Janggan Smarasanta dahulu adalah bagian dari kelompok batara. Ia mantan seorang anggota kepolisian, detektif tepatnya, yang berprestasi. Pikiran dan analisisnya tajam dalam menangani kasus. Kemampuannya dalam mengejar para pelaku kejahatan sangat mumpuni. Itu membuatnya dikenal ditakuti banyak kriminal. Namun, sebuah kesalahan fatal akibat keegoisannya di masa dahulu membuat ia dipecat dari kepolisian. Ia bukan lagi bagian dari kaum batara meski kaum batara pun masih sangat menyegani dan menghormatinya.
Di pojokan, Lady Drupadi membetulkan posisi poodle skirt hijau terangnya yang mengembang. Berbeda dengan sang ibu mertua, Madame Kunthi, yang mengenakan swing dress berwarna royal blue crepe dan bordiran bunga berwarna putih di dadanya, Lady Drupadi melengkapi penampilannya dengan baju berbahan sweatshirt lengan pendek berwarna putih dengan turtle neck yang tinggi. Kedua wanita ini masih duduk berdampingan memperhatikan percakapan anak dan suami mereka dengan para Punakawan.
Tiba-tiba Lady Drupadi mengangkat telunjuknya ke udara. Kedua matanya yang tajam dihiasi make up winged eyeliner yang semakin memperkuat kesan tajamnya.
"Kita harus kuasai Mretani terlebih dahulu, bukan begitu, Kakang Smarasanta?"
"Benar sekali, Lady. Kita bisa mengurangi korban jiwa dari kedua belah pihak dengan bernegosiasi dan berkomunikasi dengan para jin dan gandarwa."
"Bernegosiasi katamu, Kakang?" ujar Samiaji dengan heran.
"Ya, benar tuan Samiaji. Kita telah mengikutsertakan lebih dari tiga puluh orang dalam aktifitas bisnis di Wanamarta ini. Mereka kita tugaskan menjagai restoran, bar dan pub serta nightclub, pusat kebugaran, swalayan dan pasar yang merupakan lini bisnis milik kita, namun gangguan dari buta, jin dan gandarwa tidak dapat dihindarkan. Mereka menyerang orang-orang kita, tempat usaha kita, para pengedar dan pengguna narkoba bertebaran di lingkungan kita, satu-satunya cara adalah dengan melawan dan melenyapkan mereka.
"Siapa yang meragukan kemampuan Adi Bratasena dan Permadi? Namun bagaimana dengan orang-orang yang setia dengan kita? Kita tidak mungkin mengorbankan mereka segampang ini. Dengan melumpuhkan Mretani, kelompok buta pasti akan keteteran menghadapi kita. Tapi alangkah lebih baik bila jin dan gandarwa kita rekrut sebagai bagian dari kelompok kita, sehingga kekuatan kita pun bertambah, bukannya menciptakan permusuhan dan permasalahan yang terus-menerus tiada henti. Ingat, jalan kita masih panjang. Astina Enterprise adalah hak Pendawa. Itulah tujuan utama kita," ujar sang tetua Punakawan panjang lebar.
Lady Drupadi menyibakkan rambut barrel curls nya, "Darimana Kakang yakin kaum jin dan gandarwa akan dapat diajak rekonsiliasi, mengingat mereka juga memiliki bisnis gelap yang cukup riskan dan berbahaya untuk diajak kerjasama?"
Lady Drupadi bukan wanita sembarangan. Ia adalah putri sang bos perusahaan Cempalareja yang bernama Drupada. Perusahaan ini merupakan rekanan Astina Enterprise yang menyetok makanan untuk restoran-restoran milik Astina Enterprise. Bertahun-tahun kedua perusahaan telah saling bekerja sama. Letaknya yang berada di pesisir timur, membuatnya kaya akan bahan-bahan makanan seafood yang segar dan berkualitas tinggi. Dalam masalah bisnis, tentu Lady Drupadi mendapatkan teknik, pengalaman dan kecerdasan usaha dari sang ayah. Ini juga membuatnya dapat mendampingi sang suami, Samiaji, dalam segala rintangan bisnis yang mereka hadapi.
Penyukilan maju ke depan, merasa bahwa pertanyaan ini adalah bagiannya untuk menjawab. Namun, badannya yang jangkung dengan gerakannya yang tiba-tiba itu menghalangi pandangan Smarasanta dan menutupi wajah sang rama dari Lady Drupadi.
Tanpa ada tanda-tanda awal, Smarasanta menampar kepala Penyukilan lagi. Spontan dan lebih keras. Penyukilan terhuyung ke depan. Sukodadi dan Bagong tanpa aba-aba tertawa keras serentak. Mau tidak mau Lady Drupadi dan Madame Kunthi juga ikut tertawa ringan. Pinten Tangsen tersenyum, begitu pula dengan Permadi. Samiaji menggeleng-gelengkan kepalanya. Hanya Bratasena yang diam tanpa emosi. Matanya menatap tajam para Punakawan. Yang merasa diperhatikan langsung terdiam. Penyukilan meraba belakang kepalanya, menatap rama dan saudara-saudaranya seakan mengatakan, "Berhenti melakukan hal konyol. Baru tahu rasa kalian dipelototi tuan Bratasena."
Penyukilan memundurkan tubuhnya sedikit agar sejajar dengan sang rama. Ia melirik ramanya yang menunjukkan ekspresi wajah galak. Penyukilan menarik salah satu sudut bibirnya.
"Sudah sana kalau mau ngomong," ujar Janggan Smarasanta.
Penyukilan menyunggingkan senyum kemenangan.
"Begini Lady, dan tuan-tuan sekalian. Seperti yang telah kita bahas sebelumnya, kelompok jin gandarwa Mretani adalah kelompok yang inferior bila dibandingkan dengan kelompok buta. Selama bertahun-tahun mereka selalu berada di bawah kuasa dan bayangan raksasa para buta. Memang tidak mudah untuk membuat mereka beralih pihak. Ini bukan soal loyalitas terhadap para buta, melainkan soal untung rugi dan seberapa pantas kita di mata mereka.
"Tuan Samiaji adalah negosiator unggul, pebisnis yang lihai. Tuan Bratasena dan tuan Permadi adalah ujung tombak keluarga Pendawa yang pemberani dan jagoan. Kita pasti mampu membuat mereka tidak hanya memihak, namun juga menjadi bagian dari kita. Kita akan tawarkan bisnis dan keuntungan yang worth it. Mereka tidak perlu bersembunyi lagi di balik kegelapan bisnis ilegal mereka."
"Kalau mereka menolak?" suara Bratasena yang rendah dan berat itu memenuhi ruangan.
"Mereka pasti menolak, tuan Bratasena," jawab Penyukilan sembari menyunggingkan senyum liciknya.
Bratasena dan Permadi menangkap pesan melalui senyum licik Penyukilan ini. Negosiasi yang dimaksud tentu bukan sekadar percakapan dan tawar menawar kekuasaan biasa. Kekerasan tetap perlu dilakukan dalam dunia bisnis yang super keras ini. Pendawa harus mampu menunjukkan kepada kelompok jin dan gandarwa bahwa mereka berhak menjadi kerajaan bisnis terbesar di antara mereka semua. Namun begitu, walau mereka pantas memimpin karena kekuatan dan keterampilan mereka, Pendawa tetap harus menunjukkan bahwa bermain kasar pun Pendawa bukan kelompok yang tidak awam dengan hal itu.
Ketika percakapan ini berlangsung, tiba-tiba api menyembur dari empat lubang ventilasi bar. Pinten dan Tangsen dengan sigap meloncat ke arah ibu dan saudari ipar mereka, menggunakan badan untuk membentengi kedua wanita itu, melindungi mereka.
Permadi langsung berdiri dan meraba kedua holster pistol di balik jas nya. Bratasena membuka pintu bar. Kobaran api menyembur masuk membakar pintu kayu tebal bar. Bratasena menutupi wajahnya dengan lengan kirinya, namun ia bergeming. Ia mendobrak teralis hingga lepas dari engsel-engselnya dan menerobos lidah api ke luar. Permadi diikuti ke empat Punakawan menyusul, bergerak secepat mungkin menghindari api.
Api yang berkobar dari lima bom molotov menjilati dinding bar, memakan neon board yang meledakkan percikan elektris. Para Punakawan langsung berlarian mencari cara meredakan api. Menggunakan hydrant di ujung jalan.
Api sebenarnya belum begitu besar, sehingga sebentar saja para Punakawan berhasil meredakannya, meninggalkan noda-noda hitam di dinding dan bau bensin dan gosong yang kuat. Walau memiliki tubuh aneh dan tidak sempurna; pincang, jangkung, pendek gempal dan tua gendut, para Punakawan tidak bisa dianggap sepele. Gerakan mereka masih begitu lincah dan sigap.
Bratasena tetap berdiri kokoh menatap tiga sosok yang bayangannya bengkok menempel di jalan. Mengenakan setelan jas hitam dan fedora menutupi sebagian wajah mereka, ujung-ujung bibir mereka membentuk seringai kejam.
"Buta ...!" dengus Bratasena.
Anting-anting lebar menyeruak di bawah fedora yang mereka kenakan. Tiga bilah machete berkilauan dalam gelap.
"Ini baru peringatan. Lain kali, kalian yang menjadi onggokan daging bakar," ujar orang yang berdiri di tengah.
Bratasena menggenggam erat Rujak Pala di tangan kanannya. Dengan berteriak garang ia meroket ke arah ketiga anggota buta tersebut sambil mengayunkan baseball bat nya dengan keras.