“Jangan takut, Kakak aku nggak gigit kok. Kalau dia gigit juga bakalan mati sendiri, dia kan takut kuman,” ucap Jaclyn ketika berada dalam mobil bersama Meida. Semalam, Jaclyn tidur di kamar hotel bersama dengan Meida sementara sang Kakak pulang. Jaclyn mengatakan penawaran supaya Meida bisa tetap bekerja dibawah Bratadiama Inc, mendapatkan beasiswa dan memiliki uang untuk pengobatan ibunya.
Semalam, Jaclyn mengetes pengetahuan Meida tentang gizi dan keterampilan memasaknya. Dirasa cukup mumpuni, Jaclyn akan membantu Meida melakukan penawaran pada Jarvis. Sisanya mereka tidur, kemudian berangkat ke apartemen Jarvis setelah sarapan. “Kakak aku itu anti sama yang namanya barang murah. Dia paling nggak bisa kalau ada sesuatu berantakan. Bersentuhan sama orang juga kadang bikin dia gatal, apalagi perempuan.”
“Kakak kamu alergi perempuan?”
“Iya, perempuan miskin yang pake lotion murahan.”
Meida langsung diam. Lalu bagaimana dengan nasibnya jika nanti menjadi asisten Jarvis?
“Kalau kamu kepake sama si Kakak, pasti bakalan dibeliin barang-barang branded. Banyak untungnya deh, asalkan kamu bisa ngurus rumah sama masak.” Dalam otak kecil Jaclyn, dia ingin Kakaknya mulai membuka hati pada perempuan. Merasa tidak nyaman disekitar perempuan itu membawa tanda tanya pada Jaclyn, dia tidak mau Kakaknya menyimpang. Jadi ini adalah salah satu cara Jaclyn membuat sang Kakak normal lagi.
Meida tidak kaget dibawa ke salah satu penthouse apartemen yang sangat mewah. Dengan gaya arsitek kuno, mirip dengan Da Vinci Tower, tapi ini versi modern. Area sekitar sini juga tenang, Meida tidak menyangka dia akan masuk ke derah ini.
“Kita semua aslinya dari Jakarta. Tapi Kakak rantau kesini, berjuang buat besarin kantor utama Bratadiama Inc dengan penghasilan utama dari property.”
Bahkan memiliki akses lift pribadi menuju ke lantai paling atas. Jaclyn dengan mudahnya memasukan kode akses. “Ihh Kakak udah bang….. beneran mau nguji? Ade udah liat sendiri gimana kemampuan dia, Kak! Dia hebat!” Tidak suka saat melihat meja dapur Jarvis penuh dengan bahan makanan.
Meida menghela napasnya dalam. Orang kaya memang rumit. Dia sebenarnya enggan melakukan ini, tapi Meida butuh uang juga. Meskipun Jarvis adalah orang yang memperkosanya, Meida memaksakan diri bertahan.
“Coba kamu buat hidangan Bagel with Cream Cheese and Lox.”
Untung Meida punya pengalaman dalam Home cooking karena dirinya pernah menjadi staff seorang Chef untuk keluarga kaya.
“Tunggu, sebelum kamu sentuh bahan makanannya, kamu harus steril dulu.”
“Kak, dia udah mandi pake sabun punya ade tadi.”
“Bukan masalah barang murahan, dia harus steril juga,” ucap Jarvis tidak suka.
“Sini dulu, Mei,” ajak Jaclyn. “Maklum, dia bisa mati kalau ada kuman.”
Meida berusaha menyembunyikan raut wajah kesalnya saat dia disemprot oleh anti-bacterial ke seluruh tubuhnya, wajahnya sampai basah. Ketika masak, Meida juga harus memakai perlengkapan seperti penutup mulut dan rambut. Kayak kerja pabrikan, ucapnya dalam hati.
Menunjukan skill memasaknya. Meida mendengar Jaclyn berulang kali memujinya. Tapi berbeda dengan Jarvis, pria itu hanya menyilangkan tangan di d**a. Ketika mencicipi makanan, dia membuat ekspresi yang datar. “Lumayan.”
“Lumayan apanya! Ini enak banget tau, Kak! Kakak emang gak mau makan ini setiap pagi.”
“Coba kamu bikin Corned Beef Hash.”
“Baik, Pak.”
Disaat Meida memasak, Jaclyn mengajak Jarvis berdiskusi. Dia akan mengisi otak sang Kakak supaya mengizinkan Meida tinggal disini.
“Gak harus tinggal disini juga kali, De.”
“Nanti rugi dong. Kalau Kakak malem-malem lapar gimana? Dia juga jauh dari rumahnya. Lagian, dia bakalan setuju karena ini buat Ibunya.”
“Kakak gak terbiasa sama orang asing di apartemen.”
“Dia kan tempatnya di kamar belakang di lantai bawah, Kakak gak akan keganggu juga. Lebih rugi kalau dilepasin dia. Secara kita banyak ruginya.” Terus mengisi otak sang Kakak dengan alasan perikemanusiaan juga, Ibunya Meida sedang sekarat di Rumah Sakit sekarang. “Gimana?”
“Hmm…. Kalau makanan yang dia buat semuanya lumayan, Kakak bakalan pertimbangin.” Melangkah untuk mengawasi cara memasak Meida.
Jaclyn menghela napasnya lega. “Setidaknya diriku ini jadi anak berbakti. Bukan Cuma habisin duit Mommy Daddy, tapi juga bantu Kakak normal lagi. Biar kakak gak jadi Gay. Ahahahahah! Uhuk! Uhuk! Air! Uhuk! Uhuk! Minta aerrrr!”
***
“Kamu anak beasiswa saya ‘kan?”
“Benar, Pak. beasiswa saya bisa diturunkan apabila saya tidak menjalanan pendidikan dengan benar dan nilai yang turun. Saya harap bapak mengamankan hal tersebut, saya akan bekerja sekeras mungkin disini.”
“Gak usah kerja keras, saya paling nyuruh masak sama bersih-bersih aja,” ucapnya dengan santai. “Beasiswa kamu aman kalau kamu kerja bener disini. Masalah biaya orangtua kamu, mungkin nanti akan dipertimbangkan lagi ke depannya gimana.”
“500 ribu dollar bukan hal yang sedikit, Pak. Nantinya Bapak bakalan nagih itu ‘kan?”
“Kamu gak tenang karena itu?”
Meida mengangguk. Meskipun malas melihat wajah pria dihadapannya ini, tapi dia memerlukan uangnya. “Saya…. Harus bayar?”
“Selesaikan kuliah kamu dengan betul, setelah itu kerja di saya.”
“Tanpa gaji.”
“Pake gaji, Cuma kamu gak bisa kemana-mana dulu.”
“Berapa lama?” tanya Meida lagi.
Jaclyn yang baru saja buang air langsung mendengar percakapan itu, perempuan itu menghela napasnya dalam. “Hadehhhh…. Udah pada ngomongin masa depan yang belum pasti.”
“Tapi aku gak tenang kalau gak ngomongin ini. Biar jelas masa depan aku kayak gimana.”
“Oke, aku bantu bikin kontrak.” Jaclyn mengambil laptop milik Jarvis. Mendengarnya Meida yang ingin ada kejelasan ke depannya, dan Jarvis yang ingin keseharian Meida tertata disini. Jadi point diberikan oleh Jarvis, dan Meida hanya tinggal menyetujuinya atau tidak. Meida tidak boleh berisik, membuat ruangan menjadi kotor, harus steril dan menyiapkan makan malam dan sarapan. Juga tempat ini harus selalu bersih. Meida juga akan tinggal disini, dia tetap harus magang saat siang hari. Untuk mengganti 500 dollar dan biaya pengobatan ibunya, Meida akan bekerja di bawah Bratadiama Inc selama 10 tahun.
Itu membuat Meida hanya bisa menatap dengan datar saat memegang kontrak diantara mereka. “Jangan khawatir, Mei. 10 tahun yang bakalan datang, kamu udah punya anak banyak dan jadi nyonya. Jadi jangan terlalu dipikirin lah.”
“Hah? Gimana maksudnya?”
“Gitu deh, heheheh.” Setelah mencapai kesepakatan, Jarvis harus pergi siang ini karena ada urusan lainnya, maka Meida ditinggalkan di apartemen bersama dengan Jaclyn. “Kalau kamu bisa dapetin hati Kakak aku, pasti kamu gak bakalan kerja selama 10 tahun.”
“Maksudnya?”
“Mei.” Jaclyn memegang tangan Meida. “Kakak aku itu orangnya tertutup sama wanita, bahkan selalu menghindar. Aku harap…. Kamu bisa bisa jadi ipar aku… heung…”
Yang membuat Meida langsung menarik tangannya. “Gak, makasih.” Bahkan berdiri seketika. “Aku mau pindah sore ini sebelum Pak Jarvis pulang. Ada yang bisa aku bantu buat kamu dulu sebelum pulang ke rumah bawa barag-barang?”
“Nggak sih. Aku anterin kamu aja yuk. Bawain barang kamu.”
“Gak perlu.. serius. Makasih banyak. Aku bisa sendiri kok.”
“Tapi…. Nanti malem aku mau ngajak keluar Kakak. Jadi kamu gak perlu masak, santai aja oke? Tapi pindahannya mending pas Kakak gak ada sih. sana bawa barangnya, aku tungguin disini.”
***
Melewati berbagai pertanyaan dari ayah dan ibu tirinya. Meida mengabaikan karena satu-satunya alasan dia pindah ke apartemen Jarvis supaya hidup ibu dan beasiswannya terjamin. Sebenarnya sulit untuk berada di ruang yang sama dengan pria yang sudah memperkosa, meninggalkan kenangan buruk yang menyakitkan. Dengan benak penuh pertanyaan, dia lupa atau emang kurang ajar? Yang belum terjawab sama sekali.
Karena apartemen ini memiliki dua lantai, Meida mendapatkan kamar di lantai satu dekat dapur. Sementara lantai dua untuk sang majikan. Dibantu oleh Jaclyn menyusun barang dikamarnya. “Aku kayaknya ke Jakarta besok siang. Abis itu kamu harus mulai goda Kakak aku ya.”
“Iyuh,” ucap Meida refleks. “Maksud aku… aku gak ada niatan kayak gitu ke Pak Direktur.”
“Haiss… Jangan t***l deh, manfaatin itu wajah yang cantik. Kalau kamu berhasil goda Kakak aku, nanti jadi Nyonya Bratadiama emang gak mau?”
“Emangnya dia gak punya pacar?”
“Aku ngomong gini ya karena dia belum deket sama cewek manapun. Makannya ini kesempatan buat kamu. Kalau bisa, langsung perkosa aja dia terus ngaku-ngaku hamil.”
Meida membulatkan mata dan mulutnya, frontal sekali perempuan ini! Jika saja Jaclyn lebih muda darinya, Meida akan memukul kepalanya. Tapi dia hanya berbeda satu tahun dengan Pak Direktur.
“Ya? Coba deh pake baju seksi. Dijamin bikin dia tertarik.”
“Mikirinnya aja udah merinding,” gumam Meida, dia tidak akan pernah mau dengan pria itu.
Untuk hari ini, Meida tidak pergi bekerja karena kegagalannya bernegoisasi. Jarvis yang mengcover hingga Meida bisa libur satu hari dengan tenang. Ketika sore menjelang, Jaclyn pergi dari apartemen. Katanya hendak menjemput Kakaknya di kantor.
Jadi di apartemen ini hanya ada dirinya saja. Tidak menyangka akan berakhir di kandang orang yang membuatnya menderita malam itu. Meida memilih untuk berkeliling, melihat calon tugasnya setiap hari. “Gak papa, Mei. Ini semua demi Ibu, buat beasiswa juga. Nantinya kerja di Bratadiama Inc, jadi lu gak perlu nyari loker lagi,” ucapnya mencoba untuk menenangkan diri.
Kalau mau hidup enak, perkosa si Kakak aja terus jadi istrinya.
Meida langsung menggeleng ketika suara Jaclyn terngiang di kepalanya. “Orang itu yang udah perkosa gue. Terus gue gak paham apa yang ada di pikirannya. Balas dendam dikit boleh gak sih?”