MENYELAM TANPA PELAMPUNG

1881 Words
"Apa kita perlu melihat kondisi, Pak Leo ?" Tanya Rania pada Pak Budiman. "Menurut bu Rani bagaimana ?" "Terserah saja," "Kalau bu Rani ingin melihat saya antar, " sambung Pak Budiman cepat. "Sepertinya tidak, Pak." Jawab Rania cepat.  Matanya menatap jauh ke depan, sangat jauh. Sudah jelas terbukti bahwa Pak Leo meninggalkan dirinya karena takut pada ancaman Laela, ia takut Laela bunuh diri dan membunuh anak-anaknya bila ia kembali pada Rania. Ketakutan yang bodoh, seorang akademisi dan praktisi hukum sekelas Pak Leo bisa percaya dan tunduk pada ancaman bodoh seperti itu. Rania menghela nafas panjang. Tidak ada seorang pun yang mau bunuh diri dan membunuh anak-anaknya sendiri hanya demi orang lain. Bodoh sekali. Seperti atraksi Laela pagi tadi, tentang pisau dapur yang menempel pada urat nadi. Bohong, itu dusta yang luar biasa. Faktanya sampai hari ini Laela tidak memotong urat nadinya. Itu hanya sebuah upaya untuk membawa seseorang agar berada dalam tekanannya. Pun, ketika ia melihat Pak Leo menggeleng saat dirinya meminta Pak Leo menceraikan Rania, Laela hanya meletakkan pisau dapur di atas tangannya, Laela tidak benar-benar memotong lengannya. Ini hal konyol, dan hanya orang konyol yang percaya hal konyol.   Kebodohan itu yang akhirnya membuat Rania menderita bertahun-tahun. Rania tidak bisa mentolerir kebodohan Pak Leo.  Apa yang diperbuat Pak Leo pada dirinya sungguh keterlaluan.   Jadi keputusannya sudah bulat, ia tidak akan datang ke rumah sakit hanya untuk melihat keadaan Pak Leo. Suaminya. Sama, seperti saat Rania rawat inap di sebuah klinik swasta di Martapura beberapa tahun yang lalu, Pak Leo tidak datang melihatnya. Tidak sama sekali.   Membalas dendam itu memang tidak baik tapi memberi pelajaran pada seseorang yang tidak mengerti itu kewajiban. Anggap saja ini sebuah pembelajaran bagi Pak Leo agar beliau bisa lebih faham bagaimana caranya bersikap.   "Tapi kalau kita tidak datang, siapa yang akan menghubungi keluarga Pak Leo ?" tanya Pak Budiman pada Rania, sepertinya beliau mulai bimbang. Rasa tidak teganya mulai muncul. "Atau kita kunjungi saja sebentar, setelah itu kita tinggalkan saat bu Laela sudah datang."   "Tidak perlu, Pak." "Nanti kalau Pak Leo sudah baikan, beliau pasti bisa menghubungi keluarganya." Tandas Rania. Kali ini Rania seperti raja tega. Ia bahkan tidak kasihan sama sekali pada Pak Leo.   Pak Leo sedang menikmati kemalangannya. Ia sedang bersenandung lagu sedih akibat kebohongannya. Akibat perlakuannya. Disatu sisi mungkin ia mencintai Rania, tapi disisi lain ia takut terhadap istri lainnya.  Lelaki itu harusnya punya sikap, bukan lemah seperti itu. Lelaki itu pemimpin, yang di dalamnya harus ada kekuatan untuk mensejahtera kan orang-orang yang di pimpin, bukan mencari jalan selamat atas nama harga diri dan kehormatannya sendiri.   Langit merona merah, teriknya mulai terasa, pukul satu siang, dan Pak Budiman masih ada di ruang keluarga rumah Rania. Ia diam, bingung memikirkan. Mencari jalan keluar atas permasalahan yang sedang terjadi. Naluri lelakinya sedih dengan masa depan Rania, namun perasaannya juga sebenarnya iba pada nasib Pak Leo. Ia pernah tahu rasanya bagaimana mencintai dengan dalam. Bagaimana perasaan cinta berlebih yang datang. Ia tahu rasanya, rasa itu kuat dan tidak tergantikan. Ia tahu bagaimana rasanya jadi lelaki saat harus mencintai namun tak sampai. Ia tahu bagaimana rumitnya menjalani semua yang di jalani Pak Leo saat ini. Sebagai lelaki ia sangat tahu. Beradaptasi dengan rasa sakit memang tidak mudah. Mungkin Pak Budiman pun tidak akan mampu melakukannya bila ia harus berada di posisi Pak Leo. Melihat seseorang yang sebenarnya sangat dicintai tiba-tiba muncul dengan kecantikan dan kehebatan. Saat itu iman lelaki di uji.  Mungkin sekarang Pak Leo sedang berusaha mencari jalan keluar untuk mewujudkan keinginannya kembali. Dengan iming-iming uang dan kekayaan, sayangnya Pak Leo lupa bahwa wanita yang ia tawarkan iming-iming uang dan kemewahan hari ini telah memiliki hal yang sama.   Andai saat ini Pak Budiman jadi Pak Leo, ia akan minta maaf pada Tania dengan sungguh-sungguh lalu menceraikan Rania sesuai keinginannya. Karena ucapan talak adalah hak yang harus diterima seorang istri. Pak Leo harus melakukan ini dengan cara yang benar, karena lawannya adalah Tuhan.   Rania muncul dengan roti bakar di atas piring kristal. Ia menyuguhkannya pada Pak Budiman.   Pak Budiman tersenyum ramah, pada Rania. Mereka menikmati roti bakar dan es buah nenas. Lezat, diminum saat hawa panas. "Bu Rani, beneran tidak ingin memaafkan Pak Leo ?" "Saya sudah maafkan, Pak." Jawab Rania sambil menikmati roti bakar.  "Sejak lama sudah saya maafkan, sejak anak kami harus lahir dan mati, saya sudah maafkan semua kesalahannya. Saya selalu minta pada Tuhan, bila ia harus dihukum mohon jangan dihukum dengan kesedihan, biarkan dia berlimpah harta dan kemewahan. Mudahkan jalannya memperoleh harta sampai saatnya nanti kami dipertemukan di hari pembalasan." Rania menjawab panjang. "Jadi bu Rani dan Pak Leo pernah punya anak?" Rania mengangguk. "Pak Leo tahu ?" "Tahu lah, Pak. Saat itu saya beli test pack di Malang, saat Pak Leo datang mengunjungi saya. Saat itu dia tahu bahwa hasil tes positif." "Astaghfirullah," suara Pak Budiman. "Terlalu banyak korban dari hubungan ini, mestinya Pak Leo menyudahi ini semua." Rania mengangguk lagi.   "Bukan hanya saya mungkin, Pak. Mungkin ada wanita-wanita yang lain hanya saja mereka tidak punya cara untuk bicara. Saya pun sebenarnya tidak menuntut apa-apa, saya hanya ingin di talak. Sudah itu saja."   "Apa susahnya, Pak. Memenuhi keinginan saya, agar saya bisa melanjutkan hidup saya." Rania bicara menerawang. "Mungkin saat ini saya telah berjaya dan punya uang. Tapi saya juga butuh perhatian dan kasih sayang."   "Untuk tetap menjadi istri Pak Leo sudah tidak mungkin, Pak. Laela tidak akan terima, kecuali kalau Pak Leo menceraikan Laela, itu pun Pak Leo tidak akan pernah berani."   "Laela itu bukan saya, Pak. Saya hanya diam tidak menuntut atas semua perlakuan Pak Leo. Sedangkan Laela, saat nanti Pak Leo meninggalkannya dia pasti akan menggugat kedinasan suaminya, Laela pasti punya kartu untuk mematahkan kedinasan suaminya. Kecuali," Rania menggantung kalimatnya.   "Kecuali apa ?"   "Kecuali Pak Leo sudah siap miskin." Jawab Rania mencibir. Pak Budiman membenarkan kalimat panjang yang disampaikan Rania.  Hingga terdengar bunyi bel berdentang. Rania melihat dari balik tirai jendela. "Siapa, Bu ?" Tanya Pak Budiman. "Sepertinya Laela," "Untuk apa ia kemari ?" "Entah." Usai adzan isya Rania membenamkan tubuhnya di ranjang empuk dan harum miliknya. Aroma lavender yang menyeruak membuat ia merasa harus terus terbenam di sana. Tubuhnya letih. Tadinya ia ingin langsung tidur namun sayang ia justru enggan terpejam. Otaknya berjibaku dengan rasa enggan yang kian dalam. Ada yang sedang ia pikirkan. Pak Leo, ia sedang berpikir kuat tentang Pak Leo. Sudahkah Laela menemui Pak Leo di Rumah sakit ? Untuk apa Laela datang ke rumah Rania siang tadi ? Dari siapa Laela tahu rumah Rania ? Rania bermonolog.   Ia mengguling-gulingkan tubuhnya di sprei lembut miliknya. Ia merasa gusar.  Bagaimana jika Pak Leo belum dikunjungi keluarganya ? Bagaimana bila kedatangan Laela tadi untuk menanyakan keberadaan suaminya ? Bagaimana bila itu terjadi ?   Rania bangkit,  membuka pintu almari berwarna putih. Menarik lacinya pelan, ia membuka kotak ramping yang terletak di laci tersebut. Beberapa lembar foto tergeletak di sana. Foto pernikahan dirinya dengan Pak Leo lima tahun yang lalu. Rania sengaja mencetak foto tersebut untuk ia gunakan sebagai bukti bila suatu hari dibutuhkan. Malam ini Rania memandangi satu persatu foto itu sambil berbaring. Rania benci dengan lelaki ini namun Rania iba terhadapnya, iba yang timbulkan cinta, ah, Rania mendadak resah.   Ia berdiri, mengambil jilbab lebarnya, ia kenakan di kepala. Ia biarkan foto-foto itu tergeletak berserakan di atas tempat tidurnya. Rania bangkit hanya dengan mengenakan baju tidur, celana panjang dan atasan lengan panjang dengan motif bunga. setengah berlari Rania keluar dari kamarnya, membawa ponsel dan dompet kecil. Lalu menyambar kunci mobil yang berada di meja riasnya.   Ia keluarkan mobilnya tanpa bicara pada siapapun. Rania ikuti isi hatinya. Menyusuri jalan A Yani, lurus terus. Jalanan nampak lengang, kurang lebih setengah jam mobil itu beradu dengan aspal jalanan. Ia memutar mobilnya menuju sebuah tikungan ke kanan. Sebuah bangunan megah berdiri, nampak sunyi tak ada orang yang lalu lalang.  Hanya beberapa mobil terparkir. Juga puluhan motor berjajar. Rania turun dari mobilnya, menemui petugas jaga dan menyebutkan sebuah nama. Petugas jaga itu menunjukkan sebuah lorong. Intensive Care Unit. Ruangan bersih dikelilingi kaca lebar. Bau alkohol menyebar di mana-mana. Rania menatap barisan tempat tidur yang berjajar. Lima jarinya menempel di kaca lebar itu. Pandangan matanya menatap pada wajah yang matanya sedang terpejam. Wajah damai itu, Rania memutar tubuhnya, membiarkan punggungnya tersandar di kaca. Rania menyayangi wajah itu. Sungguh, diantara rasa geramnya telah di perlakukan tidak adil.    Wajah itu kini terbaring lemah tanpa penjaga. Rania masih yakin laki-laki itu bisa menjadi baik bila ia berada di tangan wanita yang baik.  Air mata Rania turun, turun tanpa di minta. Ia ingat malam pertama mereka, ia masih ingat kecupan pertama di kening nya saat mereka melalui sholat malam berdua. Ia ingat saat lelaki itu memuji masakannya yang terlalu asin. Ia ingat semuanya. Air matanya kian deras kini. Ia ingat bahwa lelaki itu telah banyak berputar dari satu wanita ke wanita yang lain, ia masih sangat ingat.   Tubuh Rania bergetar, beberapa perawat mendekati lelaki itu, mengalungkan oksigen dan meletakkan di hidung nya. Lelaki itu susah bernafas lagi. Rania menatap nanar kejadian itu. Ia ingin mendekat namun langkah kakinya berat. Ada banyak alat menempel di tubuhnya. Sebenarnya ia kenapa ? tanya Rania. Ia merasa bodoh luar biasa.   Pak Leo. Bohong bila seorang istri tidak menghawatirkan suaminya. Bohong bila seorang istri tidak berdoa untuk kebaikan suaminya. Bohong bila seorang istri tidak ingin menjaga keutuhan rumah tangganya. Bohong besar.   Istri adalah makhluk dengan telaga luas membentang, kebaikannya melebihi kebaikan dunia. Kehebatannya dalam menjaga rasa melebihi apapun. Istri, dimanapun berada terus berdoa untuk kebaikan suaminya. Seperti juga saat ini yang dialami Rania.   Rania mendekati seorang perawat. "Maaf mohon ijin bertanya, apakah pasien yang bernama Pak Leo sudah ada keluarganya yang datang ?" "Pak Leo ?" perawat itu mengernyitkan dahi lalu melihat deretan pasien. "Pak Leo yang itu ?" "Iya," "Belum, belum ada satu pun keluarga yang datang. Apakah anda istrinya." Rania mengangguk pelan dan samar, ia malu berkata bahwa dirinya istri namun ia takut mengingkari statusnya bila ia berkata bukan istri..   "Ibu ingin berjumpa pasien ?" tanya perawat tersebut. "Tidak, " suara Rania parau. "Pasien tadi sempat sadar bu, saat di tanya apa ada keluarga yang ingin di hububgi pasien hanya menggeleng. Apakah ibu dan beliau sedang bertengkar ?" perawat itu bicara panjang lebar kemudian menambahkan kalimatnya lagi. "Pertengkaran antara suami istri bisa terjadi kapanpun dan berkali-kali, namun setiap pasangan suami istri selalu tahu kapan waktunya menyudahi. Maafkan saya bu bila saya lancang. Saya pernah marah pada suami saya hingga berhari-hari, namun sepulang kerja saya melihat rumah saya telah penuh dengan orang yang berdesakan. Saya melihat tubuh suami saya terbujur kaku bu, dia jatuh di kamar mandi. Kepalanya membentur lantai hingga terjadi pendarahan di otak. Dia meninggal sebelum saya minta maaf." Perawat itu menunduk, ia menangis. "Kita tidak petnah tahu siapa yang akan pergi lebih dahulu yang kita tahu kita bisa berbuat baik sebelum Tuhan meminta kita untuk pulang. Tidak ada salahnya untuk saling memaafkan Sebelum menyesal."   Kemudian perawat itu pergi. Meninggalkan Rania yang terdiam sendiri. Rania melihat wajah yang telah menggantung statusnya bertahun-tahun tanpa alasan yanh jelas. Rania merasa sangat sakit. Ia berlari pergi, meninggalkan ruangan itu, semakin menjauh kemudian hilang di terpa angan dan bayangan. Rania terus menangis sepanjang jalan. Haruskah ia beradaptasi dengan rasa sakit dan berkolaborasi lagi dengan lelaki yang pernah membuatnya sakit ? Rania lelah, d**a kirinya terasa nyeri. Nyeri sekali. Ia merasa sedang menyelam namun tanpa pelampung. Nafasnya tersengal-sengal, Rania berada dalam situasi yang tidak nyaman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD