The Offer

1289 Words
Perempuan cantik jangkung yang disebut Arimbi oleh pria paruh baya bernama Narada itu memandang lawan bicaranya itu tajam dan sekan tak percaya. "Aku tidak tahu bahwa anda benar-benar bodoh, polos atau terlalu berani." Sang pria menjawab dengan tak acuh, "Entahlah, mungkin ketiganya." Volume tawa sang gadis yang mendadak meletus dan menggema di dalam ruangan itu memancing dua orang dengan tubuh kekar nan besar berselimutkan setelan jas hitam dan fedora mendekati mereka. "Ada yang bisa kami bantu, Lady?" ujar salah satunya. Narada melirik ke arah dua pemuda itu. "Rupa-rupanya kelompok gandarwa dan jin dipercayakan menjadi bodyguard khususmu Lady? Mengapa tidak menggunakan orang-orang buta saja? Apakah terlalu elit? Sebegitu pelit kah Arimba dalam menjaga adiknya sendiri?" ujar pria bernama Narada itu. Kedua orang pemuda tersebut secara otomatis memegang leher mereka yang ditato. Klan gandarwa memiliki tato bergambar nyala api di leher mereka, sedangkan kelompok jin memiliki tato serupa bergambar nyala api juga namun dengan tambahan lingkaran berwarna hitam di sekelilingya. Sang gadis kembali terkekeh, "Jadi anda juga menduga bahwa aku adalah bagian dari kelompok buta dari sepasang anting-anting lebar yang aku kenakan?" "Tentu saja. Semua orang paham hal itu, bukan? "Bagus! Berarti anda juga tahu resiko kurang ajar dengan seorang buta, bukan?" balas sang gadis. "Hmm ... Potong telinga, atau jari, atau kematian. Tergantung dari tingkat kesalahan yang dibuat." Sang gadis tertawa semakin keras dan histeris, "Aku salah, aku pikir anda hanya bodoh atau lugu, atau memang berani mati. Tapi ternyata anda adalah seorang yang gila." Wajahnya berubah menjadi dingin kembali. Ia palingkan wajah dan menjentikkan jarinya. Dua orang pemuda besar kekar dan kedapatan berasal dari klan gandarwa dan jin tersebut sontak serentak maju mengepung Narada. Masing-masing memegang lengan kanan dan kiri Narada dan bermaksud menariknya. Sunnguh mengejutkan, dengan kecepatan yang luar biasa, Narada melepaskan lengannya dari salah satu pemuda kemudian berbalik memelintir lengan pemuda tersebut serta membenturkan kepala sang pemuda di meja bar. Sedangkan pemuda satunya terdorong mundur menabrak kursi-kursi bar akibat tendangan Narada. Ini membuat pengunjung yang ada terperanjat kaget. Sang pemuda yang terdorong mundur menjaga  keseimbangan. Ia kaget, marah sekaligus malu akibat kejadian ini. Tanpa basa-basi lagi, ia mengambil pisau lipat yang digantungkan di pinggangnya, langsung menyerbu ke arah Narada. Yang diserang hanya menggeserkan tubuhnya sedikit, menundukkan badan dan menggunakan lututnya untuk menghajar perut si pemuda. Kemudian Narada menjambak rambut di belakang kepala sang penyerang yang menunduk kesakitan, menempelkan kepalanya ke meja bar. Sebuah revolver Colt 2" .38 Special menempel di kepala si pemuda gandarwa. Narada menghempaskan detective badge di sisi sang pemuda sembari meyakinkan sang gadis juga melihatnya. Sepasang mata sang gadis membulat lebar. "Ampun, Bapak detektif, aku tidak melakukan tindakan kriminal apapun, bukan?" ujar sang gadis yang memang bernama Arimbi tersebut terlihat santai dan berlagak jenaka, walau ia tak mengingkari keterkejutannya tadi. Laki-laki yang ternyata adalah seorang detektif itu melemparkan sang pemuda menjauh dari dirinya. Sang pemuda gandarwa bergabung dengan pemuda jin yang kini sudah bangun walau kepalanya masih terasa pening. Mereka memandang sang detektif dengan wajah jijik namun undur diri demi melihat lambaian tangan tuan mereka, Lady Arimbi.  "Anggap saja aku sedang malas menangkap kalian dengan tuduhan menyerang petugas," ujar Narada. "Terimakasih dan maaf sebesar-besarnya dariku, Bapak detektif. Tapi bukankah legal hukumnya memiliki bodyguard yang melindungi majikannya dari gangguan pria asing yang tidak tahu rimbanya?" Arimbi memanggil sang bartender, "Berikan tuan ini minuman lagi sobat, gratis. It's on me. Dan kalian, silahkan lanjutkan pesta minum-minum kalian. Tempat ini resmi, legal. Pak detektif Narada yang terhormat ini hanya menjalankan tugas mulianya demi keamanan kita bersama," ujarnya kepada para pengunjung club yang kemudian melanjutkan acara mereka. Begitu pula trio jazz yang kembali memainkan nomer swing yang kali ini lebih lambat. "Sekali lagi maafkan atas kedunguanku yang tidak mengetahui siapa anda, detektif. Atau aku sebut batara? Batara Narada. Para pemilik kekuasaan, para aparat penegak hukum, politisi dan orang-orang pemerintahan kami sebut batara di lingkungan ini. Mohon maklum, kalian adalah dewa bagi kami. Kalian berhak melakukan apapun yang kalian mau tanpa khawatir konsekuensinya."  "Cukup sarkasmemu Arimbi. Aku datang bukan untuk menangkap kalian. Aku malas melihat penjara penuh dengan sampah buta, gandarwa dan jin. Biarkan cleaning service membersihkan penjara barang sebentar. Arimbi tertawa kembali, "Lalu, apa yang bisa aku bantu batara?" "Kekuasaan kakakmu Arimba sudah akan segera habis. Dia akan segera selesai. Narkoba bukan bisnis yang bagus. Anak-anak muda menjadi bodoh dan nekad. Tidak ada rasa hormat pada senioritas dan nilai-nilai kelompok. Banjir darah sudah semakin dekat. Aku hanya berusaha menghindarkan kota ini dari kehancuran. Aku tidak peduli bila buta menyerang gandarwa atau jin. Aku tidak peduli bila kalian saling bunuh, tapi ini kotaku. Kalian membawa serta korban dari kota ini. Aku tidak bisa tinggal diam."  Arimbi mengernyitkan keningnya, "Aku benar-benar tidak paham maksud anda batara. Apa hubungannya ini denganku?" "Oh ... Ini semua berhubungan denganmu. Bahkan semuanya adalah mengenaimu."  "Beri aku pencerahan, batara." "Berikan aku whiskey dahulu."  Arimbi menjentikkan jarinya. Sang bartender membawa sebotol whiskey dan sebuah gelas baru. "Kakakmu terlalu fokus mencoba membangun kartel narkoba. It's really a bad business. Penguasa baru sedang muncul. Mereka para Pendawa. Dinasti ini hanya menggunakan Wanamarta sebagai batu pijakan untuk misi mereka yang jauh lebih besar. Pringgandani tidak akan cukup kuat melawan pergerakan mereka."  "Oh ya, sebegitu hebat kah mereka?" "Tentu ... Tentu. Bila tidak, buat apa aku repot-repot menjelaskannya kepadamu Arimbi." "Aku masih tidak dapat menangkap maksud anda batara. Maaf atas kedunguanku."  "Aku berani bertaruh, kurang dari setahun, mungkin beberapa bulan, bahkan mungkin dalam waktu sebulan saja Mretani pasti jatuh ke tangan mereka. Gandarwa dan jin yang sudah lama inferior di mata para buta akan menjadi sumber daya penting bagi mereka untuk menyapu bersih Pringgandani. Kau anakku, adalah pewaris Pringgandani. Tidak kah kau pikirkan kekuatan kelompok kalian ketika bersatu? Dibanding Pringgandani hancur lebur tanpa sisa, bukankah lebih bijak untuk bekerja sama?" "Aku ... Bekerja sama dengan mereka? Kelompok yang berpotensi besar menjadi musuh? Anda bercanda aku rasa," Arimbi terkekeh sembari menghisap rokoknya. "Sudah aku katakan berkali-kali. Kau adalah harapan Wanamerta. Lakukan diplomasi dengan Pendawa. Datang kepada anak kedua keluarga mereka yang bernama Bratasena. Kau pasti langsung tahu yang mana orangnya begitu masuk ke bar dan casino Indraprasta. Ia adalah yang terkuat dari semuanya. Sang kakak, Samiaji adalah pengambil keputusan, tapi ia dingin dan kaku. Bratasena adalah tujuanmu dalam diplomasi ini. Ambil kekuasaan Arimba, kakakmu. Selamatkan tidak hanya Pringgandani, tapi Mretani dan Wanamarta ini. Bergabunglah bersama Pendawa." Arimbi pura-pura tersedak oleh asap rokoknya. Ia mematikan api di ujung batang rokok yang belum separuh itu. "Batara Narada. Anda sadar bukan bahwa anda terlalu bersemangat? Apa aku perlu curiga bahwa anda memiliki kepentingan besar dalam hal ini? Aneh rasanya seorang batara, detektif yang harusnya bernafsu untuk bisa menangkap dan menyingkirkan orang-orang semacam kami malah bekerja sama dengan kami." "Aku tidak sudi bekerjasama dengan kalian bila tidak demi kepentingan kota ini. Aku bisa menerima bar dan casino, pub, nightclub, walau tidak sedikit yang nakal. Paling tidak, aku tidak perlu sering-sering membungkus mayat pengguna narkoba. Aku juga tahu kau benci usaha prostitusi kakakmu bukan?" Arimbi menggumam, "Bratasena ... Pendawa ... Bila hal ini benar-benar berhubungan dengan Pringgandani aku tak ragu sekalipun, walau aku tetap curiga dengan niatan para batara. Kalian para politisi, pejabat dan polisi yang memiliki kekuasaan sangat berbeda dari kami kaum pengusaha." "Kaum pengusaha bisnis ilegal maksudmu, Arimbi?" "Baik kita sampingkan kemunafikan ini, batara. Polisi bukan orang suci, penuh dengan manipulasi. Kalian mempermainkan kriminalitas, menjaganya agar tetap bisa dijadikan bahan pekerjaan kalian." Sekarang Narada yang terkekeh, "Kami menjaga keseimbangan anakku. Peranmu jelas, menggantikan posisi kakakmu yang semakin melemah dan bergabung ke dinasti Pendawa yang akan semakin kuat." Arimbi mengambil satu batang rokok lagi, namun ia tidak menyalakannya. Si detektif pergi meninggalkan Arimbi. Ia memperhatikan punggung sang batara menghilang. Pandangannya menerawang. Bibirnya tanpa sadar mengucap perlahan, "Bratasena." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD