PROLOG
“Tuan muda…. Bangun, udah siang…. Tuan…”
“Argghhh!” BRUK! “Jangan pegang saya!”
“Maaf, Tuan. Saya hanya berniat membangunkan, Tuan. Bukan melakukan hal lain.”
“Pergi dari sini!”
Teriakan itu memancing perhatian Nyonya Besar dirumah tersebut, dia masuk ke kamar si sulung. “Kakak kenapa teriak?”
“Dia sentuh Kakak, Kakak gak suka. Emang Mommy gak bilang? Dia pembantu baru apa gimana?”
“Gak usah nge-rap, tenang dulu napa.” Leonor menghela napasnya dalam dan menatap sang pelayan baru. “Keluar, terus temuin ketua pelayan. Kamu harus denger dua kali aturan disini.”
“Baik, Bu,” ucapnya langsung keluar dari sana.
Itu tidak membuat Jarvis; si anak sulung menghilangkan wajah kesalnya. “Ini nih, alesan Kakak gak mau tinggal di rumah ini. Banyak pelayan, tuhkan tangan Kakak jadi merah-merah jadi gatal.”
“Nanti Mommy kasih sabun Christian Dior Jules Paris soap buat mereka. Jangan marah dong.” Memeluk anak sulungnya dari belakang, tapi Jarvis masih belum kehilangan rasa kesalnya. Dia melepaskan pelukan Leonor dan pergi ke kamar mandi.
Meskipun sang Mommy sudah menyiapkan makanan-makanan enak, raut wajahnya masih tetap tidak enak dipandang. “Kena toel siapa kamu?” tanya sang Daddy.
“Pelayan baru disini.”
“Jangan gitu mukanya, kayak tukang becak pengkolan.”
Jarvis memutar bola matanya malas. “Kakak mau langsung ke Bandung.”
“Baru juga sehari Kakak disini. si kembar juga belum pulang, masa mau langsung pulang gitu aja?” tanya Leonor tidak terima. “Besok kan weekend, disini dulu.”
“Nggak, Kakak mau ke Bandung, ada kerjaan yang harus Kakak beresin.”
Leonor mengerucutkan bibirnya dan menatap sang suami. “Tahan dia, A,” pintanya.
“Kakak juga masih punya target lulus kuliah S3 usia 25 tahun, jadi jangan ganggu target Kakak,” ucap Jarvis sebelum kedua orangtuanya menyela.
Dia baru saja pulang dari luar negri, dipaksa untuk bermalam di Jakarta padahal kehidupan Jarvis di Bandung sejak dia lulus kuliah S1. Ada perusahaan yang dibangun oleh Kakek sang Ayah, perusahaan besar yang membuat hasrat Jarvis mendobrak tradisi keluarga. Dimana kebanyakan dari keluarganya menjadi Dokter atau Hakim, Jarvis memilih menjadi pengusaha.
“Jarvis! Anakku! Jangan pergi! Mommy masih merindukanmu! Jarvis!”
Tapi untuk mencapai kemenangan itu, ada sosok yang selalu membuat drama saat kepergiannya. “Mom, nanti Kakak beliin Mommy hadiah kalau rencana Kakak sukses. Mau akusisi perusahaan.”
“Tapi… tapi mommy masih kangen sama Kakak. Hiks… dari umur 15 tahun udah dikirim ke Luar Negeri sama Kakek. Sekarang udah 24 tahun masih pisah. Hiks…. Mommy… mau Kakak…” memeluk erat baju Jarvis dan menggesekan wajahnya di bahu sang anak.
Jarvis mengerutkan kening melihat air mata dan ingus di pakaiannya. “Iy….” Tapi ucapannya tertahan ketika sang Daddy menatapnya dengan tajam. “Mom, udah dulu. Kakak mau berangkat ini.”
“Mommy janji bakalan disiplinin pelayan disini. Biar Kakak betah disini.”
“Kakak kerja juga buat Mommy biar bisa masuk circle Paris Hilton.”
“Bener juga sih. Peluk Mommy dulu, Mommy mau cium pipi kamu.”
Meskipun Leonor adalah ibunya, tapi Jarvis tetap menahan napas saat bibir itu mencium pipinya. Wajahnya sudah menegang kaku, lehernya memerah hingga Leonor juga sadar. “Haduh dia kambuh lagi. Sayang, ambilin anti-bacteri cepet,” ucap Leonor pada sang suami. Dia mengoleskannya di pipi sang anak. “Udah aman, gak ada kumannya kok.”
“Itu Ibu kamu loh, Kak,” ucap Jerome.
Jarvis tidak banyak bicara, dia segera pergi setelah kedua orangtuanya mengizinkan. Namun sebelum memasuki jalan raya, Jarvis menepi dulu untuk membuka pakaiannya. “Ih ingus,” gumamnya. Maaf, Mommy. Meskipun Mommy yang lahirin Kakak, ingus tetep ada kumannya.
“Mana anti-bacteri mana? Mana?” dengan panic segera mengoleskan ke tangannya. Menatap pakaian kotor yang ada di papperbag. “Astaga, capek banget.” Jarvis kembali menyalakan mobilnya. Namun dia tertegun ketika melihat sebuah mobil yang tidak asing. “Oh s**t!” dia langsung memacu gas, panic ketika mobil di belakangnya ikut menaikan kecepatan.
“Kakak! Mommy tau kamu denger! Mommy mau anterin kamu sampai depan! Kak!”
Membuat Jerome menarik tangan sang istri untuk duduk lagi. Mereka menaiki mobil atap terbuka, dan Leonor berdiri memanggil anaknya. “Ada telpon, De. Kamu bisa hubungin Jarvis.”
“Ish, anak itu pasti denger kok. Dia pura-pura gak tau biar kita gak anterin dia. Tuhkan gak diangkat,” ucapnya kesal. Kembali berdiri lagi dan berteriak, “Kak Jarvissss!”
***
Tinggal sendiri di apartemen, Jarvis menghabiskan akhir pekannya dengan banyak persiapan. Karena di hari senin, Jarvis resmi mengakusisi sebuah perusahaan di bidang yang sama dengannya. Anak perusahaan itu kini menjadi miliknya. “Terima kasih atas kerjasamanya, Pak Jarvis.”
“Saya yang harusnya berterima kasih,” ucap Jarvis sambil menatap tangan yang terulur padanya. Telapak tangannya agak hitam, tapi Jarvis berusaha untuk bersikap normal dan membalas jabatan tangan. Setelahnya, pria itu memakai hand sanitizer.
“Tangan saya bersih kok, Pak. Pake bodylotion coco chanel punya istri saya.”
“Gak papa, ini memang kebiasaan saya kok, Pak. Jangan tersinggung.”
“Ah, saya pikir ada yang salah dengan saya.”
Ketika pelayan datang membawa makan siang, Jarvis mengerutkan keningnya. “Sendoknnya tolong bersihkan dengan cuka, lihat masih ada bekas air disini.”
“Oh, itu sudah bersih kok, Pak. Gak papa.”
“Saya yang kenapa-napa, bersihkan ulang. Saya tidak mau sendok yang seperti ini.”
“Sendok yang baru tidak apa, Pak?”
“Nah itu lebih baik.”
Sang partner bisnis hanya bisa tersenyum heran melihat Jarvis yang sangat perfectionis masalah kebersihan. “Tidak aneh, orangtua pemilik rumah sakit ternama.”
Padahal, hanya Jarvis yang seperti ini. Kedua adiknya tampak biasa saja, tapi jika Jarvis bersentuhan dengan benda kotor atau sesuatu yang ada kumannya, dia akan gatal-gatal dan kemerahan.
“Kak, gue mau main dulu ke Bandung. Sini ke bar jemput gue, mau nginep di rumah lu.”
Pesan yang dikirim adiknya membuat Jarvis mengabaikan, tapi anak it uterus membombardirnya pesan. Bahkan mengancam kalau dirinya akan bersenang-senang dengan wanita bar jika dirinya tidak datang.
Malam itu, Jarvis terpaksa datang kesana. Memakai coat panjang menghindari para wanita yang menatapnya lapar. Saat ada wanita mendekat, Jarvis melemparkan beberapa lembar uang. “Ambil itu dan jaga jarak dari sana,” ucapnya dengan tatapan tajam.
“Hallo, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?”
Perempuan itu sepertinya pemilik bar juga, Jarvis memberinya beberapa lembar uang. “Suruh para wanita itu menjauh.”
“Ohh! Tentu saja, Tuan mau kemana? Biar saya antar.”
“Gak usah.” Jarvis tahu dimana sang adik berada, Jefrey mengirimkan tempatnya. Di ruang VIP bar di lantai tiga. Saat Jarvis membuka pintu, dia mengerutkan kening melihat Jefrey yang sedang berciuman dengan seorang wanita. Bahkan wanita itu ada di pangkuannya.
Membuat Jarvis mengambil tongkat baseball yang jadi pajangan dan memukul kepala sang adik. “Aww! Kak Jarvis!” teriaknya kesal hingga ciuman terlepas. “Anjirlah kirain gak bakalan dateng. Sana kamu pergi dulu, nanti kesini lagi kalau aku butuh ya,” ucapnya pada wanita penghibur.
Jarvis tidak tahan, dia mengeluarkan anti-bacterial spray miliknya dan menghujani Jefrey dengan itu. “Kuman.. kuman…”
“Uhuk! Uhuk! Kakak apa-apaan sih?! Uhuk!”
“Lu yang apa-apaan, berani lu bertingkah?”
“C’mon, kak. Gue sama Lyn tinggal di luar Negara selama ini, lu juga gak aneh kan sama hal yang kayak gini?” Jefrey terkekeh melihat sang Kakak memakaikan tissue sebagai alas duduknya. “Lu masih takut kuman sama cewek, Kak?”
“Dua hal yang udah terbiasa buat lu ‘kan?”
“Kak, kita harus seneng-seneng selagi muda.”
“Kalau lu keterlaluan, gue bakalan bilang sama Mommy.”
Yang membuat pria berusia 23 tahun itu tertawa. “Jangan dong, Kak. Yang penting kan gue tetep bisa jadi nomor satu buat pengganti Daddy jadi direktur Rumah Sakit. Nanti kalau gue kena masalah, terus yang gantiin si adek, emang Kakak tahan? Nanti lu sendiri yang dengerin rengekan si adek. Mau?”
“Ngapain manggil gue kesini?”
“Seneng-seneng. Mau kasih selamat juga karena lu udah berhasil akusisi perusahaan yang sebelumnya saingan sama lu. Nih, minum dulu.”
“Gue gak minum.”
“Dikit aja, Kak. Gelasnya udah disterill. Lagian minum alcohol gak bakalan bikin lu jadi penuh kuman. Sambil cerita dikit lah, gak kangen apa sama gue?”
“Najis.”
Jefrey tertawa keras melihat tingkah Kakaknya, dia tersenyum miring melihat pria itu meminum alcohol yang diberikannya. “Lu harus tau gimana nikmatnya cewek, Kak. Jangan malah kabur, mereka bukan setan, tapi objek yang bisa bikin kita nikmat.” Sambil meminum alkoholnya sendiri.
***
“Dah cukup, gue gak minum lagi.” Jarvis menolak gelas yang kesekian kalinya. “Lu jangan nginep di tempat gue, banyak kuman sama bau cabe-cabean.”
“Besok gue mau ke Jakarta, semingguan disana sebelum balik lagi ke LN. Mau ketemu sama gue dulu gak, Kak?”
“Kalau tubuh lu udah direbus, males gue liat bekas sentuhan cewek,” ucapnya melangkah pergi.
Dari lantai tiga, Jefrey melihat sang Kakak yang mengambil mobil di parkiran. “Kok bisa tahan gitu ya? udah dua botol alcohol padahal.”
“Tuanku Sayang, aku bawain alcohol lainnya. Mau siramin ke tubuh aku gak?” seorang wanita masuk ke dalam dan duduk di dekat Jefrey.
“Berapa lama obat perangsangnya bisa bereaksi?”
“Itu yang tercepat, Tuanku. Aku udah tambahin dosis di setiap botolnya.”
“Ck, kakak gue harus keluar dari zona anehnya itu.”
Sementara Jarvis sendiri mulai merasa pusing, tubuhnya panas dan penglihatannya buram. Dia menepi tanpa tahu dimana dirinya sekarang. Kesadarannya mulai terengut, Jarvis menatap miliknya yang bangun. “Shittt!” umpatnya mengerang sendiri. ada yang salah dengan tubuhnya, dan Jarvis tidak suka ini.
Dia bahkan tidak tahu apa yang dirinya lakukan sekarang, yang Jarvis inginkan hanyalah udara segar dan hasrat yang tersalurkan. Dia membuka pintu mobil dan menunduk menahan sakit.
“Mas, situ nggak papa?” tanya sebuah suara dengan tangan yang mengguncang tubuhnya. “Mas? Woi, lu lewat jalan mana sampe kesurupan gini?”
Dan sentuhan perempuan itu membuat Jarvis kehilangan akal. Dia menariknya masuk ke dalam mobil.
“Hei, apa-apaan lu?!”
Itu kalimat terakhir yang Jarvis ingat. Karena sisanya, dia hanya mendengar desahan yang saling bersahutan, dengan tubuh yang menyatu. Menghentak perempuan yang membuatnya merasakan nikmat. Tidak cukup satu kali, Jarvis mengganti posisi. Semakin membuat perempuan itu mengerang ketika kakinya dilebarkan dan ditidurkan di jok belakang.
Jarvis tidak bisa melihat dengan jelas perempuan yang sedang dia setubuhii, tapi dia merasakan nikmat yang luar bisa.
“Stop…. Sakit… hnghhh…”
“Saya akan tanggung jawab,” ucap Jarvis meraup bibirnya dan kembali meledak di dalam sana. “Ayo lakukan lagi,” bisiknya.