8| Derren dan Rahasianya

1485 Words
"AW!" Erangan itu berasal dari bibir berlipstick nude milik Nasya, ketika dirinya dihempaskan tepat diatas kursi kayu yang berada di dalam kelasnya. Sibuk mengusap-ngusap bokongnya yang terasa ngilu dengan manik yang terlihat menatap tajam ke arah tiga sahabatnya. "Kenapa sih?" Nasya mengomel dengan kening berkerut, "Pelajaran baru kelar, Gue udah di seret-seret kayak sapi gini." "Jelasin!" Kristina yang sedari tadi sibuk melipat kedua tangannya di depan d**a, kini berinisiatif mengeluarkan suaranya dengan lantang, terdengar tak kalah galak dari Nasya. "Jelasin apa?" "Jelasin kenapa lo bisa berangkat bareng Kak Rino?" Berganti menjadi Mezy, kini pandangan dari arah manik abu itu berpindah. Baru menyadari situasi heboh yang tengah terjadi kepadanya pagi hari ini. Bahkan kelas pertamapun baru saja selesai beberapa menit lalu. Tanpa menunggu reaksi lamban Nasya, Alea yang sudah gemas menanti jawaban itupun terlihat menangkup wajah Nasya dengan kedua tangannya. Meminta sahabatnya itu agar menatap matanya lekat. "Jangan bilang lo abis nginep di rumahnya Kak Rino?" Sebuah fakta yang secepat itu Nasya benarkan, karna setelah pertanyaan sok detective ala Alea selesai di keluarkan, anggukan polospun nampak Nasya keluarkan. Anggukan yang berhasil menghadirkan bibir membulat dari arah ketiga sahabatnya. Tidak mempercayai kejujuran yang sahabatnya itu berikan. "LO GILA!? LO BENERAN NGINEP DIRUMAHNYA KAK RINO!?" Tanpa perlu lagi menggunakan speaker, Suara Kristina nyatanya sudah berhasil memancing perhatian dari warga sekitar. Menghadirkan wajah datar Nasya ketika sahabat satunya itu baru saja membocorkan hal sensitif dengan sangat enteng. "Gak mau sekalian umumin di radio kampus?" tanya Nasya dengan kesal. "Nona Renasya Agnalia!" seru Alea yang berhasil mengalihkan perhatian gadis itu secepat kilat, "Lo inget kalo kita gak boleh jatuh cinta sama mangsa sendiri kan?” Mendapati pertanyaan seperti itu, jelas saja gadis itu mengangguk. Bahkan Nasya sendiri yang membuat peraturan itu, jadi mana mungkin ia melupakannya? "Lo inget, tapi lo baru aja tidur dirumah Kak Rino." "Wow!" merasa topik ini sudah melantur kemana-mana, Nasya memilih untuk membenahi pemikiran negatif para sahabatnya, "Kata tidurnya bisa diganti gak? Kedengerannya tuh kayak jadi gue tidur sama pemilik rumahnya." "Terus?" sedari tadi sibuk memperhatikan percakapan ini, Mezypun berusaha memasuki arena. Alis Nasya terlihat naik sebelah, "Terus apa?" "Emang lo gak tidur sama Kak Rino?" satu lagi pertanyaan bodoh yang jelas tak bisa Nasya balas dengan santai. "Ya enggaklah, gila!" bentak gadis itu kesal, "Lo pikir gue cewek apaan?" "Jadi maksudnya tidur dirumah dia itu apa selain artinya bukan tidur bareng pemiliknya?" balas Mezy lagi masih tak mengerti. "Dan gimana ceritanya lo sampe bisa berangkat bareng sama dia?" sambar Alea dengan alis terangkat sebelah. "Tapi bener lo sama dia gak ngapa-ngapain?" ikut Kristina yang seketika memekikan telinga Nasya. "Tapi kalo gak ngapa-ngapain, bukannya Kak Rino malah aneh, ya?" sebuah pembahasan tak kalah anehpun ikut menyerang pembicaraan ini. Menghadirkan pemikiran serupa dari arah Alea atas pertanyaan Mezy, "Iya juga sih. Bayangin dia berduaan dirumah bareng cewek cakep nan seksi macam Nasya, dan dia gak ngapa-ngapain itu cewek?" "Kak Rino Normalkan, Sya?" "Aduh inituh apaan si mikirnya jadi makin ngawur gini?! Udah gila ya lo semua?" Nasya menggila sembari mengacak rambutnya kesal. "Jadi gini," klarifikasipun dimulai, menghadirkan bungkam dari arah ketiga sobatnya, "Gue semalem mabuk dan ditolongin sama Kak Rino waktu ada yang mau aneh-anehin gue. Dan karna Kak Rino gak tau harus bawa gue kemana, alhasil dia bawa gue ke rumahnya.The end." "Kalo masalah berangkat bareng?" Alea yang sudah mampu menangkap penjelasan itu kembali bersuara, "Lo tau gak, semua orang udah gossipin tentang lo dan Kak Rino." "Itusih salahin dianya," kali ini, ekspresi Nasya kembali berubah menjadi acuh, "gue udah nolak, tapi katanya dia sekalian berangkat karna juga ada kelas pagi.” Penjelasan cukup panjang yang dapat ketiga sahabatnya itu terima dengan kepala dingin, meskipun hati mereka terlihat masih menyimpan suatu kegundahan. Sangat dapat terbaca dari ekspresi yang terlihat. "Tapi sumpah deh, menurut gue Kak Rino adalah cowok teraneh sedunia karna milih gak ngapa-ngapain Nasya." ketika pembahasan itu kembali diangkat, dengan malas Nasya memilih untuk mengalihkan perhatiannya ke arah ponselnya yang bergetar. Tidak memperdulikan pembicaraan tak masuk akal yang bisa saja membuat telinganya pusing. Memilih untuk membaca sebuah pesan yang masuk ke dalam benda pipih bercase putih itu. Pesan yang datang dari salah seorang teman satu clubnya, yang baru saja mengirimkan sebuah pesan teks ke dalam ponselnya. Meski di akhir, bukanlah kalimat itu yang mengganggu perhatiannya, melainkan sebuah foto yang ikut dikirimkan bersamaan dengan pesan membingungkan itu. Foto yang berhasil menarik perhatian Nasya agar memperhatikannya secara detail. Memandangi dirinya dan sosok asing yang terlihat tengah memeluk tubuhnya erat. Tidak dapat melihat dengan jelas siapa sosok asing itu karna posisi kamera yang diambil secara tidak pas, hanya dapat menerka-nerka dengan cara memperhatikan bagian belakang tubuh cowok asing itu. "Ini bukan cowok yang godain gue," dalam kebingungan, gadis itu bergumam pelan, "Dan dia juga bukan Kak Rino, terus dia siapa?" "Apanya yang siapa?" meski sudah merasa suaranya sekecil bakteri, namun nyatanya, telinga Alea masih dapat berfungsi dengan sempurna. "Hm?" geming Nasya semakin bingung, sibuk mengatur kata-katanya sampai sebuah bayangan atas keyakinannya kembali muncul. Tak ingin menunggu lebih lama, gadis itu terlihat bangkit dari posisi duduknya setelah merapihkan asal barang bawaannya ke dalam tas. Berniat ingin memastikan dugaannya sekali lagi, benar-benar sangat mempercayai bayangan yang sempat menghadiri isi kepalanya. Berpura-pura tak mendengar panggilan yang berkali-kali menggelegar sempurna di dalam kelas berukuran sedang itu. Hanya ingin menuntaskan rasa penasarannya dengan mencari sosok yang dituju. Berjalan penuh keyakinan ke arah kantin, tempat pertama yang Nasya yakini tengah dihuni oleh makhluk tampan itu, meski nyatanya, ia tak berhasil menemukan keberadaan Derren diantara lautan manusia yang tengah sibuk menyantap makan siangnya. Beralih untuk memutar tubuh, mencoba untuk mencari sosok itu di area gedung fakultas Matematika. Memutar kepalanya sempurna demi menemukan sosok berkacamata itu, hampir saja menyerah sebelum dengan santainya, manusia yang tengah Nasya cari, memunculkan dirinya dari dalam kelas. Berjalan ke arahnya dan berakhir melewati dirinya tanpa melirik Nasya sama sekali, dengan tentengan ransel berawrna hitam kepunyaanya. Menghadirkan dengusan menyedihkan saat dirinya sudah terlihat menampilkan cengiran bodoh sembari melambaikan tangan, bermaksud untuk menyapa sosok itu yang justu diabaikan telak. Alhasil, dengan melayangkan tinjunya ke udara, yang bisa Nasya lakukan hanya berjalan mengikuti langkah Derren sembari sesekali memperhatikan layar ponselnya yang masih setia menampilkan foto dirinya bersama sosok asing itu. Menyamakan kedua orang yang Nasya yakini adalah sosok yang sama itu dari ujung kaki sampai kepala. Bahkan gadis itu menilai bentuk badan yang terlihat secara seksama. "Tingginya sama, stylenya juga sama, bedanya yang difoto dia make topi, dan sekarang enggak." dalam gumaman pelan, gadis cantik itu kembali berubah menjadi seorang detective dadakan. Kembali memfokuskan maniknya kepada ponsel yang tengah dirinya genggam saat sebuah clue besar kembali datang. Terlihat membesarkan foto itu saat menyadari kalau sosok asing yang tengah memeluknya itu sedang menggenggam sebuah ponsel dengan case berwarna biru tua. "Kalo casenya sama, berarti fix itu--" "Itu apa?" Berhasil menabrakan dahinya tepat dipunggung kokoh Derren, erangan halus itu terdengar dari bibir Nasya. Terlihat mengusap bagian kepalanya yang menjadi korban atas pemberhentian tiba-tiba sosok dihadapannya. “Ngomong kek kalo mau berenti jalan!” geramnya dengan bibir cemberut. Tetap mendapati wajah stay cool dengan kedua tangan yang menghilang ke dalam saku celana, Derren justu menghela napas lelah, “Itu apa?” "Itu apa apanya?" mengeluarkan jurus pura-pura bodoh adalah hal yang Nasya lakukan sembari mengedipkan kelopaknya beberapa kali. "Lo ngapain kesini?" ketiga kalinya Derren bertanya, ketiga kalinya juga Nasya diwajibkan untuk memutar keras kerja otaknya. "Hm?" gadis itu bergeming bingung, panik memikirkan jawaban dadakan, "Inikan kampus gue." Derren memutar pandangan, "Kalo gue gak salah, ini gedung jurusan Matematika.” Dengan menelan salivanya susah payah, gadis itu terlihat ikut memutarkan kepalanya ke arah sekitar. Menyadari kebodohan kedua yang sudah dirinya lakukan dihadapan mangsanya ini. Namun segera merubah ekspresinya saat manik cokelat itu kembali padanya, "Ya, mau ini gedung jurusan Matematika kek, Kedokteran kek, Hukum kek, semuanya juga tetep bagian dari kampus gue juga." Membenarkan apa yang gadis cantik dihadapannya ini ucapkan, Derrenpun hanya memilih untuk membuang napasnya tak perduli sebelum berniat kembali melangkah pergi. "Tunggu-tunggu!" langkah itu terhenti saat Nasya menghadang jalannya, memilih untuk melirik manik abu itu malas. "Lo bener gak nolongin gue waktu di club?" Hembusan napas kedua datang dari mulut Derren, "Bahas itu lagi?" "Ya iyalah," respon Nasya cepat, "Guekan masih mau cari tau siapa orang yang udah bantuin gue." "Terus kalo udah tau?" "Ya kalo udah tau, gue mau bilang makasih ke itu orang karna udah jadi malaikat penolong gue." "Gak perlu." Hening, gadis itu sempat membungkam mulutnya dalam waktu hitungan detik. Menyadari respon mencurigakan yang dirinya terima. "Kok lo bisa bilang gak perlu?" "Karna belum tentu, itu orang sudi nerima kata makasih lo." Selesai mengatakan kalimat menyebalkan itu, Derren kembali beranjak dan kali ini benar-benar meninggalkan Nasya seorang diri. Tanpa menoleh sedikitpun, tentu saja. Sementara Nasya, masih sibuk memperhatikan punggung jangkung itu yang tengah berjalan menjauh tanpa memperdulikan tatapan penuh rasa kagum yang tengah dirinya terima dari para mahasiswa baru disekitarnya. Saling berbisik satu sama lain, memuji makhluk indah ciptaan Tuhan yang saat ini tengah berdiri di lorong gedung fakultas mereka. Dapat dengan enggan melepaskan pandangannya saat ponselnya kembali bergetar. Mengalihkan perhatiannya dalam waktu hitungan detik, apalagi saat nama Papa yang kali ini muncul dilayar. Segera membuka pesan yang hanya Nando kirimkan satu kali dalam setahun, atau kalau tengah ada maunya saja. Seperti saat ini misalnya, saat dirinya tengah membaca kata perkata yang masuk ke dalam ponselnya, ia sudah bisa menebak, kalau sebentar lagi akan ada kejadian tak mengenakkan yang terjadi kepada dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD