Yue POV
Aku berdecak kesal, mengemasi ranselku. Bersiap meninggalkan asrama karyawan kafe tempatku bekerja, salah Vance yang membuat masalah sehingga aku dipecat.
Pergi begitu saja setelah menerima gaji terakhirku, terlalu malas untuk adegan melankolis konyol dengan orang-orang munafik yang sok bersimpati padaku, walaupun nyatanya mereka asik menggunjingku di belakang.
Aku tak masalah harus pergi tanpa tujuan, mencari pekerjaan sampingan baru sambil hidup bertenda di taman kota.
Bukannya aku pelit, tak mau menggunakan tabungan hasil memeras Vance. Hanya saja uang itu untuk membangun galeri impianku, bukan uang yang bisa dengan mudah kugunakan untuk menyewa tempat tinggal.
Lagi pula hidup di tenda tak buruk juga, selain hemat, juga terasa bebas dan yang terpenting, orang-orang asing yang tak kukenal suka seenaknya salah paham dan mengasihaniku. Mereka dengan bodohnya mengira aku anak kecil yang kabur dari rumah, memberiku makan dan minum gratis.
Bahkan tak sedikit yang mengizinkan aku untuk bermalam di rumah mereka hanya karena aku memasang ekspresi wajah memelas.
Salah satu keuntungan terlahir jadi orang Asia yang tinggal di Eropa, tubuh kecil dan wajah mudaku membuatku tampak sepuluh tahun lebih muda di mata mereka. Kadang saat aku mengaku berumur dua belas tahun saja mereka percaya kok.
Setelah tendaku terpasang, aku menyalakan api unggun kecil, memancing warga setempat yang tinggal di dekat sini untuk datang memberiku makan.
Dan lihat saja, hanya dalam waktu beberapa menit, dua orang wanita tua sudah datang membawakan makanan untukku.
Buru-buru aku berselimut, memasang wajah seperti anak terlantar, tersenyum seperti anak kecil tak berdosa saat seorang nenek meletakkan sebuah keranjang berisikan pai apel.
"Terima kasih, Nek."
"Sama-sama, Nak. Sedang apa di tenda sendirian?" tanya si nenek.
"Orang tuamu ke mana, Nak?" kalau yang ini tanya seorang nenek yang membawakan setoples cookies dan beberapa kaleng s**u segar.
Memang enak punya wajah cantik yang bisa menarik simpati dan empati. "Mereka sudah tiada, aku tak punya tempat tinggal," sekalian saja kugunakan, lengkap dengan cerita sedih yang menguras air mata.
Tak lama, kami asik bercerita. Atau lebih tepatnya aku asik panen pemberian para tetangga yang semakin berdatangan. Hanya bermodal sedikit akting dan cerita masa kecilku di panti asuhan, juga cerita saat aku berpindah-pindah hidup di tenda sambil kerja apa saja untuk hidup. Padahal sebenarnya semuanya itu kulakukan untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
Hingga akhirnya larut dan mereka pulang ke rumah masing-masing, meninggalkan begitu banyak cadangan makanan untuk beberapa hari ke depan. Juga beberapa orang kakek baik hati memberiku uang jajan, sungguh hidup yang mudah.
Sudah lama aku tak hidup seperti ini, rasanya seperti baru kemarin saja aku bisa hidup enak dan memiliki kamar yang hangat. Sayangnya semua itu hanya sementara, bukan sesuatu yang benar-benar kumiliki. Melainkan semuanya milik Vance yang penuh tipuan.
Merasa malas mengingat manusia denial itu, aku putuskan untuk tidur saja, bergelut di dalam selimut sambil memeluk erat-erat tas berisikan semua hartaku.
Namun, saat sudah hampir tertidur, seseorang seenaknya masuk ke dalam tendaku. Aku langsung was-was, mengeluarkan pistol milik Vance yang tak juga kukembalikan sejak ia beri waktu ketahuan main serong dulu, mengenggam benda perak itu di balik selimut. Berjaga-jaga demi melindungi uang dan buku tabunganku yang berharga.
"Ck. Diberi harta yang banyak malah menolak demi hidup di tenda, apa yang sebenarnya kau inginkan," sinis Vance, seketika itu jantungku langsung berdetak keras.
Tak berani membuka mata walau hanya untuk memastikan pemilik suara yang tak asing itu. Pilihan konyol yang malah membuat pria sombong itu bisa seenaknya menyentuhku dengan gratis.
"Apa susahnya tinggal tanda tangan dan tinggal bersama denganku? Sial! Aku benar-benar benci padamu Yue!" Seenaknya mengoceh padaku lagi, kalau benci kenapa datang diam-diam seperti ini?
Makanya aku malas berurusan dengannya, manusia merepotkan yang sekadar berkata jujur saja tak bisa, tapi selalu saja muncul di mana pun aku berada. Kalau seperti itu, jelas aku jadi tak bisa melupakannya. Lalu untuk apa aku susah payah mengumpulkan tekat untuk melupakannya!?
∞
Setelah hidup di tenda selama seminggu, akhirnya aku mendapatkan pekerjaan baru. Sebuah toko cokelat yang pemiliknya baik hati, setidaknya cukup baik untuk mengizinkan aku tinggal di ruang karyawan toko.
Walaupun seragamnya berwarna pink dengan renda, tapi tak masalah selama aku dibayar per hari dan bisa berhenti kapan pun saat aku menemukan pekerjaan lain.
Masalahnya adalah, baru hari pertama bekerja saja, Vance sudah datang sebagai tamu. Lengkap dengan gaya bos besar dan sikap angkuhnya. "Dua kotak cokelat paling mahal. Cepat bungkus, karyawan bencong berpakaian ala wanita," ucap Vance, mengejekku.
Cih! Tahu begitu aku tak akan sudi bekerja jadi kasir, lebih baik bekerja di dapur saja kalau pelanggannya si tuan denial.
"Tunggu sebentar, Tuan Sombong," balasku seramah mungkin. Tersenyum bisnis, tapi berucap dengan sinis.
Topi pink yang menjadi penghias rambutku ia ambil, menyungging sebuah cengiran meledek. "Kau cocok dengan warna pink," berkomentar dengan nada mengejek.
Aku balas dengan senyuman juga, sengaja berpura-pura jadi remaja polos yang sedang digoda oleh om-om. "Anda sedang mengodaku? Maaf Tuan, tapi aku laki-laki. Apa anda gay?"
Vance langsung kehilangan cengiran, berganti dengan dengusan kasar. Sementara orang-orang yang mengantri di belakangnya atau sekadar melihat-lihat rak pajangan terkikik melihat ekspresi wajahnya.
"Berhenti berakting, Yue! Memangnya siapa yang meminta hati dan cintaku minggu lalu?" Tapi hanya dalam semenit, ia telah menemukan cara baru untuk membalasku.
Baiklah kalau itu maunya, ayo bermain manusia denial.
"Masa? Seingatku minggu lalu ada yang memohon agar aku pulang ke rumahnya, sampai-sampai menawarkan seluruh hartanya."
"Grr..." Vance mengeram. "Kau sendiri yang bilang mau! Aku sudah sampai memberikan semuanya dan kau malah menolaknya lagi!" Kemudian melupakan permainannya, malah mengungkit-ungkit kembali masalah kami.
"...."
"Kenapa diam! Apa yang harus kulakukan agar kau mau pulang?"
"Kau sudah tahu apa yang kumau, lagi pula pulang ke mana? Aku tak punya tempat untuk pulang." Aku menghela napas, memberikan cokelat pesanannya yang telah selesai dibungkus.
Bukannya membayar, Vance malah menggebrak meja kasirku. "PULANG KE RUMAHKU! AKU HARUS MENGULANGNYA BERAPA KALI AGAR KAU MAU, HAH!"
"Kau yang harus mendengar berapa kali untuk mengerti, aku tak akan pernah mau tinggal di tempat yang tak menerimaku," dinginku, meninju pipinya dengan kepalan tanganku.
Rasanya sakit, serius! Bukan sakit hati atau apa, tapi pipinya sekeras batu. Sampai-sampai membuat tanganku memerah, sedangkan yang kupukul malah tampak baik-baik saja.
"Siapa bilang aku tak menerimamu," lirih Vance, nyaris tak terdengar.
"Jadi kau menerimaku? Kau punya hati untuk kau berikan padaku?" Tentu saja aku gunakan sebaik mungkin kata yang ia ucapkan untuk menyerangnya kembali.
Aku tak akan berpura-pura tak mendengar dan menjerit bahagia di dalam hati, karena aku tahu kalau kata-kata pengecutnya itu tak ada artinya. Pada akhirnya dia tetap memilih menipu diri sendiri daripada mengakui perasaannya padaku.
Ini bukan soal hati yang saling tertarik, tapi tentang sebuah pengakuan, penerimaan dan ketulusan yang selalu diam-diam kuidamkan. Sesuatu yang jika tak kudapatkan, maka aku kubuang jauh-jauh hatiku daripada kuberikan padanya.
"TAK TAHU DIRI! TENTU SAJA TAK ADA. AKU MEMBENCIMU TAHU!" Lihat? Sekali lagi ia menolakku.Tak ada alasan bagiku untuk tinggal di sisinya.
"Kalau begitu bayar pesananmu dan pergi! Aku tak sudi melihat wajahmu lagi b******n!" bentakku kasar sambil mengumpat, mulai tertular cara berbicara Vance yang tak beretika.
"KALAU BEGITU MAKAN INI! DASAR MATRE!" balasnya, melempariku dengan segepok uang yang melebihi harga cokelat yang ia beli.
Kemudian pergi dengan membanting pintu, tentu saja uang kembaliannya aku masukkan ke dalam sakuku. Mungkin aku muak melihat wajah Vance, tapi aku tetap cinta pada uangnya.
"Ehem! Ikut ke ruangan saya, Tuan Wang," panggil pemilik toko, aku pun tersadar kalau cara melayani pelangganku tadi sangat buruk, belum lagi antrian jadi sangat panjang.
Tanda-tanda aku akan segera ia pecat, dan benar saja, begitu aku keluar dari ruangan bos. Aku langsung kembali jadi gelandang lagi, dan lagi-lagi karena salah Vance.
Kalau begini terus, bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku? Bagaimana caranya aku mengisi perutku yang mulai keroncongan?
Apa aku jual saja pistol Vance ya? Kelihatannya ini mahal, tapi apa laku? Soalnya ada ukiran nama dan tanggal lahir segala, tapi sepertinya ini terbuat dari perak murni, kalau tak laku dijual utuh apa kulelehkan dulu ya?
Namun, kalau sampai diukir namanya segala, minimal ini benda pentingkan? Kira-kira kalau kujual ke Vella laku berapa ya?
Dempster Vance Angelo, 20 Juli 19XX. Hem, ternyata umurnya baru dua puluh tahun. Dua tahun di bawahku, tapi suka sok lebih dewasa. Benar-benar menyebalkan!
Dan yang terburuk, dia telah berhasil sedikit mencuci otakku, membuatku seperti orang bodoh yang terus saja menatap sebuah senjata di tengah kota seperti ini.
Beruntung, wajahku yang seperti anak-anak ini membuat orang-orang yang berlalu lalang mengira kalau ini pistol mainan.
Walaupun sepertinya itu tak berlaku di hadapan seorang kakek yang entah sejak kapan telah berdiri di depanku. "Kau dapat dari mana pistol itu?" tanyanya penuh curiga.
Kutatap ia dalam diam, berusaha mengingat wajahnya yang terkesan familiar.
"Ini jelas bukan milikmu dan aku kenal pemiliknya." Ia balas menatapku penuh percaya diri, mengeluarkan sebuah pisau perak yang memiliki ukiran lambang yang sama dengan ukiran pistol Vance.
Hanya saja, lambang miliknya utuh, berbentuk lingkaran dengan motif yang sama di tengah lingkaran itu. Sedangkan yang ada di pistol Vance cuma setengah lingkaran, entah kenapa memang seperti itu sejak Vance memberikannya padaku.
"Aku dikasih sama Vance. Kau kenalkan?" Kuputuskan untuk jujur saja, sebab tak ada gunanya berbohong padanya.
Kakek ini jelas bukan orang sembarangan dan bisa-bisa aku dibunuh kalau menjawab asal-asalan. Yah... Vance, kan mafia, tak heran kalau kenalannya mafia juga.
"Kau tak berbohongkan? Beri aku alasan kenapa bocah angkuh itu mau memberikan kehormatan, nyawa dan hak warisnya padamu?" tudingnya, lebih ke interogasi lebih tepatnya.
Pisau tajam itu pun telah berpindah ke leherku, mengores beberapa sentimeter permukaan kulitku. Tiba-tiba saja aku merasa amat ketakutan, seperti bisa melihat kematian di balik punggungnya, tapi tentunya aku tak menunjukkan semua kelemahanku di hadapannya, karena itu berarti sama saja aku menyerah begitu saja pada seorang kakek asing kenalan Vance. Yang berarti sama saja aku seutuhnya telah dikalahkan oleh manusia denial itu.
"Karena dia mencintaiku," jawabku penuh percaya diri, menatap langsung ke bola mata hitamnya.
Meski jujur saja aku masih tak mengerti kenapa cuma karena sebuah pistol saja kakek ini bisa mengira kalau Vance telah memberikan kehormatan, nyawa dan hak warisnya padaku. Maksudku, ini kan cuma sebuah pistol?
"Khehehehe..." Anehnya, mendengar jawabanku, kakek itu malah terkekeh menyebalkan. Menepuk kepalaku seperti memperlakukan anak kecil. "Jadi, apa Vance memberikan keduanya atau cuma satu saja?" menunjuk pada ukiran lambang di pisaunya.
Aku pun langsung mengerti kalau pistol ini ada sepasang, bukannya cuma ada satu. Itu sebabnya lambangnya cuma terukir setengah. "Cuma satu, kupikir satunya ia simpan sendiri," jawabku mantap.
Dia menyengir penuh niat busuk kali ini, menatap penuh meneliti barang-barang bawaanku. Seolah-olah tengah meneliti situasi yang tengah kuhadapi.
"Biar kutebak. Vance pasti terlalu angkuh untuk mengakui perasaannya, menolak keberadaanmu meskipun perasaannya terlihat amat jelas. Itu sebabnya kau ada di sini sekarang, sendirian tanpa tujuan. Tanpa perlindungan darinya."
"Cih! Aku tak butuh perasaan dan perlindungannya," sinisku, kesal karena tebakannya benar-benar tepat sasaran.
"Kelinci pintar! Aku suka sama kau, ayo ikut pulang ke rumahku! Pokoknya kau tak boleh kabur sampai Vance jemput," riangnya mendadak, tersenyum penuh niat terselubung.
Tubuhku langsung merinding ngeri, secepatnya kilat aku melarikan dirinya. Percaya sejuta persen penilaian insting liarku kalau ia mengerikan.
Kakek itu tak menyerah begitu saja, gerakan refleksnya bahkan sebaik anak seusiaku. Kecepatan larinya juga lebih baik dariku, hingga dengan mudah aku tertangkap olehnya. Diikat dengan lakban yang ia keluarkan dari dalam sakunya, menggulung tubuhku seperti seekor ulat tak berdaya.
Lalu dia bopong dengan mudah di pundak kanannya. Sedangkan tangannya kirinya masih cukup baik mau membawakan ranselku. Gumaman mulutku yang ia lakban pun ia abaikan begitu saja, malah bernyanyi dengan riang membawaku ke sebuah mobil van yang telah ia modifikasi sedemikian rupa.
Aku pasrah, menyerah sambil mengutuk Vance dalam hati. Gara-gara dia aku dipecat terus, diculik kakek aneh yang mengerikan. Pokoknya kalau aku sampai mati, arwahku tak akan pernah rela, aku pasti akan menghantui kekayaan Vance sampai dia bangkrut!!