Chapter 4 : Ai Sayang

1986 Words
"Aisha!" jerit Sisi saat melihat Aisha dibopong oleh pria besar yang tidak dia kenali itu. Wanita itu berlari kencang menyusul pria yang membawa Aisha. Sisi terus berteriak dan menjerit meminta tolong. Mengeluarkan suara sekencangnya tak peduli jika nanti pita suaranya akan putus sekalipun. Saat ini yaang dia pedulikan hanya Aisha. Bocah itu terus meronta berusaha lepas dari pria yang menggendongnya. Sisi menyetop mobil-mobil di tengah jalan sembari berteriak dan menangis. Dia mulai putus asa karena sekencang apapun dia berlari, namun dia masih tidak dapat menyusul Aisha. "Mbak kenapa?" Seorang pria dengan tergesa turun dari mobil. Menghampiri Sisi yang menangis di tengah jalan. "Anak s-saya.. anak saya diculik. Tolong! A-anak saya diculik." ucapnya dengan suaranya tersendat-sendat. "Dimana sekarang anaknya Mbak?" tanya pria itu. Sisi menunjuk ke arah pria seram itu pergi membawa Aisha. Lalu pemuda itu tanpa pikir panjang langsung menyetop semu kendaraan yang tengah melintas di jalan. Meminta bantuan pada beberapa orang yang keluar dari kendaraan mereka masing-masing. Orang-orang itu pun berlari kencang. Mengejar preman yang membawa kabur Aisha. Sisi meluruh di tengah jalan. Tubuhnya serasa lemas. Dia takut terjadi sesuatu pada Aisha. Dia takut Aisha tidak kembali lagi. Beberapa ibu-ibu dan juga penjual bakso yang lewat disana berusaha memberinya minum agar Sisi lebih tenang. Namun gadis itu tidak bisa menelan apapun. Sisi hanya bisa menangis dan menangis. Tidak beberapa lama kemudian, orang-orang yang tadi mengejar Aisha pun kembali. Pria yang tadi membantunya menyetop mobil dan mengejar preman itu datang sambil menggendong Aisha yang sedang menangis. Sisi sontak berdiri. Gadis itu menyongsong pria yang sedang bersama Aisha. "Aisha..." pekiknya dengan suara serak. Pria itu memberikan Aisha pada Sisi. Sisi langsung mendekap Aisha erat dengan terus menangis. "Maafin Bunda, Nak. Maafin Bunda ya..." ujarnya sambil menciumi kepala Aisha. Bocah itu juga menangis tersedu. Memeluk Sisi dengan kencang. Seolah takut berpisah dari Sisi. "Ai takut, Mommy. Ai takut...." isaknya. Sisi mengusap rambut panjang Aisha yang kini berantakan. "Ada Bunda. Ai jangan takut! Bunda ada disini, Sayang," ujarnya. Kemudian wanita itu menoleh pada orang-orang yang menolongnya menyelamatkan Aisha. "Terima kasih bantuannya, Bapak-bapak, Ibu-ibu. Makasih..." "Sama-sama, Mbak. Tadi orang yang mau culik anak Mbak udah dibawa ke Polsek. Kami serahkan ke pihak yang berwajib sebelum menjadi sasaran amukan massa, Mbak." Seorang pria paruh baya memberi tahu Sisi perihal si penculik. Sisi mengangguk. Mengucapkan beribu terima kasih pada orangorang disana yang membantunya membebaskan Aisha dari tangan penculik. Sisi mendesah lega. Air matanya tak henti mengalir meski kini Aisha sudah berada dalam pelukannya. Hampir saja dia kehilangan Aisha tadi. Dia begitu takut membayangkan Aisha benar-benar diculik tadi. Seandainya benar terjadi, apa yang harus dia katakan pada Ali dan keluarganya? Pria itu pasti marah besar saat tau putrinya hilang. Bisa-bisa Sisi mati di tangannya seandainya Aisha tidak bisa ditemukan. "Mbak... saya antar pulang ya?" tawar pria muda yang menolongnya tadi. Sisi menggeleng. "Nggak usah, Mas. Makasih. Saya pulang sendiri aja," jawabnya. "Biar saya antar pulang, Mbak. Sepertinya Mbak masih syok. Anak Mbak juga." Sisi menoleh pada Aisha yang memeluknya erat. Gadis itu kembali menggeleng. "Nggak usah, Mas. Makasih banyak. Tadi Mas sudah menolong anak saya dari tangan penculik. Saya sudah begitu berhutang budi sama Mas." "Saya Irwan." Pria tadi mengulurkan tangannya pada Sisi seraya tersenyum. Sisi menerima uluran tangan pria itu. Mencoba untuk tersenyum tipis. Membalas senyuman pria itu. "Sisi," lirihnya. Pria itu melirik Aisha yang kini mulai terlelap di pelukan Sisi. Dia mengulurkan tangannya untuk mengusap rambut Aisha. "Biar saya antar pulang saja ya, Mbak. Kasian anak Mbak itu. Saya ikhlas kok, Mbak. Sungguh," ujarnya. Sisi menoleh pada Aisha. Wanita itu mencium kepala Aisha dengan sayang. Sepertinya tidak ada salahnya dia menerima tawaran pria baik itu. Kasihan Aisha kalau dia harus menunggu taksi untuk pulang. Anak itu sepertinya lelah juga trauma. Akhirnya Sisi mengangguk pelan, wanita itu pun menyetujui untuk pulang bersama Irwan. *** Ali berjalan dengan cepat menuju ke kamarnya. Wajahnya memerah penuh amarah. Pria itu mendorong pintu kamar dengan kasar. Bunyi berdebumnya mengagetkan Sisi yang baru saja keluar dari kamar mandi. Wanita itu mengernyit melihat tatapan tajam Ali. Sisi beranjak mendekatinya. Berniat menyambutnya yang baru pulang kerja. Namun cengkeraman Ali di pundaknya mengagetkan Sisi. "Mas..." Sisi meringis saat Ali membanting tubuhnya ke ranjang. Kilat emosi terlihat jelas di matanya. Gadis itu membuang wajahnya ke samping. Enggan bertatapan dengan wajah penuh amarah itu. "Jelaskan apa yang terjadi tadi siang pada Aisha!" bentaknya pada Sisi. Wanita itu menelan ludahnya kaku. Dengan takut-takut, Sisi berusaha berbicara. "Mas, i-itu... tad-di siang Ai hampir di-culik Mas," jawabnya terbata. Mata Ali mendelik. Pria itu mencengkeram wajah Sisi, mendongakkannya. "Gimana caranya Ai bisa hampir diculik? Kamu kan jemput dia disekolah!" "Maaf, Mas. Aku lalai jagain Aisha. Maafin aku," lirih Sisi. Wanita itu merintih dalam hati karena rasa sakit yang disebabkan cengkeraman Ali. Namun dia tidak berani mengaduh. Tatapan tajam menusuk suaminya itu, membuat nyalinya menciut. "Sebegitu mudahnya kamu meminta maaf? Aisha hampir saja diculik, Sisi! Astaga!" Ali menggeram kencang. Melepaskan cengkeramannya pada Sisi. Pria itu berbalik menjauh menuju sofa. Menghempaskan tubuhnya disana. Ali mengacak rambutnya frustrasi. Sisi bangun dari ranjang. Gadis itu berdiri sembari merintih pelan. Lengannya terasa sakit. Perlahan Sisi berjalan mendekati Ali. "Maaf, Mas. Aku emang lalai. Tapi aku janji, ini nggak akan terulang lagi. Aku janji akan bener-bener mengawasi Aisha di sekolah. Lain kali aku nggak akan lalai lagi," ujar Sisi pada Ali. Ali menoleh pada Sisi dengan mata menyorot tajam. Pria itu kini bangkit dari duduknya. Mendekati Sisi yang berdiri sembari menunduk karena takut dengan tatapannya. "Lain kali?" Sisi mengangguk pelan. Gadis itu memberanikan diri mendongak untuk menatap mata Ali. Pria itu mengunci pandangan Sisi. Berkata dengan lugas di depan wajah Sisi. "Nggak akan ada lain kali, Si! Mulai besok kamu nggak usah lagi antar jemput Ai ke sekolah! Karena mulai besok, Ai akan diantar supir," ucapnya menekankan. Sisi terhenyak. Gadis itu menggeleng tak setuju. "Tapi Mas-" "Aku bilang nggak ya nggak! Ngerti nggak sih kamu ini! Aisha hampir celaka gara-gara kamu! Kalau aja kamu nggak ngeyel buat antar jemput dia naik angkot sendiri, anakku nggak akan kayak gini! Liat Aisha sana! Dia masih trauma karena kejadian tadi siang." Sisi menunduk. Air matanya mengalir deras. Kejadian tadi siang memang salahnya. Dia lalai menjaga Aisha. Sampai anak itu hampir diculik. Tapi jika dia sudah tidak boleh lagi mengantar jemput Aisha, bagaimana dia bisa mengambil hati anak itu? Kalau Sisi tidak boleh lagi mendekatinya, bagaimana dia bisa membuat Aisha menerimanya? "Mas!" Sisi menahan lengan Ali yang akan beranjak dari hadapannya. "Tolong kasih aku kesempatan. Aku janji Aisha akan aman. Aku nggak akan lalai lagi," pintanya memelas. Ali menggeleng dengan tegas. "Nggak. Aku nggak akan pernah ijinkan kamu mengantar jemput Aisha lagi!" Pria itu mengibaskan tangan Sisi. Berjalan keluar dari kamar. Meninggalkan wanita itu menangis tergugu sendiri di dalam kamar. Menyesali kebodohannya yang mengakibatkan trauma pada anak tirinya. *** Sisi turun dari ranjang dengan perlahan. Wanita itu berjalan dengan kaki berjinjit. Matanya mengawasi Ali. Takut-takut jika suaminya itu nanti terbangun dan menggagalkan rencananya. Dengan sangat hati-hati, Sisi menutup pintu kamar. Lalu berjalan dengan langkah ringan menuju ke kamar Aisha. Begitu membuka pintu, Sisi melihat Bik Mumun sedang tidur di samping Aisha. Sisi mendesah pelan melihat sebuah sapu tangan yang dilipat di dahi Aisha. Pelan, Sisi membangunkan Bik Mumun. Memintanya untuk kembali ke kamarnya. "Tapi saya takut nanti Tuan marah, Non," ujar wanita itu. "Tolonglah, Bik. Biarkan saya yang menjaga Aisha malam ini. Biar saya yang merawat dia," balas Sisi memelas. Bik Mumun menghela nafas panjang. Dia sebenarnya kasihan pada Sisi. Tapi dia juga takut pada Ali. Bisa-bisa majikannya itu marah besar padanya. Dia sudah diwanti-wanti agar tidak membiarkan Sisi mendekati Aisha. "Gimana ya, Non..." "Aku mohon, Bik. Sekali ini aja. Tolong, Bik..." Bik Mumun yang merasa kasihan pada Sisi pun akhirnya mengangguk. Wanita itu berjalan keluar dari kamar Aisha. Membiarkan Sisi menggantikan tugasnya menjaga bocah mungil itu. Sisi Naik ke atas ranjang. Wanita itu menyentuh badan Aisha yang masih terasa panas. Sore tadi, badan Aisha memang demam. Sepertinya akibat syok dengan kejadian tadi siang. Ali melarang keras Sisi mendekati Aisha. Pria itu benar-benar tidak bisa memaafkan Sisi. Meski sekeras apapun wanita itu berusaha memohon padanya. Sisi mengusap lembut pipi Aisha yang memerah. Lalu mengecupnya pelan. Sisi berbisik di telinga bocah yang terlelap itu. "Maafin Bunda, Ai Sayang." *** Suara adzan subuh membangunkan Sisi dari tidurnya. Wanita itu buru-buru bangun. Sisi memeriksa suhu tubuh Aisha dengan meraba dahinya. Sudah tidak panas, batinnya. Wanita itu mencium dahi Aisha dengan lembut. Kemudian membenahi kompresnya. Rupanya obat yang semalam dia minumkan pada Aisha bekerja dengan cepat. Pagi ini bocah itu sudah tidak panas. Suhu tubuhnya sudah kembali normal. Aisha terbangun saat Sisi bergerak turun dari ranjang. Bocah itu melenguh pelan. Matanya berkedip dan perlahan membuka. Aisha menatap Sisi yang tersenyum lembut padanya. "Ai udah bangun, Nak?" ujar Sisi. Aisha mengangguk pelan. Sisi mengusap wajahnya. "Ai udah nggak panas kan?" tanyanya yang dibalas anggukan oleh Aisha. "Masih pusing?" "Sedikit," jawab Aisha parau. Sisi lagi-lagi tersenyum. "Nanti Ai minum obat lagi ya setelah makan. Sekarang Ai tidur lagi aja," ucapnya. Aisha menatapnya lama. Sisi mengambil kompres di dahi Aisha. Kemudian meletakkannya di baskom bawah ranjang. "Mommy tiri!" panggil Aisha dengan suara seraknya saat Sisi akan beranjak dari ranjang. Sisi tersenyum geli. Wanita itu kembali duduk. Urung bangkit dari ranjang Aisha. "Kenapa Sayang?" tanyanya pada bocah itu. Aisha menggigit bibirnya, terlihat ragu saat akan berkata. Bocah itu menatap Sisi dengan muka polosnya. Hal itu membuat Sisi gemas. Dia ingin sekali mencubit pipi tembamnya. Juga menciumnya. Tapi Sisi takut bocah itu menangis dan mengadu pada Ali. "Mommy tiri mau kemana?" Sisi mengusap rambut Aisha. Merapikan rambutnya yang berantakan. Terlihat beberapa titik keringat terdapat di dahi bocah itu. Sisi menghapusnya dengan begitu lembut. Dia ingin sekali mencurahkan kasih sayangnya pada Aisha. Tapi tidak bisa. "Bunda sholat dulu, ya. Ai tidur aja. Nanti selesai sholat, Bunda masakin bubur buat Ai. Biar Ai bisa makan terus minum obat. Jadi Ai bisa cepat sembuh," ujarnya. "Ikut." Aisha berucap dengan sedikit cemberut. "Aisha mau ikut sholat?" tanya Sisi. Bocah itu mengangguk cepat. Masih dengan wajah masamnya. Sisi mencubit pelan pipinya. Wanita itu pun mengangguk. Mengizinkan Aisha untuk ikut dengannya. Dia pikir ini awal yang bagus. Aisha sudah mau berinteraksi dengannya. Meski masih sedikit. Sisi bertekad akan terus berusaha mendapatkan hati Aisha dan juga... Ali. "Ai mau jalan sendiri apa digendong Bunda?" Aisha terdiam. Bocah itu menunduk dengan bibir maju ke depan. "Gendong," jawabnya. "Ya udah. Sini sama Bunda!" Sisi menarik Aisha untuk berdiri. Kemudian menggendongnya. Membawa bocah mungil itu menuju ke musholla rumahnya. *** "Dari mana kamu!" Sisi terlonjak kaget saat tiba-tiba Ali berada di belakangnya. Wanita itu memegangi dadanya yang berdebar keras. Sisi menggerutu dalam hati, kenapa Ali begitu suka muncul tiba-tiba seperti itu? Membuatnya kaget saja. "Dari mana?" tanya Ali sekali lagi. Sisi tergagap. Gadis itu bingung mau menjawab apa. Rasanya tidak mungkin kalau dia menjawab menemani Aisha di kamarnya semalam. Bisa-bisa Ali ngamuk karena perintahnya dilanggar. "Kamu punya mulut kan?" ujar Ali ketus. Pria itu mendengus kesal karena Sisi tak kunjung menjawab pertanyaannya. Wanita itu malah melongo seperti orang bodoh. "Punya Mas," jawab Sisi lirih. "Jawab dong! Ditanya orang kenapa diem aja?" Sisi menunduk. Wanita itu terlihat takut mau menjawab pertanyaan Ali. Ali yang tidak sabaran kembali membuka mulutnya. "Si..." "I-itu Mas. Tadi... tadi aku..." Ali berdecak. Pria itu menghibaskan tangannya kemudian minggir dari hadapan Sisi. "Udahlah! Lain kali kalau mau kemana-mana bilang! Biar aku nggak nyariin!" omel Ali. "Iya Mas. Maaf..." "Bikin orang cemas aja!" gerutuan Ali masih terdengar di telinga Sisi. Meski kini pria itu sudah berjalan menjauh darinya. Sisi mendesah lega. Untung Ali tidak tau semalam dia di kamar Aisha, pikirnya. Wanita itu memandang wajah masam Ali yang kini sudah menghilang dari balik pintu kamar mandi. Bahkan saat marah dan bermuka masam seperti itu saja Ali masih terlihat tampan. Bagaimana nanti kalau dia tersenyum, batin Sisi. Wanita itu ingin sekali melihat Ali tersenyum padanya. Tersenyum karenanya. Tapi itu tidak mungkin bukan? Yang ada Ali akan marah, menggerutu atau mengomel saat berada di dekatnya. Sisi mendesah lemah. "Nasib punya suami ganteng tapi galak," gumamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD