Mamanya Ariel.”
“Enak ya bisa punya saudara, ada teman ngobrol. Apalagi keluarga lengkap,” gumam Giana pelan.
Erlan menyadari perubahan suasana hati Giana dan ia tidak ingin membangkitkan rasa sedih wanita itu karena hanya tinggal bersama Maria.
“Kapan-kapan, aku ajak kamu ke rumah Ariel dan kenalan sama kakakku.”
“Kenalan? Buat apa?” Giana terkejut. “Eh maksudnya aku nggak ada alasan main ke rumah kakak kamu dan nggak ada alasan juga buat kenalan. Aneh-aneh aja.”
“Nggak apa-apa, kan kamu tetanggaku. Kenalan sama Regina sebagai teman sekaligus tetanggaku.”
“Liat nanti saja, rasanya aneh.”
Tidak lama, mobil yang dikendarai oleh Erlan sudah sampai di tempat yang mereka tuju. Suasana mall cukup ramai karena jam pulang kerja dan banyak yang melepas lelah ke sana. Setelah sekian lama berstatus single, membuat Giana merasa aneh ketika jalan bersama Erlan. Belum lagi banyak mata yang tertuju pada dirinya dan Erlan. Pria di sebelahnya ini seperti memiliki kekuatan menarik perhatian para pengunjung wanita. Apalagi beberapa kali Giana menangkap basah Erlan yang sedang menyugar rambutnya yang sedikit panjang.
“Kenapa liatin aku kayak gitu?” tanya Erlan ketika menoleh, Giana menatapnya heran.
“Kamu pakai susuk atau apa gitu, kok semuanya pada merhatiin kamu?” tanya Giana polos.
Erlan tertawa mendengar pertanyaan Giana dan sama sekali tidak membuatnya tersinggung. “Kamu bisa liat aku ini ganteng, mungkin itu sebabnya mereka tertarik liat aku.”
Giana memutar bola matanya. “Males banget denger jawaban narsis begini.”
“Bercanda kok, aku sendiri juga nggak tau alasannya apa. Aku nggak melakukan hal aneh yang bisa menarik perhatian.”
“Yah mungkin kamu benar, mereka tertarik karena menganggap kamu tampan.” Ucap Giana lalu berjalan mendahului Erlan.
Erlan hanya tersenyum lalu mengejar wanita itu yang sudah masuk ke pet shop yang ada di mall tersebut.
“Kamu mau beli apa buat si kucing?” tanya Giana sambil melihat-lihat segala kebutuhan untuk hewan peliharaan. “Oh iya, aku sudah punya nama untuk kucing kamu.”
“Siapa namanya?”
“Brownies.”
“Brownies?”
Giana mengangguk sambil menatap Erlan. “Aku suka Brownies dan tadi siang aku buat itu lumayan banyak. Jadi namanya Brownies aja.”
Tangan Erlan terulur, kemudian mengacak lembut pucuk kepala Giana. “Terserah kamu, asal jangan kucing garong.”
Sekian detik tubuh Giana menegang karena perlakuan serta senyum manis dari Erlan. Bukan hal yang baru pertama kali Erlan lakukan tapi tetap berhasil membuat Giana menegang. Namun kesadarannya cepat kembali dan menepis rasa aneh yang menyerangnya.
“Kucing garong itu julukan yang cocok untuk kamu,” celetuk Giana sambil memasang raut wajah meledek.
Setelah membeli kebutuhan untuk Brownies, berupa kandang yang lebih besar, makanan, vitamin serta pernah pernik yang berhubungan dengan kucing, kini keduanya sudah keluar dari pet shop tersebut. Semua yang dibeli adalah hasil pilihan Giana dan Erlan tidak masalah dengan hal itu. Malah ia senang karena berhasil membuat Giana banyak mengeluarkan senyum.
“Kita makan dulu yuk.” Ajak Erlan. “Aku yang traktir karena kamu bantuin aku beli ini semua.”
“Boleh dan aku ngga nolak soal itu.”
“Mau makan di mana? Kamu yang pilih deh.”
“Hhhmm, makan ramen, gimana?”
Erlan mengangguk. “Boleh, enak juga.”
Saat keduanya berjalan menuju restoran ramen terkenal, tiba-tiba sosok wanita cantik dan seksi datang menghampiri keduanya.
“Erlan…” panggil wanita itu manja.
Erlan terkejut dengan kemunculan Jeslyn, teman dekatnya dulu. “Jeslyn, ngapain kamu di sini?”
“Hei, ini tempat umum, kenapa kaget begini liat aku di sini?”
“Hah? Nggak kok, Cuma nggak nyangka banyak mall di Jakarta tapi kebetulan sekali kita ketemu di sini.” Erlan menatap Giana yang kini menatap ke arah lain dengan raut wajah malas.
“Mungkin ini yang dinamakan jodoh,” ucap Jeslyn dengan mata mengedip nakal. “Siapa ini, Erlan? Pacar baru kamu?”
Sepasang mata Giana membulat karena dikira pacar dari Erlan. “Bukan, saya bukan pacarnya.”
“Dia temanku,” sahut Erlan.
“Oh aku kira pacar baru kamu. Ya sudah, aku buru-buru nih. Sampai jumpa lain waktu, kalau kangen kamu bisa telpon aku.”
Cup!
Sebuah kecupan mendarat di pipi Erlan sebelum wanita itu pergi meninggalkan Erlan dan Giana. Tatapan jijik Giana terlihat jelas dan itu membuat Erlan merasa tidak enak.
“Sori, pasti bikin kamu nggak nyaman.”
Giana mendesah kasar. “Serius ya, tatapan orang-orang di sini kayak kasian sama aku.”
“Kasian sama kamu, kenapa?”
“Karena mereka pikir, aku ini wanita menyedihkan yang pacarnya dicium di depan matanya sendiri.”
Entah kenapa penjelasan Giana terdengar lucu di telinganya. “Maaf, dia teman lamaku jadi sikapnya memang begitu.”
“Aku nggak peduli dia teman lama, mantan, pacar, kamu nggak punya kewajiban kasih tau aku. Mending kita makan sekarang daripada nafsu makanku hilang.”
“Oke oke, ayo kita makan sekarang sampai kamu puas.”
Erlan membawa pulang Giana dengan selamat. Kebetulan sekali Giana ke toko tidak membawa mobil sehingga bisa pulang bersama Erlan.
“Makasih ya sudah bantu aku buat beli keperluan Brownies.”
“Iya sama-sama, makasih untuk traktirannya,” ucap Giana sambil membuka sabuk pengaman.
“Sama-sama juga, next semoga kita bisa pergi lama.”
Giana menoleh sebelum turun dari mobil. “Tapi, belum tentu aku mau.”
“Wah ternyata langsung mendapat penolakan.” Ucap Erlan dengan nada pura-pura sedih.
Giana tersenyum, senyum manis yang baru kali ini Erlan lihat. “Aku turun ya, semoga Brownies suka sama rumah barunya.”
“Iya, salam sama Tante Maria.”
“Iya nanti aku bilangin.”
Erlan menatap kepergian Giana dengan senyum terus mengembang di wajahnya. “Giana Pramesti Adeena, nama yang cantik sesuai dengan orangnya.”