Kemenangan selalu membuat yang kalah kecewa bahkan hancur. Walau kadang kemenangan dapat dicapai dengan diplomasi dan rekonsiliasi, tapi kontrol dan kuasa mutlak adalah pencapaian utama. Penundukan absolut adalah cara untuk menentukan makna kemenangan sebenarnya.
"Mretani adalah area di bagian utara Wanamarta. Wilayah ini adalah lahan bisnis para kelompok jin dan gandarwa yang berfokus pada hutang piutang, rentenir dan hal-hal serupa. Orang yang bisa dikatakan memimpin dan mengatur Mretani memiliki kemampuan manajemen yang baik sehingga menyembunyikan usaha mereka dari radar petugas hukum, para batara. Atau, bila pun para batara mengerti, kelompok jin dan gandarwa ini berhasil membuat mereka tidak ikut campur. Paham maksudku, bukan?"
Penyukilan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku overall nya, berdiri tenang sembari menatap ke atas, seakan menerawang dan merenungkan sesuatu. Mungkin masa lalunya. Kejadian ini berlangsung selama beberapa detik sampai sang ayah, Janggan Smarasanta atau yang sebelumnya juga dikenal dengan nama Ismaya mendekati anak angkat nomer dua nya itu dan menampar kepalanya dengan keras.
Penyukilan terkejut dan meringis sembari menjaga keseimbangannya.
"Kelamaan, g****k! Cerita ya cerita saja, jangan pakai dramatisasi seperti itu!" ujar Smarasanta.
Tak lama saudara tuanya, Sukodadi juga meluncur dan menyepak p****t Penyukilan, "Banyak gaya!" Bagong, saudara paling muda, bertubuh pendek namun gempal juga mendekati sang kakak laki-lakinya itu, namun berhenti tiba-tiba ketika Penyukilan melotot tajam dan menunjuk ke arahnya, "Bagong, jangan ikut-ikutan! Mau mampus kamu?!"
"Iya, iyaa ... Sialan, gak dapat bagian aku," Keluh Bagong kecewa.
"Heh, bocah gendeng, jangan banyak gaya, cerita saja. Muter-muter lagi, tak hajar habis-habisan kamu!" ancam Janggan Smarasanta.
"Iyaaa ... Jangan muter-muter kata rama, nanti dihajar," ujar Bagong menirukan ucapan ayahnya.
"Diam kamu Bagong! Sudah dibilang jangan ikut-ikutan." Penyukilan membentak Bagong lagi meski ia tak berani menatap sang rama, ayahnya. Ia melirik Sukodadi sembari mengepalkan tangannya.
Penyukilan menyapukan pandangan ke seluruh ruangan dimana semua orang menatapnya kembali. Ia memegang lehernya dimana tato nyala api dikelilingi lingkaran berwarna hitam tercetak disana.
"Ah .. Sialan. Bukannya gampang menceritakan masa laluku yang gelap ini."
"Heh b******k, siapa yang suruh situ cerita masa lalu, tuan Bratasena dan yang lain minta situ menjelaskan soal kelompok jin dan gandarwa, bukannya curhat, kampret!"
"Kalau tidak ada tuan-tuan Pendawa serta rama disini, sudah kusobek mulutmu Sukodadi."
"Mulutku sudah robek Penyukilan, mungkin mulutmu yang perlu dirobek."
"Atau kurobek saja kalian berdua dari mulut sampai ke p****t," ujar Bratasena tiba-tiba dengan suara rendahnya yang menggelegar.
Sukodadi dan Penyukilan serentak memonyong-monyongkan bibir mereka sembari bertukar kepalan tangan sedangkan Bagong terkikik puas.
"Baik, baik ... Aku akan ceritakan segera. Jangan potong ya, jangan protes juga."
Penyukilan berdiri di tengah-tengah ruangan, menyapu pandangannya kembali ke seluruh ruangan, ke arah para anggota keluarga Pandawa namun sama sekali tak mengacuhkan Sukodadi yang menggeleng-gelengkan kepalanya dengan gusar.
"Anggota kelompok jin dan gandarwa selama puluhan tahun telah berpencar ke segala penjuru negeri. Walau tujuan politis dan bisnis mereka sudah banyak berbeda, sedikit banyak rasa persaudaraan mereka masih terjaga. Mereka seakan sudah menjadi semacam ras bangsa tertentu. Bentrok sering terjadi diantara mereka karena kepentingan yang berbeda pula, namun persaudaraan harus dijadikan sarana komunikasi pertama dalam menyelesaikan semua masalah.
"Mretani dipimpin oleh seorang tokoh dari kelompok jin bernama Yudistira. Ia memiliki empat orang kepercayaan yang merupakan adik kandungnya sendiri. Mereka adalah Dandunwacana, Dananjaya, Tripala atau Nakula dan Grantika atau Sadewa. Orang-orang lain di sekitar mereka adalah Anggaraparna, anggota gandarwa yang memegang peranan sebagai pengelola administrasi serta satu orang lagi anggota jin bernama Damdarat sebagai kepala eksekusi program-program mereka di lapangan, sang jendral perang."
"Aku serang saja langsung di sarang mereka," ujar Bratasena seperti biasa, tanpa basa-basi.
Kali ini Smarasanta yang terkekeh, paham akan tabiat tuannya itu.
"Wah tuanku Bratasena, siapa yang meragukan keberanian tuan. Hanya saja kaum jin dan gandarwa sangat lihai dalam menyembunyikan diri. Mereka bergerak dengan penuh perhitungan dan terencana."
"Aku sendiri yang akan mencari mereka. Kalau perlu aku obrak-abrik Wanamarta untuk mencari tahu dimana sebenarnya Mretani itu."
"Percaya, percaya, tuan Bratasena. Tapi tuan tidak perlu berepot-repot mencari mereka."
"Kenapa memangnya Smarasanta?"
"Mereka yang akan datang sendiri kepada kita."
"Bagus ... Bagus ... Aku sudah tidak sabar menghajar mereka."
Bratasena berjalan ke belakang meja bar, mengambil sebuah benda panjang yang ternyata adalah sebuah baseball bat. Semua anggota Pendawa paham, benda itu adalah salah satu senjata signature Bratasena yang diberi nama Rujak Pala. Baseball bat yang terlihat seperti umumnya pemukul bola dalam olahraga baseball itu sudah melewati banyak pertarungan. Bratasena sudah menghajar bahkan membunuh musuh-musuhnya sampai hancur lebur seperti rujak. Maka diberilah benda itu nama Rujak Pala yang kurang lebih dimaknakan dengan menghajar musuh sampai hancur seperti rujak.
Bratasena menimbang-nimbang Rujak Pala, meraba permukaannya dan meletakkannya di bahu.
Smarasanta berdehem.
"Walau begitu tuan Bratasena, kita harus tetap memiliki rencana tertentu untuk menguasai seluruh Wanamarta."
"Benar kata rama, tuan," ujar Penyukilan.
"Dua kelompok utama yang serasa memiliki Wanamarta ini juga pasti sudah memiliki cadangan siasat untuk menghadapi kita. Kelompok jin dan gandarwa menjadi ujung tombak perusahaan Pringgandani milik kaum buta. Walau hubungan mereka panas dingin, dendam rindu, kaum jin gandarwa masih tetap berada di bawah para buta.
"Pringgandari Corp. sebenarnya bergerak di bidang pengepakan daging dan penjualannya. Mereka cukup ahli di bidang ini. Mereka mengirim daging ke kota-kota di luar daerah Wanamarta bahkan beberapa sampai ke luar negeri. Berlandaskan atas bisnis ini, mereka juga mengirim serta membeli obat-obatan terlarang yang dimasukkan ke dalam daging-daging pak itu. Itu sebabnya bidang medis lah bisnis mereka yang utama. Pengiriman obat-obatan, bukan hanya untuk penyakit namun juga termasuk di dalamnya obat-obatan untuk kecantikan, kosmetik atau stamina. Dengan kedok medis ini, mereka dapat terus menyelundupkan obat-obatan terlarang.
"Kalau para buta menjual narkoba sembari memalak semua lini bisnis di Wanamarta, otomatis termasuk milik kita atas nama Astina Enterprise, sebaliknya para jin dan gandarwa memilih meredam perilaku mereka. Tapi tetap saja mereka berada di bawah kaki para buta. Suka tak suka, bila perintah khusus dari pusat datang, maka harus dilaksanakan."
"Bila begitu, ada baiknya kita menyerang saja langsung ke pusat kelompok buta. Kita potong kepalanya sehingga tubuh dan ekornya ikut tamat," kali ini Sukodadi yang berpendapat.
Smarasanta memukul kepala Sukodadi. Walau tak sekeras yang ia lakukan pada Penyukilan, ini sudah cukup membuat Penyukilan tertawa puas.
"Mana bisa seperti itu, bodoh!" ujar sang rama.
"Bukankah sudah dijelaskan, jin dan gandarwa tidak memiliki hubungan yang baik dengan para buta. Mereka hanya terpaksa bekerja sama sebagai kelompok taklukan. Kalau kelompok buta kita kalahkan, mereka akan senang. Bukannya tunduk, mereka hanya akan membuat kita semakin repot karena merasa lepas dari p********n," jelas Smarasanta.
"Lalu, apa saranmu, Kakang?" ujar Bratasena kemudian.