Akibat untuk Meida

1954 Words
Jarvis ingat betul yang terjadi semalam. Jadi dia keluar dari kamarnya dengan memasang wajah tidak bersahabat pada sang adik yang sudah duduk di ruang makan. “Eh, perasaan ade Cuma mukul Kakak di bagian kening aja deh. Kenapa sekarang ada luka di sudut bibir?” “Siapa ya? Gak tau tuh, paling juga sama Lynlyn.” “Ih enggak! Ade gak mukul rahang Kakak! Cuma kening aja, makannya kakak pingsan karena kepalanya pening.” Jarvis tidak menanggapi sang adik, dia duduk tenang dan menyeruput kopi yang tersedia disana. Jarvis kaget, kopinya ini cukup enak daripada yang biasa dia pesan. Padahal Jarvis tahu kalau bahannya pasti sama. Lynlyn mencuci tangannya dulu sebelum…. “Ihh… Kakak kok jadi agak bengkak sih pipinya? Sumpah ade itu gak mukul disini,” ucapnya memegang pipi sang Kakak dengan punggung tangannya. Untung saja Jarvis sudah tahu kalau Lynlyn menggunakan bodycare mahal, dari aromanya saja sudah tercium. “Kak? Ade nggak mukul disini loh. Coba tanyain sama Meida. Iya ‘kan, Mei? Kemarin gak ada luka ini.” “I-iya, Mbak.” “Tuh denger!” Padahal Meida sedang memunggungi keduanya dengan mencoba tenang sambil memasak. Dia yang sebenarnya memukul Jarvis lagi sampai dia kehilangan kesadaran. Untung Jarvis ini orang yang pikun dengan sebuah kejadian. “Ini sarapannya, hari ini saya membuat Biscuits and Gravy dengan Greek Yogurt Parfait Salad.” “Oke. Bagus.” “Woahhhh! Mei, kamu keren banget deh! Cocok banget jadi ibu rumah tangga. Iya ‘kan, Kak? Udah pinter gini masaknya. Pas banget buat Kakak yang lagi membujang.” “Uhuk! Uhuk!” Jarvis langsung terbatuk mendengarnya, ketika bertatapan dengan Meida, perempuan itu mengerutkan keningnya juga tidak suka. Namun ekspresi wajah Meida langsung berubah 180 derajat. “Silahkan nikmati sarapannya, Pak. Panggil saya jika butuh.” “Sarapan bareng aja, Mei.” “Sudah duluan tadi.” Jarvis terkekeh hambar. “Kamu makan duluan?” “Maaf sebelumnya karena makan duluan, Pak. saya takut busung lapar kalau tidak segera mengisi perut dengan nasi. Permisi ya.” kembali ke kamarnya dengan wajah yang sebal. Meida tidak bisa pergi bekerja karena harus membereskan bekas makan Jarvis dulu. “Kakak jangan kayak gitu sama Meida, dia nanti bisa marah sama kesinggung lloh. Lagian duit kita kaya, biarin aja dia makan lebih dulu.” “Kakak gak masalahin itu,” ucapnya dengan santai. “Kamu harus pergi sekarang. Kakak gak bisa ke kantor sebelum pastiin kamu berangkat.” “Jahat banget,” gumamnya. “Padahal ade itu punya niat baik disini buat nyatuin Kakak sama si cantik Meida. Kalian keliatan cocok banget.” “Cocok sama modelan dia?” tanya Jarvis terkekeh. “No, berhenti campuri urusan Kakak. Dan jangan bilang sama Mommy kalau Kakak tinggal sama dia sekarang.” “Takut disuruh kawin ya? bagus sih padahal, pasti nanti anaknya bibit unggul.” “Cepet makan, terus pulang.” Lynlyn dengan berat hati pulang daripada dilaporkan sang Kakak terkait Klab malam itu. sebelumnya, Lynlyn memanggil Meida dulu karena dia ingin memeluk si cantik ini. Dalam pelukannya, Lynlyn berbisik, “Ayooo bikin Kakak aku jatuh cinta sama kamu, atau seenggaknya terjebak pernikahan sama kamu. dengan kayak gitu, kamu bakalan dapetin duit banyak. Gak perlu gelisah lagi.” Yang dibalas tawa hambar oleh Meida. “Makasih udah bantu aku. Semoga Tuhan memberkati.” “Ihhh sama-sama. Tuh lihat, Kak. Dia itu orang baik banget tahu.” Lynlyn merentangkan tangan hendak memeluk sang Kakak. Namun Jarvis malah menyemportkan antibacterial pada seluruh tubuhnya hingga mengenai wajah. “Kakak! Ini ade pake pakaian bermerk tauuu!” “Kamu baru aja pelukan sama dia,” ucapnya dengan datar dan santai. Tidak tahu saja kalau Meida sudah menatapnya jengkel. Bahkan pria itu menyemprotkannya ke punggung Lynlyn sebelum diberikan usapan disana. “Pergi.” “Iya ih! Ini mau pergi!” Mereka berdua hanya mengantarkan sampai keluar pintu apartemen. Setelah Lynlyn pergi, hanya ada Meida dan Jarvis. Meida menatap Jarvis yang sedari tadi tidak mengalihkan pandangannya. “Ada yang ingin bapak sampaikan?” “Yang bantu kamu itu saya, bukan adik saya.” Seketika Meida langsung paham. “Oh iya, makasih banyak ya, Pak. semoga bapak bisa cepat bersahabat dengan kuman.” “Hei, kamu bilang apa?” tanya Jarvis tidak terima. “Saya mau cuci piring dulu ya, Pak. kalau gak cepet, nanti saya telat terus dimarahin sama The Wendy Cagur.” Jarvis tidak lagi menanggapi, dia pergi ke lantai atas begitu saja. *** Seperti dugaan Meida, dia akan mendapatkan amukan dari Wendy. Perempuan itu mengajaknya ke ruangan meeting untuk memarahinya. Tapi volume suaranya begitu tinggi hingga Meida yakin kalau pegawai lain akan mendengarnya. “Kamu itu bikin malu aja! Bikin rugi Bratadiama bahkan sebelum kita resmi bergabung sama mereka. Ini proyek unggulan yang udah dikacaukan sama kamu.” “Bu, karena ini proyek unggulan, bukannya harusnya saya didampingi waktu itu? bukannya dibiarkan sendiri?” “Berani kamu menjawab ya?! 500 ribu dollar itu gak sedikit!” Sampai Niko masuk karena teriakan itu. “Udah, Wen, yang lainnya denger. Nanti malah jadi gak bagus. Kasihan Meida.” “Pak, dia udah bikin malu kita. Mana Pak Jarvis minta buat pertahanin dia. Orang gak punya attitude kayak dia harusnya gak dapet beasiswa dan gak magang disini.” “Saya gak mungkin tinggal diam kalau mau diperkosa, Bu. Apa ibu bakalan diem terus pasrah?” “Wen, udah,” ucap Niko menahan Wendy yang hendak marah. “Meida juga diminta Pak Direktur buat pindah hari ini.” “Hah? Kita pindahan sekarang?” “Meida doang. Kayaknya ada yang mau Pak Jarvis omongin sama anak ini.” “Mampus! Kamu bakalan dicopot beasiswa, terus gak magang disini lagi.” Meida mengepalkan tangannya kuat. Dia kesal sekali dengan tingkah Wendy, untung saja ada Niko disana yang membawa Meida keluar. Bahkan mengantarkannya sampai mendapatkan taksi. “Mei, kalau nanti Pak Jarvis sampai keluarkan kamu, kita gak bisa bantu. Dia yang jadi direktur kita.” “Iya, Pak. saya paham kok. Maaf untuk malam itu.” “Siapa juga yang mau diperkosa ‘kan?” Meida tersenyum hambar dan diantarkan taksi menuju gedung perusahaan milik Bratadiama saja. Dengan 21 lantai, semuanya adalah milik Jarvis. Dengan beberapa cabang bagian di setiap lantainya. “Saya diminta Pak Direktur buat datang. Nama saya Meida.” “Oh, sebentar,” ucap resepsionis itu menyemprotkan dulu anti-bacterial pada Meida. Sampai perempuan itu batuk-batuk. “Silahkan naik lift ini, nanti ada sekretarisnya disana yang akan mengarahkan anda.” Gilaaa! Semua orang disini memakai pakaian seragam dengan merk terkenal. Dan tempat ini bau antiseptic, sangat sterill sampai lift kaca juga terlihat tidak memiliki penghalang. Sekretaris perempuan di lantai 21 itu sudah menunggu Meida dan mempesilahkannya masuk. “Tolong jaga jarak dengan direktur ya, Mbak.” “Baik, Bu. Makasih banyak.” Meida masuk ke ruangan Jarvis, melihat pria itu yang sedang menelpon. Meida duduk saja di sofa, mata mereka sudah bertemu, jadi dia bisa santai karena Jarvis mengetahui kedatangannya. “Kenapa bapak manggil saya?” “Gimana sih, saya nyuruh si Aldi buat minta kamu pulang ke apartemen.” “Hah? Ada yang harus saya kerjakan disana, Pak? Udah beres semuanya.” “Pulang kesana dan cek lagi.” “Tapi saya harus kerja, Pak.” “Mereka taunya kamu lagi kerja sama saya. Jadi gak akan bisa hubungi kamu, lagian emang disana gak panas telinga?” tanya Jarvis dengan santai sambil menyandar di kursi putar dan meminum kopinya. “Pasti banyak tuduhan kan?” Benar juga, keadaan disana sedang menyalahkan dirinya. Lebih baik menghindar saja. “Mereka baru mau pindah kesini tiga harian lagi. selama itu, kamu diem di apartemen dan bikin tempat tinggal saya makin betah. Belajar olahan baru juga, saya sedang mau makan makanan India.” “Makanan India?” gumam Meida. “Nanti saya pelajari dulu, Pak.” “Udah gitu doang. Sana pergi.” Ya ampun! Pria itu benar-benar menyebalkan. “Heh, jangan langsung pergi.” “Kata bapak tadi saya langsung pergi?” “Bekas kamu duduk…” Jarvis menunjuknya dengan tatapan. “… lap pakai tissue basah di meja. Terus kalau mau buka pintu, pake tissue basah. Tapi ambil yang baru.” “Baik, Bapak.” *** Menghabiskan hari di apartemen, Meida memastikan tempat ini benar-benar bersih. Walaupun benci pada Jarvis, setidaknya pria itu memahami kalau keadaan di kantor sedang menyalahkannya. “Bapak tumben pulangnya ce…. Eh?” “Minggir kamu,” ucap Jarvis melangkah ke lantai atas. Meida menatap Aldi yang masih di ambang pintu. “Tadi Pak Jarvis dipeluk sama Nenek dari mitranya. Dan beliau gatal-gatal sekarang. Nah, kamu masukan sabun ini ke bathub-nya.” “Kenapa harus saya, Pak?” “Kamu pelayannya sekarang.” Pada akhirnya Meida harus menerimanya. Dia naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamar Jarvis setelah mengetuknya. “Pakai alas kaki yang beda!” teriak Aldi dari bawah. Untung saja Meida ingat, kalau masuk ke kamar Jarvis memakai alas kaki yang berbeda. Ada di laci nakas pajangan diluar kamar. Itu sandal Dior yang halus. Digunakan khusus memasuki kamar Jarvis. “Bapak?” panggil Meida. Pria itu tidak menjawab hingga Meida berinisiatif untuk masuk ke kamar mandi. Dia kaget melihat pria itu sedang berendam air warna putih, dengan kepala mengadah dan tertutup handuk. “Masukin obatnya,” ucapnya dengan dingin. “Baik.” Meida segera menuangkannya. Ngeri juga melihat tubuh Jarvis yang merah-merah. Itu sebabnya Meida bertanya pada Aldi yang masih ada disana. “Segitu gak bisanya kalau bersentuhan sama kuman?” “Iya, tapi yang lebih parah adalah barang murah. Pak Jarvis tidak bisa melihat barang KW. Kalau masalah kuman, mungkin masih bisa dia atasi. Karena wanita sebelumnya yang memeluk Tuan Jarvis itu memakai gaun merk palsu.” Meida tertawa. “Alergi kemiskinan?” “Sebutan kasarnya seperti itu. Makannya saya sarankan kamu jaga jarak. Jangan sampai lakukan skinship, karena baju kamu juga….” “Saya beli di pasar senin,” ucap Meida tersenyum. “Berikan ini pada Pak Jarvis. Nanti kamu pelajari cara membuat teh yang dia sukai.” Setelah itu Aldi langsung pergi. Mengharuskan Meida kembali naik ke lantai dua. “Pak, saya masuk ya.” dengan membawa teh, Meida yakin kalau Jarvis masih di kamar mandi. Sebelum Meida menyimpan cangkir, dia dikagetkan dengan Jarvis yang keluar dengan memakai handuk saja. “Aaa!” CRAI! Tehnya tumpah! “Kamu itu kenapa?” tanya Jarvis kesal. Melihat tumpahan berantakan itu membuat Jarvis pusing sendiri. “Bereskan sekarang.” “Iya, Pak. saya bereskan sekarang.” sial sekali karena teh itu mengenai kakinya yang memakai alas mahal. Dan tidak ada lagi sandal tersisa karena sedang dicuci oleh Meida. “Pak, saya telanjang kaki ya? sandalnya masih dicuci.” “Gak, pakai yang lain sebagai alas. Kamu gak bisa telanjang kaki di kamar saya.” “Tapi pake apa, Pak? Gak ada sandal baru.” “Kaki kamu gak boleh nyentuh kamar saya.” Meida menghela napas berat, akhirnya dia menawarkan opsi. “Pake kresek gak papa? ini baru kok.” Jarvis menatap Meida yang ada di ambang pintu. “Gak papa, pake itu.” akhirnya Jarvis pergi ke walk in closet untuk berpakaian. “Kamu bersihin sampai tiga kali pengulangan.” “Baik, Pak.” namun ini sedikit menyulitkan untuk Meida, karena langkahnya menjadi licin. BUGH! Jarvis yang sedang berpakaian itu mendengar suara. “Kamu ngapain? Jatuhin guci saya? Itu guci mahal, jadi masa kerja kamu ditambah 2 tahun.” Pria itu keluar dan…. Mendapati Meida yang terpakar. “Ya ampun! Tuti?” Jarvis segera mendekat, matanya membulat melihat Meida yang membuka mata dengan darah mengalir dari kepalanya. Sepertinya terkena pecahan cangkir. Meida merasakan tubuhnya diangkat. “Pak, saya beli baju di pasar senen.” “Diem,” ucapnya menutup kepala Meida dengan handuknya sebelum dibawa pergi ke rumah sakit. Kalau sudah seperti ini, maka butuh pertolongan medis yang lebih lengkap peralatannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD