Vance POV
Yue benar-benar pergi, tanpa berpamitan sama sekali. Yang kutahu ia sudah tak ada di rumahku esok harinya, tak ada juga Rin yang datang minta makan seperti biasanya.
"Jimmy, ke mana Yue?" tanyaku, bukannya aku peduli padanya. Aku hanya tak terima tidak ia hargai seperti itu. Meskipun awalnya dia bekerja pada si jalang, tapi aku juga membayarnya mahal untuk menjadi budakku. Harusnya dia tak pergi seenaknya sebelum kuusir!
"Kau kangen padanya?" balas Jimmy, memasang wajah mengejek dengan nada bicara tak acuh.
"TIDAK! ENAK SAJA! DIA CUMA MAINAN TAK BERNILAI BAGIKU!" Aku kesal, melemparkan semua alat tulisku padanya.
"Kalau begitu jangan cari, karena Yue pergi bukan karena keinginan, Nona Vella, tapi karena kau."
"Omong kosong!"Aku makin kesal, membanting pintu ruang kerjaku, berniat pergi membantai seseorang untuk menghilangkan stres.
Namun, Jimmy memang akan selalu jadi asisten Mommy yang memuakkan, begitu hobi menjatuhkan gengsiku. "Aku berkata jujur Vance, dia sudah pergi saat Nona Vella datang untuk memecatnya tadi pagi. Yue berpamitan denganku tengah malam kemarin, dia bilang sudah muak berada di dekatmu." Sialnya kata-kata itu berhasil mengusikku.
Tentunya aku tak percaya. Jimmy, kan sama busuknya dengan Mommy, pasti dia hanya ingin mempermainkanku saja. Jadinya, aku putuskan untuk ke rumah si jalang, menanyakan yang sebenarnya ke perempuan itu saja. Mumpung Rin sedang di sekolah dan tak akan menganggu pembicaraan tenang kami dengan jeritannya.
∞
"Apa yang kau lihat, kalau buka pintu yang niat, dasar jalang!" sinisku, bersedekap di depan pintu masuk rumahnya.
"Cih! Bikin aku repot bukakan pintu saja. Kamu, kan bisa datang lewat dapur." Dia ikut sinis, tampak kesal jam menonton video jalangnya itu aku ganggu.
"Aku malas lewat lorong sempit itu, dan matikan benda sialan ini!" Apalagi saat aku menendang laptopnya yang masih terus menyala mempertontonkan pemandangan tak pantas.
Dia balas dengan menendang kakiku, menatap cemberut dalam diam. Karena malas berdebat, aku biarkan saja dia memukuli hingga puas.
Setelah lewat satu jam, si jalang terduduk di lantai dengan napas terputus-putus. Akibat keadaan fisiknya yang jadi buruk setelah Rin lahir, alasan kenapa aku tak bisa jauh-jauh darinya.
Bukan karena aku mengidap sister complex seperti yang Mommy tuduhkan, tapi si jalang yang penyakitan membuatku tak bisa tenang membiarkan Rin tumbuh di bawah pengawasan Jouis, karena laki-laki itulah yang membuat saudariku menjadi seperti ini.
Aku tak bisa seperti keluargaku yang bisa menerima dan memaafkannya, tak bisa seperti si jalang yang dibutakan oleh cinta. Aku sangat membencinya dan tak akan pernah mempercayakan kakak dan anakku pada orang gila yang membuatnya kehilangan segala kebanggaan seorang Angelo, kehilangan kemampuan bertarungnya dan yang terburuk kehilangan rahimnya setelah Rin lahir.
"Sudah puas marah-marahnya? Ayo kembali ke kamar," ucapku dingin, menggendongnya ke kamar, mesti dia masih saja memukul punggungku selama kubopong.
"Kenapa kamu mengusir Yue? Padahal aku sudah senang akhirnya adik sesat aku bisa mencintai seseorang," keluhnya, memeluk leherku setelah dia capek memukul. Hal yang menyebalkan, karena aku tak bisa melihat seperti apa ekspresi wajahnya di balik punggungku, seolah-olah aku sedang dikasihani. Padahal jelas-jelas aku tak mencintai Yue dan juga tak mengusirnya.
"Kau yang memecatnya, bukan aku," balasku, menurunkannya ke atas tempat tidur dan mulai mencari obatnya.
Pipiku ia raup, memaksa agar bola mata yang sama persis sepertiku itu saling bertemu pandang. "Aku tak berniat memecat Yue, aku dan Feyrin hanya berniat memintanya pindah ke rumah kami untuk membuatmu sadar kalau kamu membutuhkannya, Vance."
Aku tahu dia tak berbohong, tatapan itu tulus. Hidup bersama bertahun-tahun dengan perempuan penuh drama ini membuatku bisa membedakan mana kepura-puraan dan mana kejujuran. Lagi pula sejalang-jalangnya kakakku, atau segila apa dirinya pada pasangan gay, dia tak selamanya berpikiran seperti bocah yang egois dan ogah mengakui perasaannya. Si jalang sudah tak se-denial dulu, dia sudah jauh lebih dewasa sekarang. Dia bahkan tak lagi menjerit memaki dengan kalimat penuh sensor dan berkata benci padaku.
"Kenapa kamu tak jujur saja kau kamu mencintainya? Padahal aku cuma ingin kamu memiliki keluargamu sendiri yang bahagia." Kalimat penuh harap seperti ini pun sudah sering kudengar beberapa tahun belakangan ini.
Ungkapan rasa sayang dan kepeduliannya padaku pun tak lagi malu ia sampaikan. Hanya saja, terkadang dia suka sok tahu mengenai keinginanku, sok lebih memahami apa yang kuinginkan dari diriku sendiri. Itu benar-benar menyebalkan, tapi memiliki kembaran seperti ini sama sekali tak buruk.
Setidaknya secara fisik kami tampak persis, bagai satu orang yang sama dilihat dengan gender yang berbeda.
"Aku akan memilikinya nanti, setelah kau sembuh dan jelas dengan seorang wanita yang cantik," yakinku, bukan tipuan untuk menolak kalau aku tertarik pada seorang laki-laki.
"DASAR DENIAL! JANGAN PAKAI AKU JADI ALASAN! AKU TIDAK SEDANG SEKARAT ATAU APA!? KAMU TIDAK SUNGGUH-SUNGGUH TERTARIK PADA SEMUA PEREMPUAN TUA YANG KAU KENCANI! KAU HANYA MELIHAT SOSOK MAMA DI DALAM DIRI MEREKA! KAPAN KAU MAU DEWASA?"
Cih! Aku tarik kata-kataku tadi, si jalang belum dewasa. Buktinya dia mulai berteriak lagi, melempariku dengan bantal.
"Sok tahu! Aku suka d**a yang empuk dan tubuh wanita yang hangat. Bukan mencari sosok Mama pada mereka, aku punya Mommy Dean dalam hidupku."
"Penipu. Aku tahu karena kita begitu mirip Vance, tak peduli sebaik apa kehidupan keluarga angkat kita, tak peduli berapa usia kita sekarang. Tetap saja insting seorang anak yang membutuhkan ibu yang melahirkannya selalu tersisa. Mereka semua berpotongan wajah tegas, berambut dan bermata hitam, bertubuh tinggi dan montok seperti Mama dalam sosok wanitanya yang jarang terlihat. Aku tak buta."
Ugh. Aku bukan seorang mother complex seperti ucapannya itu, tapi kenapa aku tak bisa membantah teori sombong itu!?
"TERSERAH KAU MAU BICARA APA! MINUM OBATMU SANA! AKU PERGI JEMPUT RIN DULU!" bentakku kesal, meletakkan kasar segelas air dan beberapa butir obatnya.
"Aku memang tak mengusir Yue, tapi aku tahu dia di mana sekarang. Temui dia Vance, jangan lepaskan orang yang bisa masuk ke dalam hatimu." Si jalang masih sok dalam mode kakak yang baik, memberi nasihat yang bahkan tak ingin kudengar.
Siapa itu Yue? Dia hanya parasit tak berguna dengan wajah cantik! Aku tak akan mau mencarinya walaupun tanpa info dari si jalang aku bisa dengan mudah mencarinya sendiri.
∞
Lupakan soal kata-kataku beberapa minggu lalu, aku tak tahan diganggu dengan drama heboh setiap pagi untuk membuat sarapan iblis kecil itu, jadinya aku terpaksa berdiri di sini. Membawa sekoper penuh uang tunai, membukanya tepat di depan Yue yang mengenakan seragam waiter.
"Lepaskan seragam buruk itu, kembali ke rumahku dan isi koper ini jadi milikmu," perintahku angkuh.
Orang-orang yang sedang asik menikmati kopi itu langsung menoleh ke arah lemari kaca berisikan deratan kue tempat aku meletakkan koperku. Sudut kafe tempat ia sedang mengisi kembali kue yang habis terjual. Termasuk karyawan lain dan bos pemilik kafe ini, mereka langsung berkumpul mengelilingiku.
"Cepat ambil! Kau suka uang bukan!" bentakku tak sabaran.
Kupikir ia akan langsung mengambilnya, tersenyum lebar dan memanggilku tuan dengan patuh seperti biasanya, tapi ia malah diam, membuang muka tanpa sudi menatap padaku.
Penghinaan apa ini! Aku tak terima! Tapi dia harus kembali atau aku yang akan gila menghadapi kenakalan Rin yang berkali-kali lipat jauh lebih merepotkan dari sebelumnya.
"Jadi kurang?"
"...."
"OKE! AKU PAHAM! JIMMY!! AMBIL DUA KOPER LAGI DI MOBIL!" Aku menyerah, sedikit menaikkan harganya.
"...." Namun, sekali lagi Yue diam. Bahkan ketika tiga buah koper penuh itu berjejer rapi di depan matanya.
"Kau mau berapa? Apa kau mau kuberikan pulau pribadiku? Katakan hargamu dan akan kuberikan semuanya," aku tantang dia, lihat seberapa lama dia akan bertahan dari godaan uang yang dia puja.
Yue berbalik, tersenyum padaku. Seketika itu itu merasa puas, berhasil memancingnya, tapi begitu kalimat pertama meluncur dari mulutnya, aku langsung bungkam.
"Aku ingin semua yang kau miliki, apa kau masih mau membeliku dengan semua kekayaanmu, Tuan Vance?" Ternyata ia memang cerdas, juga cukup bernyali untuk menantang balik padaku.
Memberikan semua kekayaanku? Tentunya tak masalah. Walaupun nanti Uncle Vian dan Mommy Dean akan mengamuk padaku, toh tak sulit bagiku untuk mendapatkan lebih banyak dari uang warisanku dengan sedikit kerja keras, tipuan dan otak jeniusku.
Lagi pula harga diriku lebih penting dari uang dan aku tidak sudi kalah dari tantangan yang kumulai sendiri.
"Jimmy, ambil laptopmu dan panggilkan pengacara," perintahku.
Kening Yue langsung berkerut, tak mengerti kenapa aku memerintahkan Jimmy melakukan hal seperti itu, tapi asisten Mommy itu tahu jelas maksudku, dia langsung menamparku.
"KAU GILA VANCE? MESKI SEMUA ASET ITU ATAS NAMAMU DAN KAU SENDIRI YANG MENGEMBANGKAN BISNIS ITU, TAPI SETENGAH YANG KAU MILIKI ITU MILIK KELUARGA ANGELO! KAU TAK BISA MEMBERIKAN PERUSAHAAN WARISAN DEAN BEGITU SAJA PADA ORANG ASING SEPERTI YUE! KEPALA KELUARGA AKAN MENGHUKUMMU SAAT TAHU!" Kemudian membentakku dengan kasar.
Ck. Benar-benar asisten sok ikut campur! Aku balas menamparnya, "Aku bisa! Harga diriku lebih penting dari kemarahan Uncle Vian. Siapkan pengalihan kepemilikan sekarang juga!" menendang Jimmy seenaknya.
"Cih! Dasar bocah! Kau tak bisa memerintahkanku untuk menghianati bosku! Tuanku tetap Dean," sinisnya, pergi keluar dan menelepon Mommy.
Aku sih tak peduli, walaupun nanti bakal emosi jiwa, tapi aku yakin Mommy tak akan melarangku. Dia mengerti betapa agungnya sebuah harga diri seorang laki-laki.
"Kau serius? Kau akan bangkrut saat kuambil semuanya." Itu suara Yue, tak terdengar penuh percaya diri seperti tadi.
Cukup memberi cela bagiku untuk menyerangnya kembali, tak ada yang boleh mempermalukanku. Aku mendapatkan gelar 'Tuan Tipu Daya' di dunia bawah bukan tanpa alasan. Mulut dan nyaliku bisa menjadi senjata yang sangat berguna bila kugunakan dengan baik.
"Kau pikir aku siapa? Aku bisa mendapatkan modal yang cukup untuk membangun sebuah perusahaan baru dengan bekerja menjadi pembunuh beberapa kali. Hartaku yang sebenarnya bukanlah warisan keluargaku Yue, tapi otak dan kemampuan membunuhku," sombongku.
Yue langsung merosot jatuh, membuat tubuh kurus itu harus bergantung pada pria asing yang kemungkinan besar pemilik kafe itu. Pemandangan yang menjengkelkan, seperti rasa muak ketika melihat barang milikku direbut.
Kurebut Yue darinya, memberi pelototan, "Aku sewa kafemu sampai tutup, singkirkan tamu-tamumu yang dari tadi menguping itu atau kubunuh mereka semua," sekalian mengancam dengan sungguh-sungguh. Dan dalam waktu lima menit, semua manusia itu kabur. Meninggalkan kami, pemilik kafe dan beberapa pelayan senior.
Tak lama, Jimmy kembali sambil membawa laptopnya. "Kau dapatkan yang kau mau anak setan!" Dia mengumpat padaku dan mulai membuat surat pengalihan aset itu.
"Tentu saja, aku tahu jalan pikiran Mommy Dean. Buahahaha..." sinisku padanya, mengejek argumennya yang kalah dariku.
Setelah itu keadaan menjadi tegang tak jelas, Yue duduk di sampingku. Terlihat menyesal telah menantang orang sepertiku. Meski aku tak mengerti kenapa ia tak bahagia kuberikan semua milikku padanya.
Maksudku, dia, kan matre?
Malah orang asing itu yang menatap tajam padaku, menanyakan hal yang mengerikan. "Apa kau sebegitu frustrasinya ditolak Yue? Maksudku sampai rela memberikan semua hartamu untuk memilikinya? Cinta tak bisa dibeli, Tuan."
Aku langsung mencengkeram kerah lehernya, menodongkan pistolku dengan tangan yang lain. "Jaga mulutmu sialan!! Aku membelinya untuk menjadi pengasuh anakku! Bukan karena mencintanya! Uang dan harta tak lebih berharga dari harga diri dan reputasiku. Jangan seenaknya salah paham!"
"Ya... ya... bocah setan ini memang seperti itu," sambung Jimmy, mendukungku. "Namun, dibandingkan alasan harga diri dan reputasinya, lebih tepatnya ia menganggap Yue lebih berharga dari semua itu," tapi setelah itu, ia langsung berbalik menyerangku.
Kuabaikan Jimmy dan ocehan tak penting itu, memilih mengalihkan fokus pada Yue. "Kau jangan percaya kata-kata Jimmy! Yang membutuhkanmu itu Rin, bukan aku! Dan aku tak peduli padamu." Menekankan kalau aku tak mencintainya atau begitu putus asa menginginkan dia kembali.
Yue menatapku lama, tenang dan mencekam di saat yang sama. Dia bahkan hanya diam saat kuberikan beberapa lembar kertas yang sudah kutandatangani kepadanya. Pengacara si jalang pun telah sampai di sini, duduk di samping pemilik kafe yang ketakutan.
Yue menerima kertas-kertas itu, membacanya sekilas dan menyobeknya hingga hancur. "Aku mungkin matre dan aku memang tak pernah bisa menolak uang, tapi aku tetap seorang laki-laki yang memiliki harga diri, aku yang menentukan siapa yang pantas membeliku. Dan bahkan jika kau memberikan semua yang kau punya, itu tak cukup untuk membeliku, Vance." Menaburkan sobekan kertas-kertas itu ke depan wajahku.
Harga diriku hancur berkeping-keping, tak tersisa sedikit pun. Bagaimana bisa seorang pria cantik lemah itu bisa menghancurkan kebanggaanku semudah membalikkan telapak tangan?
Tapi tidak! Seorang Vance yang agung tak akan tinggal diam dipermalukan. Aku akan membuatnya kembali padaku, apa pun caranya!
"Kalau begitu apa harga yang pantas? Katakan dan jangan menarik kata-katamu lagi!" balasku, berusaha mempertahankan segala keangkuhan yang masih kumiliki. Mengabaikan keterkejutan para penonton itu, juga tatapan mengasihani dari Jimmy.
Aku melakukan semua ini bukan karena telah terobsesi padanya, tapi untuk mempertahankan harga diriku. Seorang Vance selalu bisa mendapatkan apa pun keinginannya, tak terkecuali pria cantik tak berguna ini dan hal itu akan kubuktikan pada mereka.
Yue yang tadinya berjalan pergi, berbalik. Ia berjalan mendekatiku hingga berdiri di hadapanku. Jari telunjuknya ia tusukan di atas jantungku, menatap dalam-dalam bola mataku. "Kau. Aku ingin hati, ketulusan dan cintamu. Kau tak punya itu untukku, kan? Maka lupakan egomu yang menginginkanku."
"A-apa? Kupikir kau bukan gay!" seruku, menunjukkan sikap menolak untuk percaya.
Ia tersenyum penuh arti, berbalik pergi meninggalkanku dengan penghinaan yang lain. "Awalnya bukan, tapi sikapmu yang seolah membutuhkanku itu berhasil menipuku dan Tyler telah membuatku terpaksa harus menerima kenyataan memuakkan ini." Yue mengucapkan sebuah kalimat panjang penuh penyesalan yang membuatku merasa seperti disalahkan.
Bukan salahku kalau dia jatuh cinta padaku yang menawan ini! Kenapa dia malah berkata seolah-olah aku telah mempermainkannya!?