Yue POV
Akhirnya aku dibebaskan juga, diletakkan di atas sofa sebuah rumah bernuasa putih yang dipenuhi oleh puluhan ekor kucing berbagai ras, tapi sayangnya aku tak bisa kabur, puluhan manusia berjas hitam yang berjaga di luar bangunan indah ini terlalu menakutkan untuk kuhadapi.
Kakek tadi juga tak terlihat bosan mengawasiku, ia malah asik menulis entah apa di atas sebuah notes kecil.
"Nama? Umur? Tinggi badan? Berat badan? Cepat jawab, Tuan Kelinci!" tanyanya beruntun, melirik tak sabaran padaku setelah ia selesai menulis.
"Bayar dulu! 50 Euro per satu jawaban, tambahan 20 Euro untuk jawaban jujur dan pajak 10%." Aku tagih tentu saja, walaupun kakek itu menakutkan, tapi tetap saja tak ada yang bisa menghalangiku untuk mendapatkan uang tambahan.
Dia menyeringai menakutkan, mengusap pipiku amat pelan. "Tidak akan, apa menariknya mendapatkan jawaban dengan begitu mudah? Aku lebih suka mencari tahu sendiri. Khehehehe... kau yang memaksaku bersikap kasar kelinci matre, jangan mengadu pada Vance ya," mengancamku dengan nada bicara riang gembira.
Detik berikutnya, dia sudah mulai menelanjangiku sambil mengeluarkan berbagai jenis meteran dari dalam sakunya. Bahkan sebelum aku sempat menjerit, atau mungkin malah aku tak sanggup walau hanya sekadar untuk meronta.
Demi uang!? Aku tak pernah bertemu manusia jenis sepertinya! Kalau seperti ini, bagaimana caranya aku memerasnya?
Kami bahkan belum saling berkenalan dan aku sudah habis dijamahnya dengan gratis. Aku shock, seseorang tolong bebaskan aku dari tangan dinginnya yang mencoba memeriksa pantatku itu.
"Untuk apa kau lakukan itu!?" seruku, agak gemetaran.
"Aku ingin tahu apa kau masih perawan atau tidak," jawabnya enteng pula, asik menoleh beberapa coretan baru di notes itu. Cuek saja melihatku yang mulai gemetaran sambil memeluk sofanya, malahan kakek itu tampak amat makin riang menikmati wajah ketakutanku.
"Dan ternyata, anak Dean tak sejalang yang kukira, katakan padaku kenapa dia masih belum melakukannya?" Kakek itu makin mendekatiku, menindihku sambil mempertanyakan sesuatu yang melecehkan.
Aku menggeleng, tak mau menjawab apa pun pertanyaan tak jelas apa gunanya itu.
"Tuan Kelinci, jawab atau kau lebih suka masuk ke dalam laboratoriumku?"
"...."
"Kelinci Matre, ayolah! Tunjukkan padaku apa yang menarik darimu hingga bisa mendapatkan hati anak setan itu."
"...."
"Aku hitung sampai sepuluh lho! Kalau masih diam," dia semakin mendekat, berbisik di telingaku, "Aku akan mengikatmu di tiang tempat tidurku, telanjang sambil kurekam dan hasil rekamannya aku berikan ke Vance," mengucapkan sebuah ancaman yang aku yakini benar-benar akan ia lakukan sambil bernyanyi riang gembira.
"Aku tak tahu apa pun yang ingin kau ketahui! Kumohon bebaskan aku, Kek, hiks..." kuputuskan untuk pura-pura menangis saja, memasang wajah polos ketakutan.
"Ckckckck... akting murahanmu tak akan bisa menipuku. Kau harus belajar lebih banyak lagi dari Feyrin, cucuku lebih pandai berakting tertindas daripada kau."
Cih! Tapi sialnya kakek itu tak tertipu, malah mengoyangkan jarinya sambil nyegir. Eh!? Tapi tunggu dulu, tadi dia bilang dia kakeknya Feyrin, kan? Ponsel! Aku harus menghubungi anak nakal itu!
"Satu... Dua..." hitungan pun di mulai.
Aku bergegas mencari ponsel Vance yang masih tersimpan di saku mantelku yang dilepaskan dengan paksa oleh kakek itu.
Sementara si kakek asik mengoret kata demi kata, duduk di sofa dengan santai seolah-olah tak baru saja menelanjangiku dan melakukan pengukuran tak penting.
"Tiga! Apa yang kau cari, Tuan Kelinci?" tanyanya, aku abaikan.
Tersenyum dalam hati saat berhasil menemukan mantelku, dan langsung kecewa saat tak menemukan benda persegi kecil pemberian Vance itu.
"Empat! Apa ini? Ini juga punya Vance, kan?" Sial! Ponsel itu sejak kapan sudah ada digenggam tangannya!?
"Itu milikku! Vance sudah memberikannya padaku. Kembalikan," balasku sinis, kesal dengan berbagai tingkah tak sadar umurnya.
"Tidak mau, sudah lima lho!" Dia masih saja bisa bersiul, menatap buas padaku.
Bangun dari posisi duduknya, sikap tubuhnya seperti ingin menerkamku saat ini juga. Ketakutan yang sempat berhasil kuatasi itu pun lenyap begitu saja. Kakek ini jauh mengerikan dari apa pun yang pernah kutemui di dunia ini.
Kalau tahu hidupku akan jadi seperti ini, harusnya aku ikut pulang dengan Vance saja. Hidup enak sambil memerasnya, jauh dari intimidasi seorang kakek mengerikan.
"Enam...."
Langkah kakinya semakin mendekat, menepis jarak kami hingga nyaris tak tersisa. Mendesakku hingga ke dinding dan tubuhnya ia pakai untuk mendorongku, embusan napas itu pun membuat bulu kudukku merinding.
"Tujuh...."
Belum lagi hitungan yang semakin bertambah itu, meski perlahan namun menegangkan. Seperti setiap hitungan yang bertambah mengurangi tahun-tahun sisa hidupku.
"Elanor sayang! Aku sudah menjemput Lexie lho! Ayo kita antarkan ke rumah Princess!" Mendadak kakek itu kaku, berhenti menyengir saat suara dengan nada menjijikkan terdengar dari arah pintu. Tak lama, asal suara itu muncul, seorang kakek lainnya yang mirip dengan Dean dan seorang gadis remaja yang cantik dengan gaun biru pastelnya.
"ELANOR SIALAN! KENAPA KAU SELINGKUH DENGAN UKE MANIS SEPERTI ITU!? AKU TIDAK TERIMA!!" jerit si kakek mendadak.
"Hiks... apa yang Uncle Elanor lakukan?" Dan gadis itu menangis!?
Aku sungguh tak mengerti apa yang terjadi, tapi satu hal yang jelas. Aku harus pura-pura jadi korban, menangis sesungutan seperti tawanan yang habis diperkosa. "To-tolong aku! Huaaaaa... aku takut!" jeritku mendramatisir.
Untung aku sering melihat Rin berakting seperti ini, lumayan untuk belajar teknik melindungi diri dan memeras uang kompensasi trauma dari keluarganya.
"KALAU MAU MAIN SAMA UKE MANIS AJAK-AJAK DONG! KITAKAN BISA THREESOME!" marah untuk hal seperti itu?
Tidak, ini buruk. Aktingku tak berguna kali ini, aku harus bagaimana? Aku tak mau disentuh oleh mereka, aku bukan gay kecentilan yang mau di gangbang oleh mereka.
"Dasar jalang! Kau masih memikirkan uke manis rupanya. Mauku siksa, hah?" Eh? Kenapa malah kakek ini ikut marah juga?
Berakhir kedua kakek itu saling mencaci-maki. Berteriak tentang hal-hal yang tak kupahami. Sementara gadis manis itu memberikan pakaianku yang berserakan di lantai. "Tolong pakai dulu, Lexie mohon," masih sambil menangis?
Oh iya, aku lupa masih bugil.
Buru-buru aku berpakaian, masih mempertahankan ekspresi wajah memelas. Siapa tahu dia bisa aku peras, kelihatannya gadis ini lebih rapuh.
"Aku takut, semua ini terlalu menakutkan dan kupikir aku akan ketakutan seumur hidup," ucapku, memulai skenario seorang korban yang trauma. Tak lupa aku duduk meringkuk memeluk lututku sendiri, membuat tubuhku tampak segemetaran mungkin.
"Kasihan sekali, maafkan Uncle Elanor ya, jangan takut. Nanti Lexie akan bantu kamu." Gadis itu memelukku, mengusap punggungku menenangkan dan saat dadanya bersentuhan dengan dadaku. Rata....
Mungkin dia masih kecil, atau bencong. Terserahlah, yang penting aku sudah mendapatkan simpatinya.
"Benar? Kupikir aku butuh ke psikolog agar bisa hidup normal lagi, tapi aku tak punya uang," lirihku, melirik takut-takut padanya.
"Kalau begitu, ambil ini. Pakai saja, ambil uang Lexie juga." Gadis bernama Lexie itu langsung mengeluarkan dompet dari tas serempangnya. Memberikan beberapa buah kartu debit dan uang tunai dalam beberapa kurs, yang jelas apa pun itu semuanya uang.
Dia bahkan tanpa ragu memberitahukan password kartu debitnya. Benar-benar gadis baik hati, tingkat kerataan dadanya langsung kalah oleh tingkat kebaikan hatinya.
Aku pun berterima kasih dengan tulus, membiarkannya memelukku sebagai ungkapan permintaan maafnya sekali lagi.
Lalu buru-buru mengambil ranselku dan berniat kabur mumpung kedua kakek berbahaya itu sedang asik bermesraan di sudut ruangan setelah saling tendang tadi. Perilaku aneh yang tak mau repot-repot kupikirkan kenapa, yang jelas aku sudah aman dan mendapatkan uang yang cukup.
Tapi tunggu dulu!? Bagaimana dengan para penjaga yang ada di luar? Kelihatannya aku harus berakting lagi. "Lexie, bisa tolong aku sekali lagi?" mohonku.
"Tentu saja, kamu butuh apa?" Senyumannya terlihat tulus, benar-benar membuat perasaanku merasa nyaman sekaligus agak merasa bersalah telah memerasnya.
"Um itu, tadi aku ke sini diculik, dilakban dan dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Jadi, aku pikir para penjaga tak akan membiarkan aku pergi," jelasku, ditambah sedikit bumbu suara yang bergetar.
"Uh, kasihan sekali... Lexie antar sampai depan gerbang ya, yuk." Lexie malah menangis lagi, menggandeng tanganku seperti seorang teman yang baik.
Aku tersentuh, mulai menyukainya dan berharap memiliki seorang kakak perempuan seperti dia. "Terima kasih," aku bahkan mengucapkan terima kasih dengan tulus, tak seperti aku yang biasanya.
Namun, mendadak sebuah pistol mengarah pada kepalaku, tepat di depan mataku ada seorang pria dengan wajah menakutkan. "Lepaskan tanganmu dari Lexieku, keparat." Dia mengancamku dan aku tahu aku benar-benar akan dia bunuh tanpa ampun.
Apa aku harus pura-pura menangis lagi? Memohon pertolongan pada Lexie yang masih menangis? Tidak. Aku kebingungan.
"Abang jangan! Lexie yang menggandeng dia, kasihan habis diculik Uncle Elanor." Untungnya Lexie langsung menahan pria jangkung itu, memberi penjelasan yang sama sekali tak menyudutkan aku, tapi pria itu cukup gila, memeluk Lexie erat sambil mengarahkan kembali pistolnya ke kepalaku. Sepertinya benar-benar berniat membunuhku dengan alasan yang tak kupahami.
Terpaksa aku harus melawan, kugenggam erat pistol Vance di dalam saku mantelku, yang untungnya tak Elanor sita tadi. Berniat menembaknya begitu pelatuk pistol pria itu ia tarik.
Bang!
Pistol pria itu terlempar dari tangannya, hancur oleh sebuah lesatan peluru perak. Bukan aku yang menembak, melainkan Vance yang baru saja turun dari mobilnya setelah menabrak pintu pagar yang baru dibuka separuh.
"AWAS SAJA KALAU KAU MEMBUNUH YUE, AKU TAK SUDI JADI ADIKMU LAGI!" bentaknya murka, menarik tanganku mendekat padanya.
Kemudian ia mulai seenaknya menyentuhku di sana-sini, memeriksa apa aku terluka atau tidak. Aku kesal, mengeluarkan pistol yang sedari tadi kugenggam erat dan menampar pipinya dengan pistol itu begitu Vance menunduk agar tatapan kami bisa sejajar.
"Aku kembalikan itu! Berhenti mengacaukan hidupku! Berhenti membuatku terjebak dengan orang-orang gila kenalanmu! Aku benci padamu! Benci kedenialan-mu yang memuakkan itu!"
Aku lelah, muak menghadapi semua hal mengerikan ini dalam satu waktu yang sama. Menyalahkan semuanya pada Vance, memukul dadanya sekuat tenaga dan Vance hanya diam membiarkan aku memukulinya.
∞
Akhirnya aku benar-benar pulang ke rumah Vance, duduk ketakutan memeluk erat Feyrin yang duduk di atas pangkuanku saat seluruh manusia mengerikan tadi siang duduk mengitariku.
Ternyata mereka keluarga Vance, saudara-saudaranya yang bahkan tak mirip sama sekali dengannya. Hanya tatapan angkuh itu yang sama, kecuali Lexie yang tersenyum tulus padaku sambil memeluk Vella yang duduk di sampingnya.
"Jadi, jelaskan dia siapa!" perintah Lexus, anak sulung gila yang membangun sekolah tempat Feyrin belajar.
"Yue," jawab Vance tak acuh, tak mau mempertegas posisiku sama sekali.
"Pacar Vance," disambung oleh Vella seenaknya.
"Istli Daddy Pen!" dilanjutkan oleh Feyrin juga.
"Adik iparmu," ditambah oleh sepasang kakek m***m yang ternyata orang tua asuh Vella.
"KALIAN BERHENTI BICARA SEMBARANGAN! YUE BUKAN SIAPA-SIAPA BAGIKU!" Vance langsung murka, menendang meja hingga membuat saudaranya marah.
"HENTIKAN SIKAP KASARMU, VANCE! KALAU DIA BUKAN SIAPA-SIAPAMU, KENAPA PISTOLMU ADA PADANYA!"
Lihat? Vance langsung bungkam saat pistol itu diungkit-ungkit, benda yang tenyata merupakan simbol kebanggaan, harga diri dan syarat utama untuk mendapatkan seluruh warisannya. Kalau benda ini sepenting itu, harusnya tak ia berikan padaku.
"Ini tak ada padaku lagi, aku kembalikan padamu, Tuan Vance. Permisi," timbalku, membawa Feyrin pergi begitu saja setelah meletakkan pistol itu ke tangan Vance.
Malas terlibat masalah keluarga mereka, toh aku hanya orang asing yang tak punya hak apa-apa dan rencananya aku akan kabur setelah mendapatkan celah.
Mencintai Vance bukan berarti aku menginginkannya, karena aku tahu dia juga tak menginginkanku dan berharap perasaan yang ia rasakan tak ada, lalu untuk apa aku berharap lebih hanya karena dibawa kemari.
"Mommy jangan takut ya, Uncle Lexus itu memang jahat, tapi Daddy Pen bakal jagain Mommy Yue kok," hibur Feyrin, mengusap wajahku penuh perhatian.
Aku hanya tersenyum, tak berniat menjelaskan apa pun pada anak kecil sepertinya. Dia tak perlu tahu kalau aku sudah muak berada di sini dan sangat ingin pergi ke mana pun di mana aku bisa hidup tenang.
Jauh dari drama murahan, permainan hati dan luka yang semakin lama terasa makin menyakitkan.
Kalau tahu mencintai bisa begitu berat dan menyakiti, aku lebih memilih hidup hampa seperti dulu. Sendirian tanpa berharap, tanpa rasa kecewa dan tak akan merasa sedih saat tahu apa yang kuharapkan tak akan pernah kudapatkan karena aku tak pantas memilikinya.
"Mommy Yue, jangan cedih." Pelukan Feyrin semakin erat, seolah-olah dia bisa memahami perasaan yang bahkan tak kuungkapkan.
"Aku tak sedih Rin, mau tidur denganku? Sepertinya Vella masih akan lama mengobrol dengan orang-orang dewasa itu." Ajakku, mengalihkan pembicaraan sambil meletakkannya di atas tempat tidurku.
Kamar yang sama sekali tak berubah sedikit pun sejak aku tinggalkan, tempat yang sama sekali tak pernah kurindukan.
"Mau! Mau! Cini... Lin peluk." Angguknya patuh, menepuk bantal di sampingnya.
Aku tertawa, tidur di sampingnya dan membiarkan anak manis itu memeluk lenganku. Satu-satunya alasan kenapa aku masih betah berada di sini, karena aku tahu kalau Feyrin membutuhkan keberadaanku.
Tak seperti Vance yang selalu menolakku, tapi bersikap seolah-olah dia ingin aku tinggal di sisinya. Benar-benar memuakkan, kapan ia akan sadar kalau perasaan sayang seorang manusia bisa berubah menjadi benci jika dimainkan seperti itu.
Lihat? Baru saja kupikirkan dan dia sudah datang kemari, memasang ekspresi wajah angkuh yang memuakkan. "Anggap ini bayaranmu, tinggal di sini dan jangan kabur lagi karena lain kali aku tak akan menolongmu lagi." Meletakkan kedua pistol perak yang jadi masalah diperdebat tadi ke atas tempat tidur.
"Lucu. Jadi kau berniat membeliku dengan simbol warisanmu? Kau memberikannya padaku karena kau kira aku tak tahu arti benda ini? Tapi sayangnya aku tahu dan aku akan mengambil semuanya darimu," sinisku.
"Aku tahu kau cukup pintar untuk mencaritahu dan tak masalah bagiku kalau kau ingin mengambil semuanya dariku. Karena dengan kau mengambil semuanya, maka itu artinya kau telah menjadi milikku." Vance ikut sinis, mengucapkan sebuah pengakuan yang mengejutkan.
Penuh dengan emosi ingin menguasai, kemarahan, keserakahan dan obsesi yang ditujukan langsung padaku. Kemudian dengan mudahnya ia pergi meninggalkanku dengan perasaan yang kacau, kebimbangan dan rasa senang yang tak ingin kuakui.
Masalahnya bukan hanya satu, tapi keduanya ia berikan padaku. Seolah-olah dia telah memberikan lebih dari sekadar hartanya padaku. Semuanya, kecuali pengakuan dan kejujurannya.