Vance POV
Aku menutup kepalaku menggunakan bantal, kembali tidur dan mengabaikan jeritan minta makan anak si jalang.
"Daddy bangun!! Bangun!! Lin lapal!" Rin makin keras teriakannya, mengentakkan kakinya di atas punggungku.
Aku pura-pura masih tidur, ada Yue yang akan memberinya makan nanti. "Daddy Pen bangun! Cepat! Nanti Lin terlambat ke cekolah. Jangan malas Daddy," pekiknya sambil menjambak rambutku, aku masih tak acuh, malas meladeninya.
Tak lama dia mulai brutal, melompat-lompat di atas punggungku. "CUKUP RIN! MINTA MAKAN KE YUE SANA!" Aku kesal, membentaknya kasar.
Dia malah cekikikan senang, berhasil membangunkanku. "Ihihihi... pagi-pagi Daddy sudah panggil Mommy aja, tapi Mommy Yue lagi jadi menantu berbakti, antarin Grannie Dea ke bandala. Jadi Daddy yang masak ya."
"Cih! Minta makan sama ibumu sana!" aku abaikan, kemudian kembali tidur. Salah Yue yang seenaknya mau mengantarkan Mommy pulang dan sudah jelas alasannya pasti karena dia dibayar.
Dasar pengasuh tak berguna, banyak kerja sampingannya lagi.
Rin tak mau dengar, dia kembali menjerit sambil menendang kakiku brutal. "Bangun Daddy! Bunda Pela lagi cibuk ikeh-ikeh bikinin Lin adik! Cepat! Lin tak mau dihukum melayap di jala ikan tahu!"
"DADDY PEEEEN!"
"CUKUP! AKU BANGUN, OKE!"
"Ehehe... gitu donk!" cengirnya tanpa rasa bersalah.
Aku mendengus, berjalan ke arah dapur dan membiarkannya merayap naik ke pundakku untuk sekadar bergantung di sana.
"Mau makan apa? Telur rebus saja ya?" tanyaku, menawarkan pilihan paling gampang.
"Waffle! Waffle!! Waffle!! Daddy jangan malas! Buatkan sana!" Rin malah seenaknya memerintahkanku membuat waffle, benar-benar anak sok bossy.
"Cih!" sinisku, berdecak kesal padanya, "JIMMY!! KEMARI KAU!! BUATKAN RIN MAKAN!!" memilih menyuruh asisten tak berguna itu saja, malas membuat adonan yang merepotkan.
Anak nakal itu langsung melempariku dengan lembaran roti tawar. "TAK MAU BUATAN JIMMY!! TAK ENAK!!"
"Tuh, Rin tak mau buatanku, aku pergi tidur kembali ya, Bos. Selamat memasak." Jimmy juga, datang hanya untuk mengatakan hal menyebalkan.
Sial sekali aku, dapat asisten dan pengasuh tak berguna.
"Iya, iya, pungut roti yang kau lempar dan buang ke tong sampah sana." Terpaksa aku menyerah dan memasak untuknya.
"Tak mau!" ngambek Rin. Bersedekap, membuang muka.
"Terserah, nanti aku suruh Yue saja," aku ikutan ngambek, tapi begitu aku bicara begitu, Rin malah langsung mengerjakan perintahku. Anak durhaka! Sejak kapan dia lebih patuh ke Yue?
Selesai membuat adonan dan meletakkannya ke dalam pemanggang waffle, aku tuangkan segelas s**u untuk Rin duduk di depannya dan menanyakan tentang kehidupan sekolahnya sebagai ganti tugas si jalang yang hanya tahu mengajarkan hal-hal sesat.
Bahkan aku yang memilihkan sekolahnya, menemaninya belajar. Kurang apa lagi aku sebagai orang tuanya, lalu kenapa Rin masih saja bisa tumbuh seliar ini?
"Tes mingguan kemarin kau dapat peringkat ke berapa?" tanyaku lagi, menyajikan waffle yang sudah matang, ditambah siraman madu dan topping ice cream.
"Peringkat kedua belas!" jawabnya bangga.
Aku cubit pipinya. "Dasar bodoh! Kenapa bisa turun sepuluh peringkat? Kau pasti sibuk ajarkan Yue yang tidak-tidak sampai tak belajarkan?"
Tanganku malah ia tepis, memasang wajah super kecut. "Tidak kok! Fitnah! Lin cuma ajalin Mommy cara ikeh-ikeh yang benar ala video buatan Bunda Pela!" Aku balas dengan menjitaknya. Yang seperti itu masih dibilang 'cuma'!?
"Cih! Perbaiki peringkatmu minggu ini, kalau tak sampai tiga besar aku pecat Yue!" ancamku.
Rin langsung menjatuhkan pisau dan garpunya, memasang tatapan berkaca-kaca tipuan seperti biasanya, "Daddy tega? Padahal Mommy Lin sudah dipakai. Hiks... memang Daddy Pen b***t!" lalu ia berlari menghampiri Yue yang baru saja pulang.
"JANGAN MENGATAKAN KALIMAT AMBIGU SEPERTI ITU SETAN KECIL!" refleks aku berteriak memarahinya.
"POKOKNYA DADDY b***t!! HUAAA!! DADDY BILANG MAU PECAT MOMMY!!" dan Rin malah mengadu.
Yue pun menatapku dingin, lalu membuang muka. Membuatku merasakan sesuatu yang tak kupahami, rasanya seperti ingin mencabik-cabik seseorang hingga mati.
"Jadi, Tuan Vance ingin memecatku? Baiklah, kalau begitu minta uang kompensasi dan aku akan segera pergi." Apalagi saat dia menadahkan tangannya tanpa mau menatapku, aku semakin merasa tak suka.
"AKU HANYA ASAL BICARA! JANGAN MALAH NGAMBEK, YUE! SANA BUATKAN KOPI," bentakku kesal, menarik Rin menjauh darinya.
"Kau juga Rin, kembali makan dan hapus air mata obat tetes itu," memaksa anak nakal satu ini melanjutkan makannya tanpa drama murahan.
"Ehehe... kok Daddy tahu? Tak jadi pecat Mommy, kan? Bukan calah Lin lho, dapat pelingkat lendah, calah Kapten En yang tiba-tiba pakai tes fisik buat tes mingguan," balasnya tanpa rasa bersalah, padahal sudah membuat situasi tak nyaman. Menyalahkan wali kelasnya.
"Iya! Kau dengar itu Yue, aku tak berniat memecatmu, aku butuh kau untuk memasakkan anak nakal ini tiap pagi, jangan cemberut seperti itu!" Aku abaikan Rin, menoleh menatap pada Yue yang sedang membuat kopi asal-asalan menggunakan air dingin dari kulkas.
"Minta uang!" katanya, menadahkan tangan. Refleks aku membuka dompet dan memberinya dua kali bayaran membuat kopi, Yue pun berhenti ngambek. Langsung tersenyum lebar dan memasak air panas sambil bersenandung.
Benar-benar mudah dikendalikan, entah aku harus merasa senang atau miris.
"Daddy dengarin Lin? Jangan lihat p****t Mommy mulu!" Tanganku ditarik, dituduh seenaknya pula.
Aku kesal! Kujitak lagi kepalanya sampai benjol, kembali serius membahas nilainya. "Jadi nilai apa yang rendah?" Lihatkan? Betapa baiknya aku menjadi orang tua.
"Huft! Cakit tahu! Nilai lempal picau Lin dapat 62 poin, padahal nilai lain sudah bagus," keluhnya, mengeluarkan report point mingguan miliknya.
Aku baca baik-baik, melihat hasil kemampuan fisiknya, sebaiknya apa Rin berkembang di sekolahnya. "Hem, siapa bilang cuma nilai lempar pisau? Nilai menyusupmu juga cuma 79 poin. Mulai sekarang kurangi jam berburu uke dengan si jalang dan ganti jadi latihan denganku."
"Daddy mah gitu!! Lin tak mau! Padahal Lin mau mengintai uke unyu yang kelja di toko kue!"
"Tidak boleh! Kau juga harus belajar berbicara yang benar dengan Yue! Telingaku sakit mendengar kalimatmu yang berantakan itu!"
"DADDY JAHAT! INIKAN SALAH LIDAH LIN YANG PENDEK!"
"BADANMU JUGA SAMA PENDEKNYA, MAKANYA HABISKAN SUSUMU DAN BERHENTI BERGADANG NONTON FILM SESAT!"
"LIN TAK SUKA MINUM CUCU! DADDY BODOH! LIN MAU MAKAN SAMA AYAH JOOO SAJA!"
Rin pun berlari pulang ke rumahnya, setelah melempariku dengan piringnya tentu saja. Walaupun aku tahu dia tak benar-benar ngambek dan nanti siang pasti akan kembali untuk latihan denganku, tapi tetap saja menyebalkan dilempari dengan piring berisi makanan yang lengket.
Dan yang lebih menyebalkan adalah tatapan merendahkan dari Yue, "Tuan benar-benar orang tua yang buruk. Lagi pula sekolah apa yang mengajar mata pelajaran seperti itu. Ckckckck..." berkomentar pedas juga.
Cih! Aku tarik tangannya, membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh berlutut di hadapanku. Kemudian kucengkeram dagunya, menatap lurus pada bola mata hitam kelam itu. "Aku tahu apa yang baik untuk Rin! Kau tahu apa! Lagi pula dia itu bersekolah di sekolah militer, tentu saja materi pelajarannya berbeda dengan sekolah umum. Jadi, berhenti berpikir buruk tentangku, b***k bangsat."
"Tidak! Aku tak dibayar untuk berpikiran yang baik-baik tentangmu, Tuan," balasnya sinis, menepis tanganku, kasar, seenaknya berdiri tanpa kuperintahkan.
Yue bersedekap di depan kompor, menunjukkan sikap menentang ala buruh pabrik yang sedang demo. Merasa malas meladeni sikapnya, aku beri dia beberapa uang lembar.
"Sekarang aku bayar kau untuk bersikap baik padaku," perintahku.
Dalam waktu tiga detik, Yue langsung berubah ramah, lengkap dengan senyuman yang manis. "Baiklah, Tuan lelah? Mau aku pijat?" Ia bahkan menawarkan jasa layanan pijat plus-plus.
"Pijat bahuku," perintahku, menggunakan budakku semaksimal mungkin.
Dia pun melakukannya dengan senang hati, berdiri di belakangku dan memijat dengan benar. Tak lupa berpesan," kalau pijatanku enak, kasih bonus ya, Tuan."
"Hem," balasku acuh tak acuh, membaca koran pagi sambil memeriksa email.
"Tuan, kenapa kau menyekolahkan anak perempuan di sekolah militer? Anak sekecil itu pula, memangnya ada sekolah dasar seperti itu? Orang t***l mana yang mendirikannya?" Yue bertanya, sok peduli demi uang bonus. Berusaha menunjukkan kalau dia peduli dengan anak asuhnya, tapi sayangnya aku tak akan tertipu.
Kuputuskan untuk membalasnya dengan sinis, tak akan memberinya bonus juga. "Karena aku ingin mendukung impiannya, lagi pula orang t***l yang mendirikan sekolah itu adalah abang sulungku. Kau keberatan? Mauku pertemukan, hem?"
"Impian apa? Apa hubungannya dengan sekolah militer? Dan aku tak sudi bertemu dengan abangmu, pasti otaknya rusak. Pikir saja baik-baik, mana ada orang normal yang mendirikan sekolah seperti itu?" komentarnya santai, tak peduli sama sekali dengan sikap sinisku.
Rasanya jadi sebal.
"Cih! Kau pasti akan kupertemukan dan rasakan sendiri sensasi mandi di kolam piranha miliknya. Khehehehe," kuancam sedikit ah.
"..." Yue diam, meninggalkanku dan pergi ke kompor untuk menyeduh kopi.
"Ini kopinya, dan aku benci piranha. Jangan bahas mahluk sialan itu lagi, atau aku berhenti kerja." Tak lama kopiku ia sajikan dengan kasar, pergi meninggalkan dapur tanpa penjelasan apa pun.
Sial! Aku jadi penasaran. Orang sematrenya berhenti kerja hanya karena aku menyinggung tentang piranha!? Terlalu aneh, kecuali dia punya sesuatu yang disembunyikan tentang ikan imut itu.
Aku harus mengecek latar belakangnya.
∞
Yue masih saja sinis, mengajari Rin mengucapkan huruf R, S dan V dengan benar. Memperlakukan aku seperti mahluk tak kasat mata, begitu juga dengan Rin yang masih ngambek jam berburu uke-nya aku kurangi.
Anak lima tahun mana yang masih belum bisa mengeja namanya sendiri? Kurasa Rin memang sedikit bermasalah dengan pertumbuhannya.
Semua ini salah pembunuh itu, salah si jalang juga. Hamilnya tak benar, lahirnya sih normal tapi pertumbuhannya lambat. Ck! Harusnya sejak lahir dikasih ke aku saja, pastinya Rin akan tumbuh lebih baik.
"Coba ulangi Rin, R-i-n. Gampangkan?" Lihat, bahkan Rin mengucapkan namanya semakin kacau saat Yue mengejanya pelan-pelan. "L-ie-n! Iya, gampang Mommy Yue." Malah sok benar lagi.
Kujitak mereka berdua, "Salah! Apanya yang gampang! Kau juga Yue, ajarkan satu jam satu kata pun masih tak bisa!" memarahi mereka berdua sekaligus.
Mereka misuh-misuh, menatapku sinis.
"Lin kan macih kecil! Nanti juga bica cendiri!"
"Aku seniman, Tuan Vance, bukan guru bahasa."
Berlanjut dengan protes barengan juga, lupa begitu saja dengan niat mereka yang ingin mencuekin aku. Dasar pelupa!
"Ya sudah! Latihan lempar pisau saja. Kau ambil apel, Yue dan kau Rin, ambil koleksi pisaumu," perintahku, langsung menyerah mengajari Rin berbicara yang benar.
"Aye!! Cegela Daddy Denial," Pekik Rin riang, berlari ke rumahnya lewat lorong khusus di dapur.
"Cepat san-siapa yang kau sebut denial!!"
"...." Aku berniat mengejar Rin, tapi tak jadi karena Yue menatapku penuh arti, diam seribu bahasa.
"Apa!? Kalau tak suka bicara!" sinisku, memberinya pelototan angkuh.
"Hah..." balas Yue menghela napas panjang, pergi ke dapur mengambilkan apel.
Entah kenapa aku jadi makin emosi, ingin sekali mengantung seseorang hidup-hidup sambil menyiksanya pelan-pelan hingga mati.
Sekali lagi, aku bertindak. Mengejar Yue dan mendesak si cebol hingga terimpit di depan kulkas. "Kalau kau tak suka sesuatu ungkapkan, jangan hanya diam dan menatapku merendahkan, Yue," mengulang kembali pertanyaanku tadi.
"Aku tak suka caramu memperlakukan Rin, mengatur masa depannya seenaknya. Orang tua saja bukan, tapi seenaknya menyuruhnya berlatih hal yang tak manusiawi, menyekolahkan ke sekolah seperti itu dengan alasan demi mendukung impiannya? Cih. Mengelikan, aku kasihan padanya tahu."
"Rin tak perlu kau kasihani! Impiannya ingin jadi prajurit perempuan Region Asing terbaik pertama dalam sejarah, tentu saja dia butuh pelatihan fisik sejak dini agar bisa tetap hidup saat mengejar impiannya kelak. Nyatanya kehidupan gelap dan kejam itu telah ia miliki sejak lahir, orang sepertimu tahu apa!"
"Aku memang tak tahu seperti apa kehidupan keluarga kalian, tapi aku tahu kalau sekolah militer untuk anak umur lima tahun itu kejam! Dan tak mungkin apa yang diucapkan anak-anak seperti itu serius, kau t***l kau percaya Rin benar-benar ingin jadi prajurit."
"Kau yang t***l! Siapa bilang anak lima tahun belum memikirkan impiannya secara serius? Aku tahu apa yang kuinginkan sejak umur empat tahun dan hingga sekarang hal itu tetap tak berubah. Memiliki fisik anak-anak bukan berarti mentalnya anak-anak juga, penerusku tak sepayah itu."
Aku muak, kesal setengah mati pada Yue yang seenaknya menilai tentangku dan Rin. Dia putriku, anak yang kuurus sejak lahir tanpa terlewatkan sehari pun tanpa mengawasinya. Rinku tak sama seperti anak-anak bodoh lainnya yang hanya tahu bermain. Rinku spesial dan akan selalu menjadi yang terbaik.
Kulemparkan Yue ke atas meja kitchen bar, menyiraminya dengan sebotol gin, menghukumnya karena terlalu mencampuri urusanku. "Kau paham itu, Yue?" aku bertanya dengan angkuh seraya menekan dadanya.
Yue meringis sakit, tapi kuabaikan. Emosiku telah sampai ke puncak dan aku sedang tak mau berbaik hati memberinya uang untuk bungkam. Kadang Yue perlu diberi pelajaran kejam agar sadar diri.
"Ada apa denganmu, Vance!?" Dan sepertinya cara ini cukup efektif, terlihat dari ekspresi wajah terkejut itu.
Aku terkekeh, menodongkan pistolku ke wajahnya. "Menurutmu kenapa b******n?"
"Mana aku tahu!" Walaupun ia tetap bisa bersikap tenang, membalas kata-kataku dengan cara yang kasar juga.
Tangannya mulai berusaha mendorongku menjauh, namun berhasil kutahan dengan mudah. Membuat Yue berdecak kesal padaku, pemandangan yang sangat indah. Tak ada yang lebih menarik daripada melihat seekor tikus yang terperangkap tak berdaya.
"Jadi, sekarang kau paham, Tuan b***k? Berhenti sok mengajariku cara membesarkan anakku sendiri. Kau hanya pengasuh, orang asing yang tak punya hak untuk berbicara."
"Cih! Kalau begitu jangan pernah menyuruhku mengungkapkan pemikiranku," bentak Yue, menendang perutku. "Maaf kalau aku jadi lupa diri dan berpikir kalau aku sudah diterima di sini. Harusnya aku tahu kalau di sini bukan tempatku. Permisi, Tuan." Yue pergi begitu saja tanpa mau menatapku begitu cengkeraman tanganku tak sengaja mengendur.
Aku terdiam, bukannya karena kesakitan akibat tendangan Yue, tapi karena aku terlalu terkejut dengan sikapnya.
Yue sangat dingin, terkesan seperti begitu muak padaku. Tak seperti sikap dingin atau tak acuh yang biasanya dia tunjukkan, kali ini jelas berbeda. Seakan-akan ia baru saja membangun sebuah dinding pemisahan di antara kami.
Satu hal yang pasti kupahami adalah, entah bagaimana bisa, aku sudah melukai dan mengecewakan Yue.
"Mommy kenapa bacah?" s**t. Rin juga, sejak kapan bocah itu sudah kembali? Berdiri di samping Yue dan mengenggam ujung kaus Yue, menatap lekat-lekat ekspresi wajah pria itu sambil menilai.
Yue mengusap kepalanya pelan, melepaskannya genggaman tangan kecil itu. "Tidak apa-apa, aku pergi mandi dulu Rin. Main dengan Tuan Vance sana." Menolak Rin dengan halus, tapi tegas dan terlihat lebih tak acuh dari tadi.
Rin hanya diam, melihat punggung Yue yang menjauh hingga tak lagi terlihat. Barulah ia berbalik menatapku, menjerit sambil melemparkan pisau yang ia bawa untuk latihan ke arahku.
"DADDY PEN t***l! MOMMY JADI DINGIN CAMA LIN! PACTI DADDY YANG CALAH!"
"AKU TAK SALAH APA-APA! BERHENTI MELEMPARIKU RIN, ATAU JANGAN HARAP AKU MAU MELATIHMU LAGI!"
"BOHONG!! LIN TAK PEDULI! DADDY KEJAM!! NANTI MOMMY TAK CINTA LAGI CAMA DADDY KALAU DADDY KELJANYA CUMA NYATIKITIN MOMMY LIN!"
"AKU TAK BUTUH CINTANYA!! AKU BENCI PADA YUE! ITU YANG SEBENARNYA KURASAKAN, SEKARANG KAU PUASKAN, ANAK SETAN!"
Akhirnya Rin diam juga, bertepatan dengan selusin pisaunya yang habis terlempar. Dia menundukkan kepala dalam diam, menatap ujung sepatunya dengan kening berkerut.
Aku pun lega, mengumpulkan kembali pisau-pisau itu, sedikit bersyukur kemampuan melempar pisaunya tak sebaiknya ibunya.
"Jadi Daddy benar-benar benci cama Mommy Yue? Apa Lin yang calah lihat? Lin kila Daddy cayang cama Mommy Yue," ucap Rin dengan suara yang amat kecil, terdengar ragu-ragu.
Aku pura-pura tak dengar saja, malas membicarakan hal seperti ini dengan bocah yang bahkan tak tahu apa itu cinta.
"Kalau begitu, Lin minta Bunda Pela pecat Mommy Yue saja ya? Bial Daddy bica hidup tenang," sambungnya, berjalan kembali ke rumahnya pelan-pelan.
Aku langsung kaku di tempat, tak tahu apa sebenarnya kurasakan. Harusnya aku senang, parasit itu bisa pergi dari rumahku tanpa harus membuat masalah dengan si jalang, tapi kenapa aku malah tak bisa tertawa?