9| Takdir Menyebalkan

1188 Words
JANTUNG Nasya berhasil berdegub dengan sempurna ketika maniknya baru saja menangkap kehadiran sebuah mobil Range Rover Velar kepunyaan Nando yang terparkir sempurna pada lahan parkiran khusus orang-orang berpangkat ‘penting’ yang datang. Sebelum kembali semakin mendekatkan dirinya kepada mobil itu, Nasya sempat menarik napasnya dalam-dalam sebelum menghembuskannya perlahan. Mencoba untuk menenangkan pikirannya dari segala jenis emosi negatif yang selalu datang jika Nando sudah repot-repot meluangkan waktu 'berharga' demi menemui dirinya. Berhasil meyakinkan dirinya dengan segala jenis kalimat positif, Nasyapun memulai langkah kakinya. Berjalan mendekati mobil tak asing itu tanpa mengetahui maksud dan tujuan dari kehadiran sang Ayah. Sebelum membuka pintu mobil itu, kepala Nasya sempat terputar. Menoleh ke arah kanan dan kirinya, memastikan kalau saat ini tak ada seorangpun yang memergoki dirinya. Begitu dirasa aman dengan keadaan sekitar, barulah Nasya beranjak untuk memasuki mobil Nando. Terlihat mendaratkan bokongnya di atas kursi penumpang, tepatnya di samping laki-laki gagah yang saat ini terlihat tampan karna balutan jas mahal berwarna biru tua. Enggan untuk menatap manik sang Ayah, Nasyapun memilih menundukan kepalanya. Berusaha mencari kesibukan lain dengan cara memainkan case ponselnya. "Halo, Pah." meski di awal enggan menyapa, namun seorang anak tetap akan selalu menjadi putri sang Ayah, bagaimana situasi dan kondisi keduanya tengah berlangsung. "Bagaimana kuliah kamu?" pertanyaan basi-basipun dimulai, pertanyaan yang selalu sama setiap kali mereka bertemu. "Lancar." dan seperti biasa pula, jawaban yang sama akan tetap Nasya keluarkan. "Papa langsung ke inti ya," begitu mengatakannya, tanpa basa-basi laki-laki itu terlihat meletakkan sebuah amplop cokelat berukuran lumayan besar tepat diatas pangkuan Nasya. "Kamu buka dulu." Sempat menimang dengan firasat tak enak, Nasya diakhir tetap melakukan apa yang Nando suruh. Membuka amplop cokelat itu sebelum mengambil selembar kertas berwarna putih disertai sebuah foto yang tertempel dipermukaan depan kertas tersebut. Foto yang menunjukan jelas sesosok laki-laki berparas manis dengan balutan jas berwarna hitam, Nasya dapat menebak kalau sosok asing itu memiliki umur sekitar 30 tahunan, entah itu benar atau salah. "Ini maksudnya apa, Pah?" puas memperhatikannya, barulah gadis itu bersuara, disertai firasat yang nyatanya semakin memburuk. "Bukankah sudah jelas?" malah Nando yang balik bertanya, "Kamu akan Papa jodohkan dengan anak teman Papa, namanya Athala." Benar sudah perasaan tak enak yang sedari tadi gadis itu rasakan, hantaman disiang bolong ini berhasil melemaskan seluruh syaraf yang ada ditubuh Nasya. "Pah, aku bisa cari jodoh sendiri, gak perlu kayak gini." "Cari jodoh sendiri katamu?" beo Nando dengan nada menyindir, "Maksud kamu dengan para laki-laki yang tidak memiliki masa depan yang jelas? Begitu?" Pertanyaan yang berhasil membungkam mulut Nasya dalam waktu hitungan detik. "Pilihan Papa adalah yang terbaik, dia berasal dari keluarga terpandang. Pendidikannya juga bagus," lanjut Nando dengan promosi besar-besarannya. "Besok dia akan datang dari Amsterdam, temui dia." Ucapan terakhir Nando yang sempat gadis itu balas dengan senyuman singkat dibibirnya, "Dari awal emang Papa gak nerima penolakan, iyakan? Terus buat apa Papa capek-capek kesini kalau di ending emang cuman jawaban 'iya' yang bisa aku kasih?" "Setidaknya, cobalah bermanfaat selagi kamu masih menjadi anak Papa. Berhenti membangkang, lihat apa yang terjadi dengan Mama kamu karna melawan Papa." Pembawaan tokoh yang seharusnya tidak perlu disebut itu, berhasil menaikan darah Nasya dengan cepat. Terlihat mengepalkan tangannya kuat-kuat dengan menatap tajam sosok disampingnya itu. "Nasya pamit, ada kelas." Sebelum mendapatkan respon tak mengenakkan untuk yang kesekian kalinya, gadis itu memilih untuk beranjak turun dari dalam mobil mewah Nando sebelum air matanya mulai membasahi wajahnya. Tidak ingin memperlihatkan kelemahannya dihadapan manusia kejam itu, hanya dapat memaki di dalam hati atas ucapan yang baru saja dirinya dengar. •••• Dari balik selimut tebal yang menutupi sebagian tubuhnya, Nasya terlihat bersandar malas pada punggung tempat tidurnya. Melamuni nasib buruknya esok hari dengan ditemani sekaleng minuman beralkohol yang sempat dirinya beli di dalam minimarket dekat perkomplekan rumahnya. Memilih untuk melampiaskan rasa tertekannya pada minuman tak sehat itu disaat dirinya tengah mendapati masalah, tidak memiliki teman untuk bercerita menjadikan Nasya terpaksa untuk menalan pil pahit kehidupan seorang diri. Sesekali gadis bermanik abu itu terlihat memandangi seisi kamar bernuansa ungu yang jarang dirinya hampiri, kamar yang dahulu sempat menjadi tempat ternyamannya di dalam hidup, yang saat ini hanya mampu menimbulkan luka baru dalam hatinya. Sangat enggan untuk kembali ke dalam rumah mewah ini kalau saja dirinya tak memikirkan kondisi dari ibunya. Berniat untuk kembali meneguk minuman yang masih setia dirinya genggam, sebelum ketukan pintu singkat terdengar menyapa. Tanpa aba, Nasya secepat kilat menyembunyikan tangannya ke dalam selimut, tidak ingin kegilaannya diktahui oleh siapapun. "Sayang? Kamu tidur?" dan benar saja, saat suara indah itu menyapanya, gadis berambut cokelat itu semakin enggan untuk menunjukan kaleng minuman yang tengah dirinya genggam. Berpura-pura untuk bersikap normal saat Nindya muncul dihadapannya, tak lupa dengan menunjukan senyum manis ke arah putri tunggalnya sebelum berakhir duduk diatas sofa kecil dekat jendela. "Kok kamu belum tidur? Ini sudah jam sebelas." Mungkin, Nindya akan terkena serangan jantung kalau dirinya mengetahui kegilaan putri tunggalnya saat tinggal sendiri. Ketika jam sebelas adalah jam dimana dirinya baru keluar dari dalam apartmentnya untuk bermain ke dalam club hingga matahari terbit. Namun karna dihadapan Nindya, gadis itu tengah berubah menjadi anak baik, jadi sebuah gelengan kepala manispun dirinya berikan sebagai jawaban. "Nasya belum ngantuk Ma," gadis itu merespon, "Mama sendiri kenapa belum tidur?" Dengan senyum manisnya, Nindya menggeleng singkat, "Yasudah kamu tidur, Mama cuman mau lihat kamu aja tadi." Hampir saja bangkit dari sofa berwarna putih itu sebelum suara Nasya kembali terdengar, "Aku boleh tanya sesuatu ke Mama?" Kembali menatap manik anak satu-satunya itu, jelas saja sebuah anggukan singkat terlihat, "Ada apa?" "Mama-" Nasya menggantung ucapannya, sebuah pertanyaan yang selalu ingin dirinya tanyakan kepada malaikat berwujud manusia itu, "Mama kenapa gak minta pisah ke Papa? Sedangkan selama ini Papa cuman bisa nyakitin aku dan Mama." Tidak seperti dugaan Nasya, dirinya kira saat Nindya mendengar pertanyaan itu, wanita berparas manis itu akan marah, karna kenyataannya, sebuah senyuman lagi-lagi adalah hal yang Nasya lihat. "Pisah tidak segampang ucapannya, prosesnya sangat lama dan membutuhkan kekuatan fisik dan mental yang tidak sedikit." "Nasya paham," respon gadis itu disertai sebuah anggukan kepala singkat, "Tapi bukannya bertahan disituasi ini, Mama harus lebih ngumpulin kekuatan fisik dan mental?" Tidak segera menjawab respon gadis cantiknya, Nindya justru memilih untuk beranjak dari tempatnya. Berjalan menghampiri Nasya dan berakhir duduk tepat disamping putrinya. "Mungkin ada seribu satu alasan, yang bisa membuat Mama untuk memilih pisah dengan Papa kamu," sembari mengusap lembut rambut cokelat Nasya, Nindya menjawabnya tenang, "Tapi hanya butuh satu alasan, yang membuat Mama bisa bertahan sampai sekarang." "Apa?" "Cinta dan kasih sayang yang tulus." Jawaban tak masuk akal yang mampu membuat gadis itu menghembuskan napasnya secara kasar, "Tapi Papa udah milih selingkuh sama perempuan lain, dan otomatis Papa gak ngehargain rasa cinta dan kasih sayang yang Mama kasih. Terus untuk apa Mama masih bertahan?" "Karna Mama masih mau, menghabiskan masa tua Mama nanti, dengan orang yang Mama sayang," dengan mata berkaca-kaca, Nindya menatap lekat putrinya, menyampaikan kejujuran yang luar biasa dari perkataannya barusan. "Mama percaya, suatu saat nanti, Papa kamu akan kembali seperti dulu." Hilang sudah keinginan Nasya untuk menyuarakan ketidaksetujuannya atas tekad sang Mama yang tetap memaksa untuk terus bersama dengan suami tercintanya. Tak ada yang bisa Nasya katakan lagi, hanya berdoa agar Tuhan secepat mungkin membuka mata hati Nindya. Menyadari kalau semua laki-laki di dunia ini, memanglah tidak dapat diberikan rasa cinta ataupun kasih sayang. "Besok hari minggu, kamu ada rencana dikampus?" Dengan malas, gadis itu menggeleng, "Gak ada, tapi Nasya ada janji sama orang." "Yasudah, sekarang kamu istirahat," balas Nindya disertai kecupan singkat yang mengarah pada dahi putri tunggalnya, "Mama sayang kamu." "Nasya juga sayang Mama."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD